Cerita Rakyat dari Jawa Barat
Nyai Bagendit adalah seorang janda kaya yang tinggal di sebuah desa makmur. Di antara para penduduk desa, ia dikenal sebagai orang terkaya di wilayah itu. Rumahnya yang megah berdiri bak istana, dipenuhi perhiasan indah, kain mewah, dan benda-benda berharga tak ternilai. Puluhan pelayan lalu-lalang melayani segala kebutuhannya. Meski hidup bergelimang harta, Nyai Bagendit terkenal karena sifatnya yang angkuh dan kejam. Ia tidak memiliki rasa iba terhadap sesama dan jarang memberikan bantuan, bahkan saat orang lain sedang sangat membutuhkan.
Setiap kali penduduk desa mengalami kesulitan keuangan, mereka sering kali tak punya pilihan selain meminjam uang darinya. Namun Nyai Bagendit menetapkan bunga yang sangat tinggi—meminta bayaran dua kali lipat saat pelunasan. Jika mereka gagal membayar tepat waktu, ia akan menyuruh para pelayannya untuk menyita barang-barang milik mereka, tanpa belas kasihan. Hatinya bahkan lebih dingin terhadap para pengemis. Ia menganggap mereka malas dan tidak berguna. Ia menolak memberi makanan atau tempat berteduh, dan tak pernah sekalipun menunjukkan rasa kasihan saat mereka mengetuk pintunya.
Suatu hari, seorang pengemis tua datang ke rumah Nyai Bagendit. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan lemah karena kelaparan. Dengan tangan gemetar, ia berdiri di gerbang, berharap mendapat sedikit kebaikan. Namun begitu Nyai Bagendit melihatnya, ia langsung menunjukkan wajah jijik dan berteriak kasar.
"Pergi dari sini, perempuan tua pemalas! Enyahlah dari tanahku!" hardiknya.
"Tolong, Nyai," pinta pengemis itu dengan suara lemah yang bergetar. "Sedikit makanan saja… atau beberapa keping uang. Aku sudah berhari-hari tak makan."
"Makanan? Uang? Kau pikir aku ini siapa—tempat amal? Ini rumahku, bukan warung makan!" ejek Nyai Bagendit. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil batu dari tanah dan melemparkannya ke arah perempuan tua itu.
Pengemis itu terhuyung mundur, lebih terluka oleh kekejaman hati Nyai Bagendit daripada oleh batu itu. Matanya dipenuhi kesedihan, dan ia berkata dengan suara tenang namun penuh wibawa,
"Nyai Bagendit, mungkin kau adalah orang terkaya di desa ini, tetapi hatimu kosong. Kau tak pernah berbagi berkah atau bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Keserakahan dan kesombonganmu tak akan dibiarkan tanpa balasan. Ingat kata-kataku—hari pembalasan akan segera datang."
Setelah berkata demikian, nenek pengemis itu perlahan berbalik dan pergi. Nyai Bagendit tak bergeming sedikit pun. Sebaliknya, ia malah tertawa mengejek dengan angkuh.
"Ha ha ha! Benar sekali! Akulah orang terkaya di desa ini! Tak ada yang bisa menyentuhku. Bahkan Tuhan pun tidak bisa menghukumku!" serunya dengan sombong.
Dengan angkuhnya, ia mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu berjalan masuk kembali ke rumah megahnya, yang masih bergema oleh tawa kejamnya. Namun, kesombongannya tak bertahan lama.
Beberapa saat kemudian, tanah di bawah rumahnya mulai bergetar. Suara gemuruh yang aneh dan dalam memenuhi udara—sesuatu yang belum pernah terdengar oleh para penduduk desa. Nyai Bagendit terdiam. Lampu gantung emas di langit-langit bergoyang hebat, dan rak-rak penuh harta karun berjatuhan ke lantai.
Tiba-tiba, bumi terbelah dengan suara menggelegar—tepat di bawah rumahnya.
Bangunan megah itu runtuh seperti istana pasir, ditelan oleh celah yang semakin lebar. Nyai Bagendit menjerit ketakutan. "Tolong! Tolong aku! Ada siapa pun? Tolong aku!" teriaknya, suaranya penuh ketakutan dan penyesalan.
Namun tak ada yang datang. Tak seorang pun berani mendekat.
Yang paling mengejutkan penduduk desa adalah gempa itu hanya terjadi di rumah Nyai Bagendit saja. Desa lainnya tetap tenang dan tak mengalami kerusakan apa pun. Mereka hanya bisa menyaksikan dalam diam ketika wanita tamak itu dan semua kekayaannya menghilang ke dalam perut bumi.
Lalu, seketika semuanya kembali tenang. Dari lubang besar yang tertinggal, air mulai mengalir naik. Mengalir perlahan, lalu semakin deras, memenuhi tempat di mana rumah Nyai Bagendit dulu berdiri. Dalam waktu singkat, terbentuklah sebuah danau yang indah.
Penduduk desa berkumpul di sekelilingnya dengan penuh rasa takjub. Saat itulah mereka mengerti: itu adalah hukuman dari Yang Maha Kuasa—peringatan bahwa kekayaan tanpa kebaikan hanya akan membawa kehancuran.
Sejak hari itu, danau itu dikenal dengan nama Situ Bagendit, Danau Bagendit, sebuah nama yang menyimpan kisah tentang keserakahan, kekejaman, dan keadilan yang akhirnya datang.
✨ Pesan Moral ✨
Kekayaan tidak berarti tanpa belas kasih.
Kesombongan membawa kehancuran.
Kebaikan hati mendatangkan berkah yang abadi.
Apa yang kita beri kepada sesama, akan kembali pada kita.