Keindahan dan Keberanian dalam Derap Kuda: Menelusuri Peran Kuda dalam Tradisi Budaya Indonesia
Pasola: Tradisi yang Memacu Adrenalin
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang merujuk pada lembing kayu yang digunakan dalam pertarungan simbolis. Dengan tambahan imbuhan "pa-", maknanya berubah menjadi "permainan." Maka, Pasola secara harfiah berarti permainan ketangkasan yang melibatkan aksi saling lempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang dipacu kencang. Tradisi ini mempertontonkan keberanian dan keahlian para penunggang kuda dari dua kelompok yang saling berhadapan, menciptakan pemandangan yang penuh ketegangan dan energi. Lebih dari sekadar permainan, Pasola adalah simbol kekuatan, kerukunan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur Sumba.
Foto: Pasola |
Tradisi yang Sarat Makna Ritual
Pasola bukan sekadar permainan ketangkasan, melainkan bagian penting dari rangkaian upacara adat masyarakat Sumba yang masih menganut agama leluhur bernama Marapu. Tradisi sakral ini berlangsung di empat kampung utama di Kabupaten Sumba Barat, yaitu Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Setiap kampung memiliki jadwal pelaksanaan yang bergiliran, biasanya antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. Pasola tak hanya menjadi ajang unjuk ketangkasan, tetapi juga wujud syukur dan penghormatan kepada leluhur, dengan kepercayaan bahwa hasil panen akan berlimpah jika Pasola terlaksana dengan baik. Nuansa spiritual dan nilai-nilai budaya inilah yang membuat Pasola begitu unik dan penuh daya tarik, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan.
Sejarah Pasola: Kisah Asmara, Duka, dan Tradisi yang Abadi
Asal-usul Pasola berakar dari legenda masyarakat Sumba yang penuh warna, mengisahkan cinta, kehilangan, dan rekonsiliasi. Cerita ini bermula di Kampung Waiwuang, di mana hiduplah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba, istri dari Umbu Amahu, salah satu dari tiga pemimpin kampung. Bersama dua pemimpin lainnya, Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu, mereka pergi melaut dengan tujuan mencari padi di wilayah selatan pantai Sumba Barat.
Namun, waktu berlalu, dan ketiga pemimpin itu tak kunjung kembali. Warga Kampung Waiwuang pun mengira mereka telah meninggal di laut. Dalam suasana duka yang mendalam, janda Rabu Kaba bertemu dengan seorang pemuda gagah bernama Teda Gaiparona dari Kampung Kodi. Seiring berjalannya waktu, keduanya jatuh cinta. Meski keluarga Rabu Kaba dan Teda Gaiparona menentang hubungan mereka, keduanya memutuskan untuk melarikan diri ke Kampung Kodi.
Tak disangka, beberapa waktu kemudian, ketiga pemimpin yang sebelumnya dianggap hilang, yaitu Ngongo Tau Masusu, Bayang Amahu, dan Umbu Amahu, kembali ke Kampung Waiwuang. Kembalinya mereka membawa kejutan besar, terutama bagi Umbu Amahu, yang mendapati bahwa istrinya, Rabu Kaba, telah pergi bersama Teda Gaiparona.
Dengan perasaan kecewa, Umbu Amahu meminta Rabu Kaba untuk kembali ke Kampung Waiwuang. Namun, cinta Rabu Kaba kepada Teda Gaiparona telah mengakar kuat. Ia memilih tetap bersama kekasihnya. Sebagai bentuk penyelesaian konflik adat, Rabu Kaba meminta Teda Gaiparona untuk membayar belis, yaitu mahar tradisional yang meliputi kuda, sapi, kerbau, dan barang-barang berharga lainnya, kepada keluarga Umbu Amahu. Teda Gaiparona pun memenuhi syarat tersebut dan membayar belis sebagai simbol tanggung jawabnya.
Setelah belis dilunasi, pernikahan Rabu Kaba dan Teda Gaiparona pun dirayakan dengan meriah. Di akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu Dula memberikan pesan kepada warga Kampung Waiwuang agar melupakan duka mereka dengan menggelar sebuah perayaan besar. Maka, digelarlah pesta nyale dalam bentuk permainan Pasola, sebuah ajang adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda. Ritual ini dipercaya dapat menghilangkan kesedihan dan membawa berkah bagi hasil panen yang melimpah.
Hingga kini, Pasola tetap diperingati setiap tahun di Sumba sebagai simbol tradisi yang memadukan nilai budaya, spiritualitas, dan warisan leluhur. Dari legenda Rabu Kaba, lahirlah tradisi besar yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menggambarkan kedalaman nilai kemanusiaan, cinta, dan rekonsiliasi.
Proses Upacara Pasola: Dari Adat Nyale hingga Perayaan di Padang Luas
1. Upacara Adat Nyale
Sebelum Pasola dimulai, terlebih dahulu dilaksanakan upacara adat Nyale, sebuah tradisi rasa syukur yang melibatkan kemunculan cacing laut (nyale) di tepi pantai. Upacara ini dilaksanakan pada saat bulan purnama, saat nyale diyakini akan keluar dari lautan.
Proses Upacara Nyale:
-
Pengamatan Nyale:
Para Rato (pemuka adat) bertugas mengamati dan memprediksi waktu kemunculan nyale, biasanya di pagi hari saat cahaya mulai terang. -
Pengambilan Nyale Pertama:
Setelah nyale pertama tertangkap oleh Rato, ia akan membawa cacing tersebut ke majelis para Rato. Di sinilah dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap bentuk, warna, dan kondisi fisik nyale. -
Penafsiran Pertanda Alam:
- Jika nyale gemuk, sehat, dan berwarna-warni, maka diyakini tahun tersebut akan membawa kemakmuran dan panen yang melimpah.
- Sebaliknya, jika nyale kurus, kecil, atau rusak, hal ini dianggap sebagai pertanda buruk, yaitu kemungkinan adanya bencana atau hasil panen yang buruk.
-
Penangkapan Nyale oleh Masyarakat:
Setelah pengamatan selesai, barulah masyarakat diperbolehkan menangkap nyale secara bebas. Pada titik ini, nyale dianggap sebagai simbol kelimpahan rezeki. -
Hubungan dengan Pasola:
Pasola tidak dapat dimulai tanpa kehadiran nyale, karena nyale adalah simbol keberkahan dan restu dari para dewa Marapu.
2. Pelaksanaan Pasola
Setelah upacara Nyale selesai, tiba saatnya masyarakat melaksanakan Pasola, sebuah permainan tradisional yang menggabungkan seni bertarung, olahraga, dan ritual kesuburan. Pasola diselenggarakan di padang rumput luas yang dikelilingi oleh warga, tamu, dan wisatawan yang datang untuk menyaksikan peristiwa sakral ini.
Tahapan Pelaksanaan Pasola:
-
Persiapan dan Pembagian Kelompok:
- Para peserta Pasola dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari lebih dari 100 orang ksatria muda.
- Para peserta menaiki kuda-kuda terlatih yang terkenal lincah dan cepat.
-
Peralatan Perang:
- Senjata utama adalah lembing kayu tumpul berdiameter sekitar 1,5 cm. Meskipun ujungnya tumpul, senjata ini tetap dapat melukai bahkan menyebabkan kematian.
-
Pertarungan di Padang Luas:
- Dua kelompok ksatria saling berhadapan di tengah lapangan.
- Mereka memacu kuda dengan kecepatan tinggi sambil melemparkan lembing ke arah lawan.
- Suasana dipenuhi derap kuda, pekikan para penonton perempuan yang memberi semangat, serta teriakan lantang para peserta yang sedang bertarung.
-
Aksi dan Kecakapan Peserta:
- Para ksatria harus memiliki keahlian untuk menghindari lemparan lembing dari lawan sambil menjaga kendali kuda mereka.
- Dengan ketangkasan dan kecepatan refleks, mereka harus mampu menghindari lemparan tombak dan melancarkan serangan balik.
3. Simbolisme dan Makna Pasola
-
Kesuburan Tanah:
- Darah yang tercurah di padang Pasola dianggap sebagai berkah bagi kesuburan tanah. Darah ini dipercaya dapat menyuburkan tanah dan menjamin keberhasilan panen di tahun berikutnya.
-
Peringatan Adat dan Hukum Spiritual:
- Jika ada peserta yang terluka parah atau meninggal selama permainan, hal ini dipercaya sebagai tanda bahwa korban tersebut telah melanggar norma adat Marapu.
- Dalam kepercayaan masyarakat Sumba, kejadian semacam ini tidak dianggap sebagai kecelakaan biasa, melainkan sebagai hukuman dari dewa Marapu kepada mereka yang melakukan pelanggaran.
Suasana dan Pengalaman Pasola
Pertarungan Pasola menciptakan suasana yang tegang, penuh semangat, dan mendebarkan. Derap kaki kuda yang menggetarkan tanah, suara ringkikan kuda, dan sorak-sorai penonton, terutama dari kaum perempuan, menambah intensitas acara. Pekikan para perempuan ini diyakini membawa semangat dan keberuntungan bagi para ksatria yang bertanding.
Pasola tidak hanya sekadar permainan, tetapi juga sebuah upacara sakral dan pertunjukan budaya yang memadukan seni, kekuatan fisik, dan spiritualitas. Dari adat Nyale hingga Pasola, tradisi ini menjadi lambang warisan luhur masyarakat Sumba yang terus hidup dan dirayakan setiap tahun.
Pasola bukan sekadar hiburan atau permainan tradisional. Di balik prosesi ini, terkandung makna spiritual yang mendalam:
- Bentuk Ketaatan kepada Leluhur: Pasola merupakan wujud pengabdian kepada para leluhur dan dewa Marapu. Masyarakat percaya bahwa partisipasi dalam Pasola merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi warisan nenek moyang.
- Ekspresi Rasa Syukur: Pasola dirayakan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah. Sebelumnya, upacara Nyale menjadi pertanda baik atau buruknya hasil panen. Jika panen diprediksi berhasil, maka Pasola menjadi perayaan penuh kegembiraan.
- Kesuburan Tanah: Darah yang tercurah selama Pasola diyakini mampu menyuburkan tanah. Kepercayaan ini terkait erat dengan kepercayaan Marapu, di mana darah manusia atau hewan yang tumpah di tanah dianggap membawa berkah bagi kesuburan bumi dan hasil panen di masa depan.
2. Manfaat Sosial dan Kultural
Pasola memiliki peran penting dalam memperkuat hubungan sosial dan budaya masyarakat Sumba:
- Perekat Persaudaraan: Pasola melibatkan dua kelompok yang bertanding, tetapi bukan untuk permusuhan. Justru sebaliknya, Pasola mempererat hubungan persaudaraan di antara para peserta maupun masyarakat yang menyaksikan.
- Pelestarian Tradisi dan Identitas Budaya: Pasola adalah simbol warisan budaya takbenda yang terus dijaga dari generasi ke generasi. Tradisi ini memperkuat identitas masyarakat Sumba dan membuat mereka bangga akan kekayaan budayanya.
- Simbol Persatuan dan Gotong Royong: Dengan adanya pengelolaan upacara Nyale hingga Pasola, masyarakat secara kolektif berperan aktif dalam acara tersebut. Proses ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan.
3. Manfaat Ekonomi dan Pariwisata
Selain manfaat spiritual dan sosial, Pasola juga membawa dampak positif bagi sektor pariwisata dan ekonomi lokal:
- Daya Tarik Pariwisata Internasional: Pasola telah menjadi salah satu daya tarik utama wisata Sumba. Setiap tahunnya, banyak wisatawan mancanegara yang datang khusus untuk menyaksikan peristiwa ini. Hal ini berdampak positif pada jumlah kunjungan wisata ke Sumba.
- Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD): Melalui pengelolaan acara Pasola yang terorganisir, pendapatan daerah meningkat, terutama dari sektor pariwisata. Wisatawan yang datang menginap di hotel, menggunakan jasa pemandu wisata, dan membeli kerajinan lokal, semuanya berkontribusi pada ekonomi masyarakat sekitar.
- Pengembangan Ekonomi Lokal: Selama acara Pasola, banyak pedagang lokal yang menjual makanan, minuman, suvenir, dan produk lokal lainnya. Ini menciptakan lapangan kerja sementara dan menghidupkan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi acara.
Kesimpulan
Pasola bukan hanya sekadar permainan tradisional, tetapi juga simbol ketaatan kepada leluhur, perekat sosial, dan penggerak ekonomi. Tradisi ini mengandung nilai-nilai religius, sosial, dan ekonomi yang saling berkaitan. Dari sisi spiritual, Pasola adalah wujud pengabdian kepada leluhur. Dari sisi sosial, Pasola memperkuat persaudaraan dan identitas budaya. Dari sisi ekonomi, Pasola menjadi aset pariwisata yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal dan daerah Sumba.
Pawai Kuda Kosong: Merayakan Tradisi dan Keberagaman Budaya Cianjur
Pawai Kuda Kosong adalah sebuah tradisi unik yang berasal dari Cianjur, Jawa Barat, yang telah diwariskan turun temurun. Setiap tahunnya, masyarakat Cianjur merayakan acara ini dengan semangat yang tinggi, biasanya bertepatan dengan Hari Jadi Kota Cianjur. Pawai ini sering kali diadakan bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Dalam pawai ini, kuda-kuda yang dihias indah, tanpa penunggang, berparade mengelilingi kota, menggambarkan kekuatan budaya dan persatuan masyarakat Cianjur. Tradisi ini tidak hanya sebagai ajang perayaan, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan dan warisan budaya yang terus dilestarikan.
Foto: Kuda Parade Kosong |
Pawai “kuda kosong” yang sejak dulu digelar pada setiap upacara kenegaraan Cianjur, punya maksud untuk mengenang sejarah perjuangan para Bupati Cianjur tempo dulu. Saat Cianjur dijabat Bupati R.A. Wira Tanu seorang Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil palawija kepada Sunan Mataram di Jawa Tengah.
Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II yang dianggap sakti mandragunalah yang rutin ditugaskan untuk menyerahkan upeti tadi. Jenis upeti adalah sebutir beras, lada, dan sebutir cabai. Sambil menyerahkan tiga butir hasil palawija itu, Kangjeng Dalem Pamoyanan selalu menyatakan bahwa rakyat Cianjur miskin hasil pertaniannya. Biar miskin, rakyat Cianjur punya keberanian besar dalam perjuangan bangsa, sama seperti pedasnya rasa cabai dan lada.
Karena pandai diplomasi, Kangjeng Sunan Mataram memberikan hadiah seekor kuda kepada Dalem Pamoyanan. Seekor kuda jantan diberikan untuk sarana angkutan pulang dari Mataram ke Cianjur. Penghargaan besar Sunan Mataram terhadap Kangjeng Dalem Pamoyanan membuat kebanggan tersendiri bagi rahayat Cianjur waktu itu.
Jiwa pemberani rakyat Cianjur seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Dalem Pamoyanan kepada Sultan Mataram membuahkan kenyataan. Sekitar 50 tahun setelah peristiwa seba itu, ribuan rakyat Cianjur ramai-ramai mengadakan perlawanan perang gerilya terhadap penjajah Belanda. Dengan kepemimpinan Dalem Cianjur Rd. Alith Prawatasari, barisan perjuang di setiap desa gencar melawan musuh, sampai-sampai Pasukan Belanda sempat ngacir ke Batavia (sekarang Jakarta).
- Tradisi
Untuk mengenang perjuangan Kangjeng Dalem Pamoyanan yang pandai diplomasi itu, setiap diadakan upacara kenegaraan di Cianjur selalu digelar upacara kuda kosong. Maksud seni warisan leluhur itu untuk mengenang perjuangan pendahulu kepada masyarakat Cianjur sekarang, hal ini akhirnya menjadi suatu perayaan tradisi tahunan bagi warga Cianjur.Perayaan
Pementasan kuda kosong, biasanya diadakan setahun sekali, yaitu pada acara kenegaraan, seperti menyambut hari jadi kota Cianjur, yang bertepatan dengan parade atau Pawai Pembangunan, yang di ikuti oleh berbagai elemen di kota cianjur, dan mempertunjukan beberapa atraksi kendaraan hias, produk - produk unggulan Cianjur, kesenian daerah, khusus nya kesenian asli Cianjur, seperti calung, pencak silat Maen po,qasidah, drumband, dll. Arak - arakan atau pawai ini mengelilingi kota cianjur, yang biasanya dimulai dari depan Pendopo kabupaten cianjur, terus melintasi beberapa jalan protokol. dan Kuda kosong selalu menempati barisan pertama parede tersebut.
Kuda Lumping
Kuda Lumping juga disebut "Jaran Kepang" adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian tradisional yang dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno tempo dulu. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.Foto: Kuda Lumping |
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya.
Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.
Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka.
Kuda Pattudu
Kuda Pattudu (kuda menari) atau kadang orang menyebutnya sebgai to messawe (orang yang mengendarai) merupakan acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Alquran. Bagi suku Mandar di Sulawesi Barat tamat Alquran adalah sesuatu yang sangat istimewa, dan perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat sayyang pattudu. Pesta ini diadakan sekali dalam setahun, biasanya bertepatan dengan bulan Maulid/Rabiul Awwal (kalender hijriyah). Dalam pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang sedang mengikuti acara tersebut.Foto: Kuda Pattudu |
Keistimewaan dari acara ini adalah ketika puncak acara khatam Al-Quran dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu dengan daya tarik tersendiri. Acara ini dimeriahkan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang khatam Alquran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias dengan sedemikian rupa.
Kuda-kuda tersebut juga terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar (kalinda’da’) yang mengiringi arak-arakan tersebut.
Ketika duduk diatas kuda, para peserta yang ikut pesta Sayyang Pattudu harus mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada punggung Kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.
Peserta sayyang pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya keatas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang menawan dan harmonis.
Ketika acara sedang berjalan dengan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue yang akan dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji diatas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.
Rangkaian acara tahunan ini, diikuti oleh sekitar ratusan lebih orang peserta tiap tahunnya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa tersebut, diantara para peserta ada juga yang datang dari desa atau kampung sebelah. Bahkan ada yang datang dari luar kabupaten,maupun luar provinsi Sulawesi Barat.
Pelaksanaan kegiatan ini biasanya di adakan massal di setiap desa atau kecamatan, bahkan terkadang ada yang mengadakannya secara sendiri-sendiri.
Pemerintah Polewali Mandar, Sulawesi Barat, bertekad menjadikan kuda pattudu, alias kuda yang dapat menari, sebagai ikon wisata unggulan. Untuk mewujudkannya, festival untuk kuda spesial itu pun rutin digelar. Pada 2013, festival digelar pada Selasa (17/12/2013).
Tak kurang dari 300 kuda penari, sebutan lengkapnya sayyang pattudu, dari berbagai pelosok desa di Polewali Mandar mengikuti festival ini. Festival digelar dalam rangkaian peringatan ulang tahun ke-54 Polewali Mandar, yang berulang tahun pada 29 Desember, sebagai bagian dari Pekan Budaya Polewali Mandar.
Ribuan orang yang mengenakan pakaian adat turut meramaikan pembukaan pekan budaya tersebut. Mereka berkeliling kota bersama kuda-kuda penari, yang sepanjang perjalanan berlenggak-lenggok mengikuti irama rebana dan perintah tuannya. Pawai dimulai di lapangan Pancasila Polewali Mandar dan berakhir di Stadion Salim S Mengga.
Setiap kuda penari ditunggangi gadis cantik, diiringi sekelompok grup rebana dan seorang Pakkalindagdag alias seniman pantun ala Mandar. Setiap kelompok ini butuh biaya sekitar Rp 5 juta untuk lengkap berkumpul.
Karnaval kuda penari ini menarik perhatian tak hanya dari warga setempat dan wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan asing. Sejumlah wisatawan dari Jepang dan Australia selama beberapa tahun terakhir merupakan penonton festival.
No comments:
Post a Comment