La Upe adalah anak yang baik hati dan patuh. Ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya setelah ibunya meninggal dunia. Dahulu, hidupnya penuh kehangatan, tetapi semuanya berubah ketika ayahnya menikah lagi. Ibu tirinya pemarah dan tidak sabaran. Tidak peduli seberapa keras La Upe berusaha menyenangkan hatinya, semua terasa sia-sia. Jika ia melakukan kesalahan sekecil apa pun, ibu tirinya akan memarahinya dengan kasar, bahkan kadang memukulnya tanpa belas kasihan. Ayahnya, yang sering pergi bekerja, tidak mengetahui penderitaan yang dialami La Upe di rumahnya sendiri.
Suatu sore, ibu tirinya memanggilnya dengan suara tajam. "Pergilah ke sungai dan tangkap beberapa ikan. Aku ingin memasak makan malam malam ini," perintahnya, dengan tatapan tajam menusuk.
Tanpa ragu, La Upe menurut. Ia mengambil pancingnya dan berjalan menuju tepi sungai. Matahari tergantung rendah di langit, memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. La Upe melemparkan kailnya dan menunggu. Waktu berlalu, tetapi tidak ada satu pun ikan yang memakan umpannya. Perutnya mulai keroncongan, dan rasa lelah menjalar ke tubuhnya. Ia menghela napas, bergeser gelisah di tepi sungai, bertanya-tanya apakah ia harus pulang dengan tangan kosong.
Ketika ia hampir menyerah, tiba-tiba kail pancingnya bergerak liar di tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Sesuatu telah memakan umpannya! Dengan sekuat tenaga, ia menarik tali pancingnya, berjuang melawan beban berat di ujung sana. Air sungai bergejolak hebat, dan lengannya bergetar karena usaha kerasnya.
Lalu, dengan satu tarikan terakhir, ia berhasil mengangkat tangkapannya dari dalam air—seekor ikan besar yang berkilauan di bawah sinar matahari yang mulai redup! Sisiknya yang berwarna perak berkilau seperti logam yang dipoles, dan matanya tampak menyimpan kecerdasan yang luar biasa. Rasa lelah La Upe seketika menghilang, digantikan oleh rasa takjub.
Namun, saat ia hendak memasukkan ikan itu ke dalam keranjang, sesuatu terjadi yang membuatnya membeku dalam keterkejutan.
Ikan itu berbicara.
Mata La Upe membelalak karena terkejut. Tangannya gemetar saat ia memegang ikan besar itu. Ikan itu telah berbicara.
“Tolong, anak muda, lepaskan aku,” pinta ikan itu, suaranya dalam namun lembut. “Aku adalah Raja Ikan. Jika kau menyelamatkan nyawaku, aku akan memberimu kekuatan besar. Dengan kekuatan itu, kau akan mampu melakukan apa pun yang kau inginkan.”
La Upe ragu, jantungnya berdebar kencang. “Apa pun?” tanyanya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Ya,” ikan itu mengangguk. “Yang perlu kau lakukan hanyalah mengucapkan, dengan kekuatan Raja Ikan, maka keinginanmu akan terkabul.”
La Upe menatap sisik ikan yang berkilauan, matanya yang penuh kebijaksanaan seakan menatap langsung ke dalam jiwanya. Entah mengapa, ia merasakan kepercayaan aneh terhadap makhluk itu. Dengan menarik napas dalam, ia perlahan melonggarkan genggamannya dan dengan lembut menurunkan ikan itu kembali ke air. Ikan itu mengibaskan ekornya, menciptakan riak yang beriak di permukaan sungai.
“Kau telah membuat pilihan yang bijak, La Upe,” kata ikan itu sebelum menghilang ke dalam kedalaman sungai.
La Upe berdiri dalam diam, menatap air yang kini kembali tenang. Apakah itu benar-benar terjadi? Ataukah ia hanya berkhayal?
Murka Ibu Tiri
Saat matahari tenggelam di balik cakrawala, La Upe berjalan pulang dengan langkah gontai. Perutnya keroncongan, dan hatinya semakin berat. Ia tahu ibu tirinya tidak akan senang.
Begitu ia melangkah masuk ke rumah, suara tajam ibu tirinya langsung memenuhi udara.
“Di mana ikannya?” tuntutnya, tangan bersedekap di dada.
La Upe menelan ludah. “Aku menangkap ikan besar,” akunya, “tapi aku melepaskannya.”
“Kau apa?!”
Wajah ibu tirinya berubah merah padam karena marah. Tanpa sepatah kata lagi, ia meraih sendok kayu, mengangkatnya tinggi untuk memukul La Upe. Naluri membuat La Upe melangkah mundur, rasa takut mencengkeram dadanya.
Lalu, tiba-tiba, ia teringat kata-kata Raja Ikan.
Ia punya kekuatan.
Putus asa, ia berseru, “Biarkan ibu tiriku terjebak di pintu—dengan kekuatan Raja Ikan!”
Seketika, hembusan kekuatan tak terlihat menyapu ruangan. Ibu tiri La Upe terkejut saat mendapati dirinya membeku di tempat, tangannya menempel di pintu kayu. Ia meronta, tetapi seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya di sana.
Amarahnya berubah menjadi kepanikan. “La Upe, tolong!” jeritnya, suaranya bergetar. “Lepaskan aku! Aku berjanji—aku akan baik padamu. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi!”
La Upe menatapnya sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. Kemudian, senyum kecil muncul di bibirnya. “Baiklah,” katanya. “Tapi kau harus menepati janji itu.”
Dengan menarik napas dalam, ia berbicara sekali lagi.
“Biarkan ibu tiriku bebas—dengan kekuatan Raja Ikan.”
Sekejap, kekuatan yang menahannya lenyap. Ibu tirinya terhuyung ke depan, napasnya memburu, tangannya masih gemetar. Tetapi kali ini, tidak ada lagi amarah di matanya—hanya kelegaan dan rasa syukur.
Sejak hari itu, ibu tiri La Upe menepati janjinya. Ia memperlakukan La Upe dengan baik, tak pernah lagi membentak atau menyakitinya.
Namun jauh di lubuk hatinya, La Upe tahu bahwa kekuatan ini bisa mengubah hidupnya selamanya. Hanya saja, ia belum tahu seberapa besar perubahan itu—belum.
Murka Ibu Tiri
Saat matahari tenggelam di balik cakrawala, La Upe berjalan pulang dengan langkah gontai. Perutnya keroncongan, dan hatinya semakin berat. Ia tahu ibu tirinya tidak akan senang.
Begitu ia melangkah masuk ke rumah, suara tajam ibu tirinya langsung memenuhi udara.
“Di mana ikannya?” tuntutnya, tangan bersedekap di dada.
La Upe menelan ludah. “Aku menangkap ikan besar,” akunya, “tapi aku melepaskannya.”
“Kau apa?!”
Wajah ibu tirinya berubah merah padam karena marah. Tanpa sepatah kata lagi, ia meraih sendok kayu, mengangkatnya tinggi untuk memukul La Upe. Naluri membuat La Upe melangkah mundur, rasa takut mencengkeram dadanya.
Lalu, tiba-tiba, ia teringat kata-kata Raja Ikan.
Ia punya kekuatan.
Putus asa, ia berseru, “Biarkan ibu tiriku terjebak di pintu—dengan kekuatan Raja Ikan!”
Seketika, hembusan kekuatan tak terlihat menyapu ruangan. Ibu tiri La Upe terkejut saat mendapati dirinya membeku di tempat, tangannya menempel di pintu kayu. Ia meronta, tetapi seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya di sana.
Amarahnya berubah menjadi kepanikan. “La Upe, tolong!” jeritnya, suaranya bergetar. “Lepaskan aku! Aku berjanji—aku akan baik padamu. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi!”
La Upe menatapnya sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. Kemudian, senyum kecil muncul di bibirnya. “Baiklah,” katanya. “Tapi kau harus menepati janji itu.”
Dengan menarik napas dalam, ia berbicara sekali lagi.
“Biarkan ibu tiriku bebas—dengan kekuatan Raja Ikan.”
Sekejap, kekuatan yang menahannya lenyap. Ibu tirinya terhuyung ke depan, napasnya memburu, tangannya masih gemetar. Tetapi kali ini, tidak ada lagi amarah di matanya—hanya kelegaan dan rasa syukur.
Sejak hari itu, ibu tiri La Upe menepati janjinya. Ia memperlakukan La Upe dengan baik, tak pernah lagi membentak atau menyakitinya.
Namun jauh di lubuk hatinya, La Upe tahu bahwa kekuatan ini bisa mengubah hidupnya selamanya. Hanya saja, ia belum tahu seberapa besar perubahan itu.
Kerajaan dalam Keputusasaan
Kabar tentang penyakit sang putri menyebar seperti api ke seluruh negeri. Sang raja, yang dikenal akan kekuatan dan kebijaksanaannya, kini berdiri tak berdaya menghadapi kekuatan yang tak bisa ia lawan. Putrinya, cahaya kerajaan, terbaring lemah di kamarnya, pucat dan tak berdaya.
Tabib-tabib terbaik dari seluruh penjuru negeri datang ke istana, membawa ilmu dan ramuan mereka—tetapi tak satu pun mampu menyembuhkannya.
Keputusasaan memenuhi hati sang raja. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan putrinya, ia membuat pengumuman:
"Siapa pun yang dapat menyembuhkan putriku akan mendapat ganjaran. Jika seorang pria, ia akan menikahi sang putri dan menjadi ahli warisku. Jika seorang wanita, ia akan menjadi anak tiriku dan hidup di istana dengan kehormatan."
Harapan pun menyala di hati banyak orang. Para tabib, cendekiawan, bahkan penyihir berbondong-bondong datang ke istana, berlomba-lomba membuktikan kehebatan mereka. Namun satu per satu, mereka gagal.
Sang putri tetap terbaring sakit—keadaannya semakin memburuk.
Keputusan La Upe
Jauh dari istana, La Upe mendengar pengumuman sang raja. Ia memikirkan kekuatan yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Raja Ikan. Apakah benar kekuatan itu dapat menyembuhkan seseorang yang sakit parah seperti sang putri?
Dengan tekad yang kuat, La Upe berangkat menuju istana.
Setibanya di sana, para pengawal sempat ragu. Ia bukan seorang tabib terkenal—hanya seorang pemuda sederhana dari pedesaan. Namun, sang raja, yang sudah putus asa, bersedia memberinya kesempatan.
La Upe dibawa melewati aula-aula megah istana, melewati permadani emas dan pilar marmer yang menjulang tinggi, hingga akhirnya ia tiba di kamar sang putri.
Sang putri terbaring lemah, nyaris tak bernapas. Pipinya yang dulu merona kini pucat seperti salju. Udara di dalam ruangan dipenuhi kesedihan. Para pelayan dan dayang menatap dengan cemas saat La Upe melangkah mendekat.
Keajaiban Terjadi
La Upe menarik napas dalam dan dengan lembut meletakkan tangannya di dahi sang putri. Kemudian, dengan suara penuh keyakinan, ia mengucapkan:
"Biarlah sang putri sembuh—dengan kekuatan Raja Ikan!"
Cahaya keemasan yang lembut memenuhi ruangan, berputar di sekitar sang putri seperti hembusan angin yang menenangkan. Suara terkejut memenuhi udara saat kulit pucat sang putri perlahan mendapatkan kembali warnanya, tubuhnya yang lemah mulai menguat di depan mata semua orang.
Perlahan, sang putri membuka matanya, berkedip kebingungan seolah baru terbangun dari mimpi panjang.
Ia duduk dan menatap wajah-wajah terkejut di sekelilingnya. Lalu, ia menoleh ke arah La Upe. “Siapa kamu?” bisiknya, suaranya tak lagi lemah, melainkan penuh kehidupan.
Air mata kebahagiaan menggenang di mata sang raja. Ia segera berlari mendekati putrinya dan memeluknya erat. "Anakku! Kau telah sembuh!" serunya dengan penuh suka cita.
Takdir La Upe
Sang raja menoleh ke arah La Upe, wajahnya dipenuhi rasa syukur dan kekaguman. "Kau telah melakukan sesuatu yang tak mampu dilakukan oleh tabib mana pun. Katakan padaku, anak muda, bagaimana kau memperoleh kekuatan ini?"
Dengan jujur, La Upe menceritakan segalanya—tentang kehidupannya yang sulit, ibu tirinya yang kejam, dan pertemuan ajaibnya dengan Raja Ikan.
Sang raja mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya tersentuh oleh kebaikan dan kerendahan hati pemuda itu. Kemudian, dengan senyum bangga, ia berkata, "Aku percaya kau akan menjadi suami yang hebat bagi putriku."
Sesuai janjinya, sang raja mengadakan perayaan pernikahan yang megah. Seluruh kerajaan bersuka cita, karena bukan hanya sang putri yang telah sembuh, tetapi juga telah menemukan seorang suami berhati emas.
Raja yang Bijak dan Adil
Tahun-tahun pun berlalu, dan ketika sang raja yang tua akhirnya berpulang, La Upe naik takhta. Ia memerintah dengan keadilan dan kebijaksanaan, selalu mengingat kesulitan yang pernah ia alami di masa lalu. Dengan sang putri di sisinya, ia membawa kerajaannya ke era kedamaian dan kemakmuran.
Demikianlah, La Upe—yang dulunya hanya seorang pemuda sederhana yang diperlakukan buruk oleh ibu tirinya—menjadi seorang raja legendaris, semua karena kebaikan hatinya, keberaniannya, dan berkah dari Raja Ikan.
Kisahnya hidup dari generasi ke generasi, mengingatkan orang-orang bahwa kebaikan, bahkan kepada makhluk sekecil apa pun, dapat membawa takdir yang paling mulia.
No comments:
Post a Comment