Search This Blog

Pak Lebai Malang

Pak Lebai Malang – Cerita Rakyat Minangkabau tentang Keraguan dan Kesempatan yang Terlewatkan

The Unlucky Mr. Lebay >> English version

Cerita rakyat dari Sumatera Barat





Pak Lebai adalah seorang pria yang plin-plan. Ia sering berubah pikiran di detik-detik terakhir, bahkan setelah membuat keputusan. Ada yang bilang ia terlalu banyak berpikir, ada pula yang bilang ia memang tidak bisa menentukan pilihan. Ia tinggal sendirian di sebuah desa yang tenang di tepi sungai yang lebar dan berkelok. Setiap hari, ia mendayung sampan kecilnya menyusuri sungai—kadang untuk memancing, kadang untuk mengunjungi teman di desa lain. Sungai itu seperti jalan, sahabat, sekaligus tempat ia merenung.

Suatu siang yang cerah, saat Pak Lebai mendayung santai di atas air yang tenang, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil dari tepi sungai.

“Pak Lebai! Pak Lebai!”

Ternyata tetangganya dari sisi timur sungai, melambaikan tangan dengan semangat.

“Besok datang ke rumah saya, ya! Saya akan mengadakan pesta besar,” teriak sang tetangga. “Akan ada gulai kepala kerbau—nanti kepala kerbaunya bisa dibawa pulang!”

Wajah Pak Lebai langsung berseri-seri. Ia memang senang datang ke pesta, apalagi kenduri kampung yang penuh hidangan lezat. Bayangan daging empuk, masakan gurih, dan kepala kerbau yang menjadi hadiah utama membuat perutnya bergetar kegirangan. Ia mengangguk dengan ceria, berjanji akan datang.

Namun, belum jauh ia mendayung ke hilir, terdengar suara lain memanggilnya—kali ini dari sisi barat sungai.

“Pak Lebai! Jangan lupa datang ke rumah saya besok! Saya juga akan mengadakan pesta besar!”

Senyum Pak Lebai pun perlahan menghilang. Dua undangan? Di hari yang sama? Keduanya terdengar menggoda. Kedua tuan rumah adalah tetangganya—dan keduanya menjanjikan hidangan yang lezat. Satu pesta di sisi timur, satu lagi di sisi barat sungai. Ia menatap air sungai, seolah berharap air itu bisa memberi jawaban ke mana ia harus pergi.

Semakin lama ia berpikir, semakin bingung ia jadinya. Bagaimana kalau makanan di sisi timur lebih enak? Tapi bagaimana kalau pesta di sisi barat lebih meriah dan tamunya lebih banyak? Bagaimana kalau kepala kerbau di satu tempat lebih besar daripada yang lain?

Pak Lebai tak kunjung bisa menentukan pilihan. Dan seperti biasanya—ia terus berubah pikiran, lagi dan lagi.







“Aku akan pergi ke sisi timur,” gumam Pak Lebai pada dirinya sendiri sambil mengelus dagunya. “Dia lebih kaya daripada tuan rumah yang satu lagi. Mungkin aku bisa dapat dua kepala kerbau, bukan cuma satu!” Matanya berkilat penuh harapan. Ia membayangkan pesta besar, tawa riang para tamu, dan aroma masakan yang menggoda memenuhi udara. “Ya, ya,” ia mengangguk penuh semangat. “Pasti dia akan menjamuku dengan baik.”

Keesokan paginya, dengan perut kosong dan harapan yang tinggi, Pak Lebai berangkat lebih awal. Ia mendayung sampannya dengan penuh tenaga, membelah kabut pagi yang masih menggantung di atas permukaan sungai. Arus sungai begitu tenang, dan cahaya matahari yang mulai naik memantulkan warna keemasan di riak air. Ia bersenandung kecil sambil mendayung, membayangkan rendang, dendeng, dan kepala kerbau empuk yang bisa ia bawa pulang.

Namun di tengah jalan, ia melihat sekelompok warga desa yang baru saja kembali dari pesta yang ditujunya.

“Mau ke mana, Pak Lebai?” tanya salah satu dari mereka.

“Ke sisi timur! Saya diundang ke sana!” jawab Pak Lebai dengan bangga.

Mereka saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Pesta itu? Wah, parah sekali,” kata salah satu dari mereka. “Tidak banyak kepala kerbau di sana. Cuma nasi putih dan sup bening. Dia pelit, nggak mau sajikan makanan mewah.”

Senyum Pak Lebai langsung memudar. Hatinya sedikit mengecil, namun ia mencoba tetap tegar. “Saya tidak peduli,” katanya keras kepala. “Dia tetap temanku. Saya yakin dia simpan yang terbaik buat saya!”

Ia melanjutkan mendayung, meskipun benih keraguan mulai tumbuh di benaknya. Saat hampir sampai di tepi sungai sisi timur, keraguan itu berubah menjadi kekhawatiran…

Bagaimana kalau mereka benar? pikir Pak Lebai, cemas. Bagaimana kalau dia memang pelit? Bagaimana kalau aku sampai ke sana dan cuma dapat tulang belulang?






Dengan helaan napas panjang, Pak Lebai menghentikan dayungannya. Ia memandang ke arah timur dengan penuh keraguan, lalu tiba-tiba membalikkan arah sampannya.
“Sudahlah! Lebih baik aku ke sisi barat saja. Siapa tahu masih ada makanan enak tersisa di sana!”

Kini dengan tergesa-gesa, ia mendayung lebih keras dari sebelumnya, berpacu melawan waktu. Matahari sudah tinggi, dan sungai berkilau memantulkan panas siang. Lengannya terasa pegal, tapi ia tak berhenti. Ia bertekad untuk tidak melewatkan pesta yang satu lagi.

Namun, saat ia hampir sampai di tepi barat, sekelompok warga kembali melintas dengan perahu mereka.

“Pak Lebai? Dari mana saja?” sapa salah satu dari mereka.
“Pesta di sisi barat sudah selesai, lho!”

“Selesai?” Pak Lebai terkejut, hampir menjatuhkan dayungnya.
“Tidak! Tidak mungkin!”

Wajahnya langsung muram, semangatnya hilang. Semua dayungan, semua kebimbangan—dan kini ia tak mendapatkan apa pun.
Makanan lezat yang ia impikan, kepala kerbau yang ingin ia bawa pulang—semuanya lenyap.

Dengan hati kecewa dan badan lelah, Pak Lebai terdiam di atas sungai. Ia terlalu capek untuk kembali, lengannya nyeri, harga dirinya tersakiti. Tak bisa berbuat apa-apa, ia bersandar di sampan, topinya jatuh menutupi wajah, dan ia pun tertidur.

Sungai yang tenang itu tetap mengalir lembut, tak terganggu oleh resah manusia. Saat Pak Lebai terbangun, ia telah hanyut jauh dari desanya, sampai di tempat yang tak ia kenali.

Ketika kabar tentang kejadian ini menyebar di desa, orang-orang hanya bisa terkekeh.
“Kasihan Pak Lebai,” kata mereka. “Karena terlalu banyak mikir, akhirnya nggak dapat apa-apa!”

Sejak hari itu, ia dikenal sebagai Pak Lebai MalangThe Unlucky Mr. Lebai. Namanya menjadi pengingat: kalau terlalu ragu, bisa-bisa semua kesempatan hilang begitu saja. 🐃⛵💭









💡 Pesan Moral (versi Bahasa Indonesia):

"Terlalu banyak ragu, akhirnya hanya membawa penyesalan. Yang tak mampu memutuskan tepat waktu, bisa kehilangan segalanya." 


(Versi peribahasa: "Mengejar dua kerbau, tak satupun yang tertangkap.")

 




No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection