Pages

Pangeran Katak

Katak Pembawa Hujan: Legenda Bali tentang Cinta dan Kebaikan

The Prince of Frog >> English version

Folklor dari Bali





BALI sedang dilanda kekeringan panjang yang kejam. Matahari menyala tanpa ampun di langit, dan sawah yang dulu menghijau kini retak dan tandus. Sungai-sungai yang dulu bersenandung dengan aliran air kini terbaring kering dan sunyi. Sumur-sumur mengering, bahkan mata air suci pun hanya menetes pelan.

Udara terasa panas dan berat. Orang-orang berjalan lambat, wajah mereka letih dan terbakar matahari. Beberapa jatuh sakit karena kehausan dan teriknya cuaca. Anak-anak menangis sepanjang malam, bibir mereka kering, sementara para lansia duduk diam di bawah naungan, menahan air mata. Satu per satu, yang paling lemah tak lagi sanggup menahan penderitaan. Dalam diam, dalam duka, mereka pergi seperti kelopak bunga yang jatuh dari pohon yang sekarat.

Binatang pun turut merasakan penderitaan itu. Sapi-sapi rebah di tanah berdebu, terlalu lemah untuk melenguh. Burung-burung tak lagi berkicau di pepohonan—mereka hanya bertengger dalam diam, atau jatuh ke tanah. Bahkan monyet-monyet di hutan berhenti bermain, sia-sia mencari air di antara bebatuan.

Keputusasaan menyelimuti hati para penduduk desa. Mereka telah berdoa di setiap pura, mempersembahkan sesaji di setiap tempat suci, dan menyanyikan kidung memohon hujan kepada para dewa. Setiap pagi dan malam, mereka menyalakan dupa dan bersujud rendah, berharap langit akan menangis.

Namun langit tetap bungkam.
Awan berlalu begitu saja tanpa setetes pun hujan.
Dan harapan pun mulai layu, seperti dedaunan di pepohonan.








Akhirnya, ketika penderitaan telah mencapai puncaknya, langit menggelap—bukan karena hujan, melainkan karena kehadiran seorang dewa.

Ia turun dari bayang-bayang pegunungan, diselimuti jubah hitam sepekat malam. Angin terhenti. Binatang-binatang membisu. Bahkan pepohonan tampak menunduk saat Dewa Kegelapan melangkah ke tanah yang kering dan retak.

Matanya menyala seperti bara api. Suaranya bergemuruh seperti guntur dari kejauhan.

“Bencana ini bukan kebetulan,” katanya dengan lambat. “Ini adalah hukuman. Kalian telah melupakan jalan yang suci. Kalian hanya memikirkan diri sendiri. Kalian telah berpaling dari kebaikan, dari kebersamaan, dari kepedulian.”

Penduduk desa jatuh berlutut, ketakutan dan dipenuhi rasa malu. Seorang tetua yang berani mengangkat kepalanya dan berkata,
“Kami menyesal. Mohon ampunilah kami. Kami berjanji akan berubah—akan kembali berbuat baik. Tapi katakanlah, apa yang harus kami lakukan untuk mengakhiri penderitaan ini?”

Mata sang dewa melunak, meski hanya sedikit.

“Tak sulit,” katanya. “Aku membutuhkan satu pemuda. Jiwa yang murni dan rela berkorban. Aku akan mengubahnya menjadi seekor katak. Ia akan bernyanyi ke langit, dan nyanyiannya akan memanggil hujan. Tapi ia akan tetap menjadi katak… kecuali suatu hari, ia menemukan seorang gadis yang bisa mencintainya dengan tulus—apa adanya.”

Keheningan berat menyelimuti tempat itu.

Para penduduk menatap sekeliling, mata mereka berpindah dari satu wajah ke wajah lain. Tak seorang pun bersuara, namun kebenaran tampak jelas—tak ada yang ingin menjadi sukarelawan. Para ibu memeluk erat putra-putra mereka. Para pemuda menundukkan kepala, memandangi kaki mereka. Bahkan para prajurit terberani pun ragu.

Keheningan berubah menjadi beban.
Dewa Kegelapan mengamati mereka tanpa menghakimi, hanya menunggu.

Di luar pura, tanah kembali retak. Sebuah sumur mengering lagi. Di kejauhan, seekor sapi melenguh pelan dan roboh. Waktu hampir habis. Tanpa hujan, lebih banyak nyawa akan melayang.

Tangis pun mulai terdengar—bukan hanya karena takut, tapi karena malu.

Dan saat itulah… sebuah suara lembut terdengar.






Di tengah kerumunan, sebuah sosok yang tenang melangkah maju.

Dialah Pangeran Putu Oka, putra bungsu dari keluarga kerajaan. Meski ia mengenakan pakaian indah, hatinya tetap rendah hati. Ia telah menyaksikan penderitaan itu—anak-anak menangis kehausan, para lansia melemah, hewan-hewan tak mampu berdiri. Dan hatinya tak sanggup lagi menanggungnya.

“Aku yang akan melakukannya,” katanya, suaranya jernih namun tenang. “Aku akan menjadi katak itu.”

Suara gemuruh takjub memenuhi udara. Orang-orang terdiam dalam keterkejutan. Kedua orang tuanya mencoba menahannya, tetapi ia hanya tersenyum.

“Seorang pemimpin harus melindungi rakyatnya. Jika suaraku bisa membawa hujan, maka biarkan aku bernyanyi.”

Dewa Kegelapan menatap dalam ke mata sang pangeran, lalu mengangkat tangannya. Pusaran angin dan bayangan menyelimuti Putu Oka, dan dalam sekejap, sang pangeran lenyap—digantikan oleh seekor katak hijau kecil, bermata emas terang dan bersuara lembut serta tenang.

Ia membuka mulutnya… dan mulai bernyanyi.

Nyanyiannya lembut dan bergema, seperti tetesan air yang jatuh ke batu. Ia naik ke langit, berputar ke dalam awan, dan membawa kesedihan dari bumi. Tanah pun mendengarkan.

Dan kemudian… awan menjawab.

Guntur menggema dari kejauhan. Angin sejuk menyapu desa. Langit menggelap—bukan oleh rasa takut, tetapi oleh harapan. Setetes hujan jatuh. Lalu satu lagi. Dan akhirnya langit tercurah.

Rakyat bersorak! Mereka menari di bawah hujan, tertawa dan menangis. Sumur-sumur terisi kembali. Sawah-sawah menjadi hijau kembali. Sapi-sapi mengangkat kepala dan melenguh bahagia.

Pangeran Putu Oka—meskipun kini seekor katak—menyaksikan semuanya dengan hati yang hangat. Pengorbanannya telah menyelamatkan negeri.

Namun seiring berlalunya hari, sesuatu mulai tumbuh dalam dadanya. Bukan rasa bangga, tetapi kesepian.

Ia duduk di tepi kolam, memandangi anak-anak bermain. Ia teringat saat dulu ia berlari bersama mereka, saat mereka memanggil namanya. Kini, mereka hanya menunjuk dari kejauhan.

“Itu pangeran katak!” mereka berbisik.
“Dia yang menyelamatkan kita… tapi dia bukan seperti dulu lagi.”

Sang pangeran menghela napas. Ia merindukan tawa. Ia merindukan teman-temannya. Ia merindukan saat dilihat sebagai lebih dari sekadar seekor katak kecil yang aneh.

Ia telah membawa kehidupan kembali ke pulau…
Namun siapa yang akan mengembalikan kehidupan ke dalam dirinya?










Namun Pangeran Putu Oka, meskipun kecil dan hijau, tidak menyerah. Di dalam hatinya, ia menggenggam sebuah janji:

“Jika aku bisa menemukan seorang gadis yang benar-benar mencintaiku apa adanya, aku akan menjadi manusia kembali.”

Dan begitu lah, sang pangeran katak memulai perjalanannya yang sunyi, melompat dari kolam ke kolam, dari kebun ke kebun. Ia membantu para petani dengan memakan hama di ladang mereka. Ia bernyanyi untuk hewan-hewan yang kesepian. Namun tetap saja, tak ada yang menatapnya dengan cinta.

Hingga pada suatu sore, ia tiba di sebuah istana yang tenang, dikelilingi pepohonan berbunga. Di taman, di bawah naungan pohon kamboja, duduklah seorang gadis—matanya dipenuhi kesedihan.

Pangeran katak melompat mendekat.

“Mengapa kau tampak begitu sedih?” tanyanya dengan lembut.

Gadis itu terkejut dan berkedip. “Seekor katak yang bisa bicara?” bisiknya.

Namun entah mengapa, ia tidak merasa takut. Suara sang katak mengingatkannya pada air dan angin—tenang dan penuh kebaikan.

“Aku kehilangan cincin kesayanganku,” katanya sambil menunjuk ke arah kolam. “Itu milik almarhum ibuku. Pagi tadi jatuh ke dalam kolam, dan tak ada yang bisa menemukannya.”

“Aku akan membantumu,” kata si katak.

Tanpa menunggu, ia langsung melompat ke dalam kolam dengan cipratan air. Air menyambutnya—ia masih bagian dari lagunya. Dengan gerakan cekatan, ia menyelam di antara batu dan akar... dan di sanalah cincin itu, berkilau samar di air yang keruh.

Pangeran katak berenang ke permukaan dan meletakkan cincin itu di kaki sang gadis.

Mata gadis itu membelalak penuh suka cita.

“Kau menemukannya!” serunya, memeluk cincin itu. “Kau begitu baik… Terima kasih.”

Ia terdiam sejenak, lalu menatap sang katak dengan pandangan yang lebih dalam.

“Tahukah kamu… aku belum pernah bertemu makhluk seperti kamu. Meskipun kamu seekor katak… kurasa aku mencintaimu.”

Pada saat itu, udara pun berkilau.

Awan-awan terbuka di atas mereka seolah langit ikut tersenyum. Cahaya menyelimuti sang katak—lembut dan keemasan. Gadis itu terperangah saat tubuh si katak mulai berubah—kakinya memanjang, tangannya tumbuh, dan matanya bersinar hangat.

Di hadapannya kini berdiri seorang pemuda tampan, dengan tatapan yang masih menyimpan kelembutan yang sama.

“Kau… kau katak itu?” bisik sang gadis.

Ia mengangguk. “Pangeran Putu Oka. Dan cintamu telah membawaku kembali.”

Sang gadis tersenyum, hatinya dipenuhi sukacita. Tak lama kemudian, mereka pun menikah dalam perayaan penuh musik, bunga, dan hujan yang turun perlahan seperti berkah.

Bersama, mereka memerintah dengan penuh kebaikan.
Mereka mengingatkan semua orang bahwa cinta bukan tentang rupa—melainkan tentang kebenaran, ketulusan, dan pengorbanan.

Dan demikianlah, tanah Bali pun kembali bermekaran.
Bukan hanya oleh hujan dan hasil panen… tetapi oleh hati yang belajar untuk peduli.

✨🐸❤️👑🌿





🌱 Pesan Moral

"Cinta sejati melihat lebih dari penampilan. Kebaikan dan pengorbanan membawa berkah, bukan hanya bagi satu orang, tetapi bagi semua."

"Saat kita menolong dengan hati yang tulus, cinta dan berkah akan datang."










Bali




Batara Kala



No comments:

Post a Comment