Dahulu kala, di dataran tinggi Tondano yang subur, di antara pegunungan berkabut dan danau berkilauan, hiduplah seorang pemburu ulung bernama Sigarlaki. Dengan mata setajam elang dan tangan seteguh batu, Sigarlaki dikenal luas karena kehebatannya dalam menggunakan tombak. Senjata andalannya terbuat dari bambu yang kuat, dihiasi ukiran tua penuh makna—dan tak pernah meleset dari sasaran.
Setiap kali ia memasuki hutan lebat—tempat burung bernyanyi di atas dan makhluk-makhluk tersembunyi bergerak pelan di semak-semak—ia selalu pulang membawa hasil buruan: babi hutan, kijang rimba, atau sekawanan ayam hutan. Para penduduk desa mengaguminya, bukan hanya karena kehebatannya, tetapi juga karena keberaniannya. Tak diragukan lagi, Sigarlaki adalah pemburu paling terkenal di seluruh Tondano.
Di sisinya selalu ada Limbat, pelayan setia sekaligus sahabat seperjalanannya. Jika Sigarlaki dikenal karena kekuatannya, maka Limbat dikenal karena kesetiaan dan ketenangannya. Ia membawa perlengkapan, memasak makanan, dan menjaga punggung tuannya di hari-hari panjang perburuan. Mereka sering berbagi tawa di sekitar api unggun dan cerita-cerita di bawah cahaya bintang.
Pada suatu pagi yang cerah, keduanya kembali melangkah ke dalam hutan hijau zamrud. Langit bersih, angin bertiup lembut. Kicauan burung terdengar seperti doa yang mengiringi langkah mereka. Dengan tombak di tangan dan Limbat di sampingnya, Sigarlaki masuk ke rimbunnya pepohonan, tak menyadari bahwa hari itu akan berbeda dari biasanya.
Sigarlaki menggenggam tombaknya lebih erat, matanya awas menyapu tanah hutan mencari jejak hewan. Keningnya berkerut. Matahari pagi sudah tinggi, namun tak satu pun binatang melintas di hadapan mereka.
“Hutan ini terasa sepi hari ini,” gumamnya, sambil menyingkirkan daun dari bahunya.
Limbat, yang berjalan beberapa langkah di belakang, menoleh ke sekeliling dan mengangguk. “Mungkin hewan-hewan bersembunyi, Tuan. Angin ini… baunya seperti hujan akan datang.”
Sigarlaki mendengus. “Alasan saja. Aku pernah berburu di tengah badai yang lebih dahsyat dari ini, dan tetap membawa pulang babi hutan.”
Mereka melangkah makin jauh ke dalam hutan, namun suasana tetap sunyi. Waktu berjalan, dan suasana hati Sigarlaki semakin muram. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia kembali dari perburuan tanpa hasil apa pun.
Saat mereka hampir sampai di pondok, Limbat berhenti sejenak. “Tuan,” katanya pelan, “selagi kita pergi… seseorang mencuri persediaan makanan kita.”
Sigarlaki berbalik dengan mata menyala marah. “Apa?! Jadi kau bilang kau tidak menjaganya?!”
“Tidak, Tuan. Aku sudah mengunci gudang sebelum kita pergi. Aku—”
“Jangan bohong padaku!” teriak Sigarlaki. “Aku sudah mempercayaimu, Limbat! Dan sekarang makanan kita hilang? Mungkin kaulah yang mencurinya saat aku sibuk berburu!”
Wajah Limbat menunduk, suaranya bergetar. “Tuan… aku tidak akan pernah mencuri darimu. Tuan tahu isi hatiku.”
“Kalau begitu, buktikan,” bentak Sigarlaki, sambil mengangkat tombaknya. “Kita serahkan pada roh-roh penjaga. Aku akan melempar tombakku ke kolam besar. Kau harus menyelam mengejarnya. Jika tombakku muncul ke permukaan lebih dulu daripada dirimu, berarti kau tidak bersalah. Tapi jika kau yang muncul lebih dulu…” Ia membiarkan kata-katanya menggantung seperti guruh. “Berarti kaulah pencurinya.”
Mata Limbat membelalak, tak percaya. “Tuan akan menguji kesetiaanku seperti ini? Setelah semua tahun yang telah kita lewati bersama?”
“Kau bilang kau setia. Maka buktikan,” jawab Sigarlaki dingin.
Limbat memandang ke arah kolam yang tenang. Dadanya sesak, tapi ia mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan menyelam… bukan untuk membuktikan diriku padamu, tapi untuk menunjukkan kebenaran.”
Ia berdiri di tepi kolam tanpa suara, jantungnya berdegup keras. Aturan yang Sigarlaki ucapkan terdengar aneh, namun ia tak membantah. Matanya berkaca-kaca karena luka batin, tapi yang ia ucapkan hanya, “Aku akan lakukan seperti yang Tuan minta.”
Dengan gerakan cepat, Sigarlaki melemparkan tombaknya ke dalam kolam yang dalam dan biru. Senjata itu meluncur menembus udara, lalu lenyap di bawah air dengan suara plung! Tanpa ragu, Limbat menarik napas panjang dan melompat menyusulnya.
Di dalam kolam, air terasa sejuk dan keruh. Cahaya matahari menari-nari lembut menembus riak di permukaan. Limbat berenang lebih dalam, bertekad membiarkan tombak itu muncul lebih dulu. Ia tak peduli lagi pada ujian aneh itu—yang penting baginya hanya menjaga kehormatan.
Sementara itu, di permukaan, Sigarlaki menyipitkan mata, menatap lekat-lekat ke arah air. Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat sesuatu bergerak di balik semak-semak tak jauh dari kolam. Seekor babi hutan muncul, mengendus-endus di tepi air!
“Aha!” seru Sigarlaki terengah-engah. “Akhirnya, ada sasaran!”
Ia melompat ke dalam air dan meraih tombaknya sebelum benda itu mengapung kembali ke atas. Namun saat ia hendak naik ke daratan, babi hutan itu mengendus lalu melesat masuk ke semak-semak, menghilang sebelum Sigarlaki sempat mengarahkan tombaknya. ππ
Saat Limbat muncul kembali ke permukaan, terengah dan basah kuyup, Sigarlaki sudah berdiri di tepi kolam dengan wajah murka, menggenggam tombak yang masih meneteskan air.
“Tombak itu muncul lebih dulu daripada aku,” kata Limbat pelan, sambil menyeka air dari matanya. “Aku sudah melakukan seperti yang Tuan minta.”
Sigarlaki mengerutkan dahi, tak sanggup menatap mata pelayannya. “Kita ulangi lagi,” gumamnya. “Tadi aku terganggu oleh babi itu. Ujiannya jadi tidak adil.”
Ia mengangkat tombaknya sekali lagi, bersiap untuk melempar ulang. Tapi saat lengannya terangkat—KRAK!
“ADUHHH!” teriak Sigarlaki ketika seekor kepiting besar menjepit jempol kakinya dengan kuat. Ia tersentak, lalu jatuh terjungkal ke dalam kolam dangkal, mengibas-ngibaskan tangan dan kaki.
Limbat segera berlari mendekat, cemas. “Tuan! Tuan tidak apa-apa?!”
Sigarlaki mengerang, sambil mengangkat kakinya. “Kepiting itu… menggigitku!” Wajahnya menyeringai—kali ini bukan karena sakit, tapi karena rasa bersalah. “Mengapa kau masih mau menolongku… setelah semua yang kulakukan padamu?”
Limbat tersenyum lembut. “Karena begitulah arti kesetiaan yang sejati.”
Sigarlaki menunduk, malu. “Aku menilaimu tanpa alasan… dan sekarang alam sendiri yang meniliku.”
Ia menarik napas panjang. “Maafkan aku, Limbat. Aku telah dibutakan oleh amarah dan kesombongan.”
Limbat mengangguk dengan tenang. “Mari kita pulang, Tuan. Hutan sudah cukup mengajari kita hari ini.”
Maka mereka pun berjalan pulang berdampingan—bukan lagi sebagai tuan dan pelayan, melainkan sebagai dua manusia yang telah sama-sama belajar arti sejati dari kepercayaan dan kerendahan hati. π¦πΏπ§
πΏ Pesan Moral
Kepercayaan dan kesetiaan diuji lewat tindakan, bukan kata-kata. Tuduhan yang dilontarkan saat marah bisa melukai orang yang setia.
No comments:
Post a Comment