Pages

Legenda Batu Golog

Legenda Batu Golog: Sebuah Kisah tentang Mendengarkan, Cinta, dan Keikhlasan


The Legend of Golog Stone >> English Version

Folklor dari Nusa Tenggara Barat




Dahulu kala, di sebuah desa kecil yang tenang, di antara perbukitan hijau dan sawah yang menguning, hiduplah sebuah keluarga petani yang sederhana. Sang ayah bernama Amaq Lebain, dan istrinya bernama Inaq Lebain. Mereka dikenal sebagai pasangan yang rajin dan penuh kasih. Mereka memiliki dua anak yang sangat mereka cintai — seorang putra yang ceria dan seorang putri yang lembut. Keluarga itu hidup bahagia, bekerja bersama di ladang, dan menikmati kebersamaan mereka dalam kesederhanaan.

Setiap kali Amaq dan Inaq pergi ke sawah, mereka selalu membawa anak-anak mereka. Mereka percaya bahwa anak-anak yang tumbuh dekat dengan alam akan belajar tentang kehidupan — bagaimana merawat bumi, dan bagaimana menghargai ikatan keluarga.🌾

Suatu hari, hasil panen mereka telah siap dijual. Amaq memutuskan untuk pergi ke pasar, sementara Inaq tinggal di ladang untuk menumbuk padi. Seperti biasa, anak-anak ikut bersamanya dan duduk di atas sebuah batu besar yang datar — batu yang oleh penduduk desa disebut “Batu Golog.”

Sebelum berangkat, Amaq berpesan dengan lembut,

"Tolong jaga anak-anak kita. Aku tidak akan lama. Setelah menjual hasil panen, aku akan langsung menyusul ke sawah."

Inaq tersenyum,

"Tenang saja. Aku akan menjaganya dengan baik."

“Baik, Ibu!” sahut anak-anak dengan riang.

Inaq pun mulai menumbuk padi dengan alat penumbuk kayu yang besar. Suaranya terdengar berirama dan menggema di seluruh sawah. Namun, tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh. Setiap kali Inaq menumbuk padi, batu tempat anak-anak duduk mulai tumbuh — perlahan-lahan, naik dari tanah seolah hidup.

Awalnya, anak-anak hanya merasa heran.

“Ibu... batunya tumbuh tinggi!” teriak mereka.







Namun, Inaq yang sedang sibuk dan dikelilingi suara tumbukan hanya mendengar sebagian dari ucapan mereka. Ia mengira anak-anak hanya minta pulang.

“Sebentar ya, Nak! Ibu hampir selesai,” jawabnya tanpa menoleh.

Tapi batu itu terus tumbuh, semakin tinggi.

“Ibu, tolong! Batunya makin tinggi, kami takut!” teriak mereka lagi, kali ini dengan tangisan.

“Sabar, sayang. Ibu tinggal sedikit lagi,” sahutnya, masih tidak menyadari keadaan sebenarnya.

Dan terus seperti itu. Tumbukan padi berlanjut. Batu Golog tumbuh lebih tinggi — menembus pepohonan, melewati awan, hingga tak lagi terlihat dari tanah.

Saat Inaq akhirnya berhenti dan menoleh…
Anak-anaknya sudah tidak ada.

Batu itu menjulang tinggi menembus langit. Hatinya seketika hancur.

“Anak-anakku!” ia menangis, suaranya gemetar penuh panik.

Ia mencari ke segala arah, memanggil-manggil, namun tak ada jawaban. Dalam keputusasaan, ia bersujud dan berdoa sepenuh hati,

“Ya Tuhan… tolong kembalikan anak-anakku…”

Dalam keheningan, suara lembut seperti bisikan masuk ke dalam hatinya:
“Gunakan alat penumbuk.”

Dengan tangan gemetar, Inaq mengambil alat penumbuk kayu dan memukulkannya ke Batu Golog sekuat tenaga. Bumi berguncang. Batu raksasa itu retak dan pecah menjadi tiga bagian besar. Satu bagian jatuh di tempat yang kini dikenal sebagai Desa Gembong, bagian kedua jatuh di Dasan Batu, dan bagian ketiga di Montong Teker.

Namun… anak-anaknya tidak kembali seperti semula.

Dari langit, terbang dua ekor burung yang indah — satu berwarna cokelat lembut, satu lagi putih dengan kilau keemasan. Mereka terbang mengitari ibunya, menyanyikan kicauan yang sedih… seolah mengucapkan selamat tinggal.

Di balik air matanya, Inaq mengerti:
Anak-anaknya telah berubah. Batu itu memang mengambil mereka, tapi langit telah melepaskan mereka. Mereka tidak lagi terikat pada dunia, mereka kini bebas — terbang tinggi di atasnya.









🌿 Pesan Moral dari Legenda Batu Golog

  1. Pentingnya Mendengarkan
    Mendengarkan dengan saksama bisa menjadi penentu antara keselamatan dan bencana. Ketidakmampuan sang ibu untuk benar-benar mendengar menunjukkan bahwa dalam kesibukan hidup, kita kadang lalai terhadap hal yang paling penting.

  2. Cinta Butuh Kehadiran Seutuhnya
    Merawat bukan hanya soal bekerja keras, tapi juga hadir sepenuh hati. Kisah ini mengingatkan kita bahwa berada di dekat orang yang kita cintai belum tentu berarti benar-benar hadir untuk mereka.

  3. Iman dalam Masa Sulit
    Doa Inaq dijawab dengan cara yang tak terduga. Iman tidak selalu membawa kembali yang hilang, tetapi bisa memberi kekuatan, harapan, dan kadang… keajaiban yang tak terbayangkan.

  4. Mengikhlaskan dengan Cinta
    Meski ia berhasil menghancurkan batu, anak-anaknya tidak kembali dalam wujud semula. Perubahan mereka menjadi burung menunjukkan bahwa kadang cinta berarti merelakan, dan percaya pada jalan yang telah ditentukan.

  5. Kesabaran dan Makna dari Ujian
    Tragedi Batu Golog bukan karena kejahatan, melainkan karena kesalahpahaman dan kurangnya kesabaran. Dari setiap peristiwa, meskipun pahit, selalu ada hikmah yang bisa dipetik.




Sampai hari ini, Batu Golog dikenang bukan hanya sebagai batu yang membelah bumi, tetapi sebagai pengingat untuk berhenti sejenak, mendengarkan sepenuh hati, dan mencintai selagi kita masih bisa. 🕊️💔








Ayo Baca Cerita yang lain!

No comments:

Post a Comment