Dahulu kala, di hutan yang lebat dan subur di Sulawesi Tengah, kijang tidak memiliki tanduk. Sebaliknya, anjinglah yang dengan bangga mengenakan tanduk megah di kepala mereka. Inilah kisah bagaimana hal itu berubah.
Pada suatu hari yang sangat panas, sepasang kijang, suami dan istri, berjalan menuju tepi sungai untuk minum. Matahari bersinar terik di langit, dan panasnya berkilauan di permukaan air.
Saat mereka sampai di tepi sungai dan mulai meminum air, kijang betina melihat sesuatu di kejauhan. Matanya membelalak saat melihat sosok yang tampak gagah melangkah mendekat di antara pepohonan.
“Suamiku, siapa itu yang datang ke arah kita?” bisiknya penuh semangat, matanya terpaku pada sosok yang mendekat. “Wah! Dia sangat tampan dengan tanduk-tanduk indahnya.”
Kijang jantan mengangkat kepalanya, melirik ke arah istrinya dengan sedikit cemburu di wajahnya.
"Oh, dia? Itu hanya temanku—seekor anjing,” jawab kijang jantan dengan nada agak ketus. “Tapi, apakah kau bilang dia lebih tampan dariku?”
Kijang betina terkikik pelan dan menggesekkan kepalanya ke sisi suaminya. “Tentu saja tidak, sayang. Kau tetap yang paling tampan. Tapi kau harus mengakui, tanduknya terlihat luar biasa. Bayangkan betapa gagahnya kau jika memakai tanduk seperti itu.”
Kecemburuan kijang jantan dengan cepat berubah menjadi rencana licik ketika sebuah ide terlintas di benaknya. “Kalau begitu, kalau kau ingin tanduk, kau akan mendapatkannya,” katanya dengan kilatan nakal di matanya. “Tunggu di sini.”
Dia lalu melangkah menuju anjing, yang kini cukup dekat untuk diajak bicara dengan ramah.
“Hai, temanku! Bagaimana kabarmu?” tanya kijang jantan dengan senyuman yang menawan.
Anjing mengibaskan ekornya. “Aku baik-baik saja, terima kasih! Bagaimana denganmu?”
“Yah, sebenarnya tidak begitu baik. Kau lihat, istriku di sana... dia pikir aku tidak cukup cepat. Dia bilang aku tidak bisa berlari seperti kijang jantan lainnya. Hal itu membuatku resah, dan aku bertanya-tanya... apakah kau mau mengajakku adu lari? Aku butuh berlatih.”
Anjing memandang kijang dengan penuh simpati dan mengangguk. “Oh, jangan khawatir, temanku. Ayo kita berlomba. Aku yakin kau akan membuktikan kepada istrimu betapa cepatnya kau sebenarnya.”
Dan dengan itu, kedua hewan itu memposisikan diri di tepi sungai, siap untuk memulai perlombaan.
“Hitung sampai tiga!” seru kijang. “Satu, dua, tiga—mulai!”
Mereka berlari kencang, berlomba sepanjang tepi sungai. Kijang berlari sekuat tenaga, dengan tekad membara di dadanya. Dia mendorong dirinya sampai batasnya, dan akhirnya dia menang dengan beberapa langkah.
Dengan napas tersengal, anjing berhenti dan tersenyum. “Hebat! Kau luar biasa!”
Kijang, berpura-pura tampak prihatin, memberikan senyuman ramah. “Kau tahu, temanku, kurasa satu-satunya alasan aku menang adalah karena tanduk berat itu di kepalamu. Pasti sulit bagimu untuk berlari dengan tanduk itu.”
Anjing mengernyitkan alisnya. “Benarkah menurutmu?”
Kijang mengangguk penuh semangat. “Tentu saja. Bagaimana kalau aku mencoba memakai tandukmu untuk perlombaan berikutnya? Jadi kau bisa melihat seberapa cepat dirimu tanpa beban tanduk, dan aku bisa melihat apakah tanduk benar-benar membuat perbedaan.”
Anjing ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Baiklah, tapi hati-hati memakainya. Tanduk itu sangat berharga bagiku.”
“Jangan khawatir, aku akan sangat berhati-hati,” kata kijang sambil dengan hati-hati mengambil tanduk dan meletakkannya di kepalanya.
Saat tanduk itu terpasang di kepalanya, kijang merasakan kebanggaan yang tak terbantahkan. Dia melihat bayangannya di sungai, mengagumi betapa gagah dan kuat dirinya terlihat.
“Istriku benar,” pikirnya. “Aku terlihat luar biasa.”
Tanpa berkata apa-apa, dia dan anjing siap untuk lomba kedua. Tapi begitu aba-aba diberikan, kijang langsung melesat, berlari lebih cepat daripada sebelumnya. Dia tidak berhenti di garis akhir. Dia tidak melambat. Sebaliknya, dia berlari lebih cepat lagi, bertekad untuk menyimpan tanduk itu untuk dirinya sendiri.
Anjing menggonggong penuh kebingungan dan marah. “Hei! Kemana kau pergi? Kembalikan tandukku!”
Tapi kijang tidak menoleh. Dia menghilang ke dalam hutan, dengan tanduk anjing yang kini kokoh di kepalanya.
Sejak hari itu, anjing selalu mengejar kijang, mencoba mendapatkan kembali tanduk mereka. Tapi kijang selalu lebih cepat, tanduk curian itu menjadi simbol kecerdikannya. ***
Pesan Moral:
Pesan moral dari cerita ini adalah pentingnya kejujuran dan tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Kecerdikan yang disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, seperti yang dilakukan kijang, membawa konsekuensi buruk, seperti rasa dendam dan ketidakpercayaan yang bisa berlangsung lama.
Ayo Baca Cerita yang lain!
No comments:
Post a Comment