Pada zaman dahulu, di tengah pulau Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang perempuan tua bersama satu-satunya anak laki-lakinya yang bernama La Ane. Suaminya telah lama meninggal dunia, meninggalkan ia untuk membesarkan anak mereka seorang diri. Meski tubuhnya telah renta dan langkahnya tidak lagi sekuat dulu, semangatnya tetap menyala. Setiap hari, ia pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu menjualnya di pasar demi menyambung hidup.
Hidup mereka sederhana dan penuh perjuangan, namun perempuan tua itu tidak pernah mengeluh. Harapan terbesarnya adalah agar La Ane tumbuh menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab. Setiap pagi sebelum berangkat, ia menyiapkan makanan seadanya dan selalu mengingatkan anaknya untuk membantu mengurus rumah.
"Jangan lupa sapu lantainya, ya. Dan ingat, cucilah baju-baju kita. Sudah banyak yang kotor," ucapnya sambil mengikat selendang di kepala.
Namun, La Ane jarang mendengarkan. Perhatiannya hanya tertuju pada gasing kesayangannya—mainan kayu yang selalu ia bawa ke mana-mana. Saat ibunya berbicara, ia hanya mengangguk asal dan tetap asyik memutar gasingnya di lantai tanah.
"Iya, Bu," jawabnya sambil tetap bermain, tidak peduli pada tugas yang diberikan.
Perempuan tua itu hanya bisa menghela napas. Hatinya sedih karena diabaikan, namun ia tetap melangkah pergi ke hutan dengan memikul beban kebutuhan keluarga di pundaknya yang rapuh.
Menjelang sore, ketika matahari mulai condong ke barat dan bayangan pepohonan memanjang di tanah, ia pulang ke rumah dengan tubuh letih. Tapi alangkah kecewanya dia—rumah masih berantakan, baju kotor berserakan, lantai belum disapu, dan La Ane tak terlihat di mana pun.
"La Ane, kamu di mana?" panggilnya, suaranya memadukan cemas dan marah.
Tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, La Ane muncul dengan pakaian kotor dan wajah belepotan tanah. Wajahnya tampak lelah sekaligus puas setelah bermain seharian.
"Kamu dari mana saja? Ibu mencarimu," tanya perempuan tua itu, berusaha menahan amarahnya.
"Aku main gasing sama teman-teman," jawab La Ane tanpa rasa bersalah.
"Ibu sudah bilang untuk bersihkan rumah, kan? Kenapa tidak kamu lakukan?" suaranya kini gemetar—bukan hanya karena marah, tetapi karena kecewa yang dalam.
Perempuan tua itu sangat sedih. Seberapa sering pun ia menasihati La Ane, anak itu tidak pernah membantu. Ia lebih suka bermain daripada membantu ibunya. Begitulah La Ane setiap hari—begitu ibunya pergi ke hutan, ia pun pergi bermain. Ia baru pulang saat lapar melanda.
Meski tidak pernah ia ucapkan, hati sang ibu terasa perih. Anak yang ia besarkan dengan cinta dan susah payah seolah lebih peduli pada gasingnya daripada rumah atau ibunya sendiri. Dan kesedihan itu terus bertambah hari demi hari.
Suatu hari, perempuan tua itu tidak bisa lagi menahan perasaannya. Kesabarannya telah habis setelah sekian lama diabaikan. Ia sangat menyayangi La Ane, tapi ia juga ingin anaknya belajar bertanggung jawab dan menghargai orang tua. Dengan hati yang berat, ia mengambil gasing kesayangan La Ane—mainan yang paling ia cintai—lalu memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Potongan itu ia letakkan dengan hati-hati di atas piring, di meja makan, tepat di tempat biasanya ia menyajikan makanan.
Sore harinya, La Ane pulang seperti biasa, berharap akan menemukan makanan. Namun saat ia melihat piring di meja, langkahnya terhenti. Tak ada makanan. Yang ada hanyalah potongan gasingnya yang hancur berkeping-keping. Matanya melebar. Hatinya terasa perih.
Air mata mulai menggenang. “Kenapa, Ibu?” bisiknya. “Kenapa Ibu melakukan ini? Apakah Ibu sudah tidak sayang padaku lagi?”
Merasa tidak dicintai, La Ane lari keluar rumah. Ia memanjat pohon tinggi di halaman, membawa serta kesedihannya yang menggunung.
Dari atas pohon, ia berteriak, “Ibu, kenapa Ibu tidak sayang padaku lagi? Kenapa Ibu tidak memberi aku makanan? Kalau Ibu sudah tidak mau menerimaku, lebih baik aku jadi burung saja!”
Tiba-tiba, sesuatu yang ajaib terjadi. Begitu kata-kata itu terucap, bulu-bulu halus dan berwarna indah mulai tumbuh di tubuhnya. Tangannya berubah menjadi sayap, kakinya menjadi cakar. Ya—La Ane berubah menjadi seekor burung!
Saat perempuan tua itu pulang dari hutan, ia langsung mencari anaknya.
“La Ane! Kamu di mana? Masih main, ya? Pulang sekarang, Nak!” panggilnya dengan suara cemas.
Dari atas pohon, terdengar suara lembut, “Ntaapo-apo!”
Ia terdiam, terkejut. Suara itu... suara La Ane!
“La Ane! Di mana kamu, Nak?” panggilnya lagi, kini disertai rasa panik.
“Ntaapo-apo!” terdengar lagi suara itu.
Ia mendongak ke atas dan ternganga. Di sana, di atas dahan tertinggi pohon, bertengger seekor burung yang sangat indah. Bulu-bulunya berkilau seperti burung cendrawasih. Matanya... penuh kesedihan.
“La Ane, itu kamu? Ya Tuhan! Apa yang terjadi padamu? Turunlah, Nak! Ibu minta maaf...”
Namun La Ane hanya menjawab, “Ntaapo-apo...” lalu mengepakkan sayapnya dan terbang jauh ke langit, menghilang di balik awan.
Perempuan tua itu berlutut, air matanya tumpah. Penyesalan menggelayuti hatinya. Tapi semuanya sudah terlambat. Anaknya telah pergi, berubah menjadi burung.
Sejak hari itu, masyarakat Muna mengenal burung yang suaranya memanggil, “Ntaapo-apo” dari atas pepohonan. Mereka percaya itu adalah La Ane, anak yang berubah menjadi burung. Konon, burung itu masih bisa terdengar suaranya dari atas pepohonan di Sulawesi Tenggara, seolah La Ane masih terbang bebas membawa kisahnya.
🌱 Pesan Moral:
Ketidakpatuhan dan sikap acuh bisa membawa akibat yang menyakitkan, namun begitu pula jika kita bereaksi dengan amarah tanpa memahami. Cerita ini mengajarkan bahwa hubungan antara orang tua dan anak perlu dibangun dengan saling menghargai, komunikasi yang baik, dan kasih sayang. Cinta tidak hanya melalui teguran, tapi juga bimbingan dan kesabaran.
![]() |
Wakatobi, Sulawesi |
No comments:
Post a Comment