Dahulu kala, di antara bukit-bukit hijau yang subur di Bali, terdapat sebuah desa yang tenang, di mana warganya hidup harmonis dengan alam. Sebagian besar penduduk desa adalah petani, bangun bersama matahari dan merawat ladang mereka dengan penuh perhatian. Di antara mereka ada seorang pria bernama Jurna—seorang petani yang pekerja keras dan berdedikasi, dikenal karena hasil panennya yang melimpah. 🌾
Tahun demi tahun, ladang padi Jurna berkilau emas di bawah sinar matahari. Tanamannya tumbuh tinggi dan kuat, dan tak ada seorang pun di desa yang bisa menandingi kelimpahan yang dihasilkannya. Namun, meskipun sukses, hati Jurna tak pernah merasa puas. Semakin banyak yang ia panen, semakin banyak pula yang ia inginkan.
"Aku harus memiliki lebih," sering kali gumam Jurna sambil memandang ladangnya yang subur.
"Panen yang lebih baik, hasil yang lebih kaya... Ya, aku akan meminta pada para dewa."
Suatu sore, saat langit memerah dengan warna senja, Jurna menatap istrinya dengan cahaya ambisi di matanya.
"Aku akan membuat janji pada para dewa," katanya.
"Jika mereka memberi aku panen yang lebih besar dari yang pernah aku miliki, aku akan memberikan persembahan yang berlimpah kepada mereka. Dan aku akan berbagi berkahku dengan tetangga-tetangga kita."
Istrinya memandangnya dengan diam, tak tahu apakah harus merasa bangga atau khawatir. Janji itu terdengar mulia—tapi jauh di dalam hati, ia merasakan ada yang mulai berubah dalam diri Jurna.
"Aku setuju," kata istrinya dengan lembut, "tapi ingat—kamu harus menepati janji itu."
Waktu berlalu, dan seperti yang diharapkan Jurna, hasil panennya menjadi lebih kaya dari sebelumnya. Ladang padi berkilau seperti emas di bawah sinar matahari, dan lumbungnya meluap. Jurna sangat senang. Sesuai janjinya, ia menyiapkan persembahan yang indah untuk para dewa—buah-buahan, bunga-bunga, dan nampan dari daun kelapa yang dianyam. Ia juga berbagi hasil panennya dengan tetangga-tetangganya, yang tersenyum penuh rasa terima kasih dan memuji kebaikannya.
Namun meskipun begitu, Jurna tetap tidak merasa puas.
"Ini sudah baik," pikirnya, "tapi aku ingin lebih banyak lagi. Jika aku memberi dua kali lipat, mungkin para dewa akan memberkanku dua kali lipat lebih besar."
Jadi sekali lagi, ia membuat janji. Ia berjanji pada para dewa bahwa jika mereka memberinya panen yang lebih baik lagi, ia akan menggandakan persembahannya dan menjadi lebih dermawan kepada orang-orang di sekitarnya.
Dan sekali lagi, keinginannya terkabul. Tanaman padi tumbuh lebih tinggi, lebih penuh, dan lebih hijau dari sebelumnya. Para petani lain pun tercengang. "Jurna pasti benar-benar diberkahi," kata mereka. "Dia selalu membagikan keberuntungannya kepada kami."
Jurna tersenyum bangga—namun di dalam hatinya, sesuatu yang lain mulai tumbuh: rasa lapar untuk lebih, dan lebih lagi...
Suatu hari, Jurna pergi untuk merawat ladang padinya. Saat ia mendekat, matanya tertuju pada sesuatu yang aneh—sebuah tumpukan tanah besar tergeletak di tanah. Setelah diperiksa lebih dekat, ia menyadari bahwa itu mirip dengan catu—alat tradisional yang terbuat dari tempurung kelapa yang digunakan oleh penduduk desa untuk mengukur jumlah padi yang dipanen. Penasaran, Jurna berlutut untuk memeriksanya lebih lanjut.
Malam itu, ia menceritakan penemuannya kepada istrinya, mengabarkan tentang formasi tanah aneh berbentuk catu. Setelah berpikir sejenak, istrinya punya ide.
"Kenapa tidak membuat catu dari padi?" usulnya dengan cahaya kreativitas di matanya.
Jurna, yang tertarik dengan ide itu, setuju, dan bersama-sama mereka bekerja hingga larut malam, hati-hati membentuk padi menjadi replika alat pengukur tradisional itu. Keesokan paginya, saat Jurna kembali ke ladang padinya, ia terkejut melihat bahwa catu tanah itu telah tumbuh lebih besar semalaman, ukurannya kini lebih mengesankan dari sebelumnya.
"Hmm... Rasanya aku bisa membuat catu padi yang lebih besar lagi daripada ini," pikir Jurna dengan kebanggaan yang semakin tumbuh.
Penuh semangat dengan kemungkinan itu, ia meminta istrinya untuk membantunya menciptakan catu padi yang lebih besar lagi. Mereka bekerja dengan tekun, Jurna merasakan kepuasan di setiap genggaman padi yang mereka tempatkan. Ia memiliki rencana besar untuk memamerkan karyanya kepada tetangga, berharap pujian mereka akan mengukuhkan rasa sukses yang semakin tumbuh dalam dirinya.
Keesokan harinya, ketika ia mempersembahkan catu padi itu kepada tetangganya, mereka tercengang melihat ukurannya. Para penduduk desa tidak henti-hentinya memujinya atas kecerdasannya dan kemegahan ciptaannya. "Jurna pasti sangat kaya," bisik mereka di antara diri mereka sendiri. Pujian itu mengisi hati Jurna dengan kebanggaan, tetapi saat kata-kata pujian berputar di sekitarnya, sesuatu mulai bergeser dalam dirinya. Ia menjadi sombong, percaya bahwa semakin besar catu itu, semakin besar pula harganya di mata komunitasnya.
Pada hari berikutnya, saat Jurna tiba di ladang padinya, ia mengira catu tanah itu akan tetap sebesar itu, atau bahkan sedikit menyusut. Tetapi, betapa terkejutnya ia ketika mendapati catu itu tumbuh jauh lebih besar—jauh melebihi apa yang ia bayangkan.
"Jangan khawatir," kata Jurna sambil tersenyum sinis, rasa percaya dirinya semakin menggelembung. "Aku punya lebih dari cukup padi untuk membuat catu ini lebih besar lagi. Biarkan tetangga melihat betapa kayanya aku sebenarnya."
Saat ia menambahkan lebih banyak padi ke dalam catu itu, Jurna membayangkan pujian yang akan ia terima. Ia sudah bisa mendengar para penduduk desa membicarakan kekayaan barunya.
Dan sekali lagi, keinginannya terkabul. Ketika para tetangga datang dan melihat catu padi yang lebih besar lagi, mereka terkagum-kagum dengan ukurannya dan sekali lagi memuji kekayaan yang tampaknya dimiliki Jurna. Pujian mereka semakin berkembang seiring dengan bertambahnya ukuran catu, dan begitu juga dengan kesombongan Jurna. Ia tidak lagi melihat membuat catu itu sebagai tugas sederhana—sekarang ia telah menjadi simbol dari kebanggaannya, egonya yang terus berkembang setiap harinya.
Namun sedikit yang Jurna ketahui, obsesinya terhadap ukuran catu itu akan membawanya ke jalur yang jauh lebih tak terduga daripada yang pernah ia bayangkan.
Hari-hari berlalu, dan setiap kali Jurna mengunjungi ladang padi miliknya, ia berharap, dengan semakin putus asa, bahwa catu tanah yang aneh itu akhirnya akan berhenti tumbuh. Namun, ketika ia tiba pagi itu, ia melihat bahwa catu tersebut tumbuh lebih besar lagi, ukurannya kini jauh melampaui apa yang bisa ia bayangkan. Melihatnya membuat gelombang frustrasi menghantam dirinya. Tumpukan tanah yang dulu dapat dikelola kini menjadi bukit yang menjulang, dan Jurna tidak bisa menahan perasaan marah dan kebingungannya.
Dengan tekad untuk tetap unggul, ia langsung bekerja, menggunakan sisa beras yang terakhir untuk membangun catu yang lebih besar lagi, yakin bahwa ini akan menjadi langkah terakhir untuk membuktikan kekayaan dan statusnya. Namun, pola ini terus berlanjut hari demi hari. Setiap kali ia tiba di ladangnya, catu tanah itu tumbuh pesat, dan ia merasa terpaksa untuk menambah lebih banyak beras, setiap upaya menjadi semakin berlebihan dari yang sebelumnya. Siklus pertumbuhan ini tampaknya tak ada habisnya.
Istri Jurna, yang menyadari stok beras yang semakin berkurang dan pemborosan yang semakin menumpuk, semakin khawatir. Ia dengan lembut namun tegas mengingatkan, "Jurna, tolong berhenti. Beras kita hampir habis. Kamu hanya membuat semuanya semakin buruk."
Suara istrinya penuh kekhawatiran, tetapi Jurna, yang didorong oleh keinginannya untuk mendapatkan pujian, mengabaikan permohonannya. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana ia bisa membuat catu berasnya lebih besar daripada catu tanah yang kini sudah sangat besar. Obsesi Jurna untuk mengalahkan catu tanah itu sepenuhnya menguasainya, dan ia mengabaikan konsekuensi dari tindakannya.
Seiring berjalannya waktu, beras yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi keluarga mereka menghilang sepenuhnya, ditelan oleh catu beras yang semakin meluas. Tanpa tersisa, ladang Jurna yang dulu subur kini menjadi kosong. Ia telah menghabiskan seluruh sumber daya yang dimilikinya, dan kekayaannya telah lenyap menjadi gundukan yang terus membesar.
Suatu hari, ketika Jurna tiba di ladangnya, ia dihadapkan pada kenyataan yang menghancurkan bahwa tidak ada lagi beras untuk memberi makan catu. Tanahnya tandus, dan catu beras itu bukan hanya sekadar ukuran lagi—ia telah menjadi kekuatan besar yang tidak bisa lagi dibendung. Catu tanah, yang dulu hanya tumpukan sederhana, kini telah berkembang menjadi bukit besar, menjulang di atas lanskap sekitar. Ukurannya begitu luas sehingga tidak hanya tumpukan tanah, tetapi sudah menjadi puncak tinggi yang dapat terlihat dari miles jauhnya.
Orang-orang yang dulu memujinya karena ciptaannya mulai menyebut formasi besar itu "Bukit Catu", sebuah pengingat yang jelas akan kebodohan Jurna. Bukit itu menjadi simbol keserakahan dan keangkuhannya, sebuah titik penanda bagi siapa saja yang melewatinya, berbisik tentang kisah pria yang kehilangan segalanya dalam mengejar mimpi kosong.
Jurna, kini miskin dan rendah hati, berdiri di kaki Bukit Catu, menatap monumen ambisinya sendiri. Beratnya penyesalan terasa begitu dalam di dadanya. Ia telah mengorbankan segalanya—beras, tanah, masa depannya—untuk ilusi kekayaan dan status. Namun kini, yang tersisa hanya bukit yang menjulang, pengingat yang tak terbantahkan tentang akibat dari sifat egoisnya.
Pesan Moral:
Kisah Jurna dan Bukit Catu mengajarkan bahaya keserakahan dan ambisi yang tak terkendali. Meskipun wajar untuk mencari pertumbuhan dan kemakmuran, ketika didorong oleh keinginan egois dan kebutuhan untuk mendapatkan validasi terus-menerus, kita berisiko kehilangan segala sesuatu yang sebenarnya penting. Obsesi Jurna untuk membuat catu berasnya lebih besar daripada catu tanah, mengabaikan kebutuhan keluarganya dan konsekuensi dari tindakannya, akhirnya membawa kepada kehancurannya. Bukit Catu yang besar berdiri sebagai pengingat bahwa kepuasan sejati tidak datang dari pengakuan eksternal atau akumulasi tanpa henti, melainkan dari keseimbangan, kerendahan hati, dan menghormati sumber daya serta hubungan yang menopang kita. Ambisi yang berlebihan, ketika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan perhatian, bisa menghabiskan semua yang kita hargai. 🌱
No comments:
Post a Comment