Search This Blog

Legenda Ular n'Daung


Rahasia Ular n’Daung: Legenda Keberanian dan Janji dari Pegunungan Bengkulu

Sebuah kisah ajaib tentang keberanian, cinta, dan rahasia kuno yang tersembunyi dalam kabut pegunungan.

The legend of n'Daung Snake >> English Edition





Alkisah, di sebuah wilayah pegunungan yang berselimut kabut di Bengkulu—tempat embun pagi menari di antara pepohonan kayu manis dan angin berbisik membawa kisah-kisah leluhur—tinggallah seorang janda sederhana bersama tiga orang putrinya. Rumah mereka berdiri di tepi hutan yang oleh penduduk desa dipercaya menyimpan banyak rahasia: gema arwah, mata air tersembunyi, dan jalan-jalan yang telah dilupakan waktu.

Ketiga putrinya dianugerahi kecantikan paras yang memesona, secerah cahaya mentari pagi di atas Gunung Kaba. Namun, seperti yang sering dikatakan para tetua desa, keindahan sejati tumbuh dari dalam hati—dan dalam hal ini, ketiga saudari itu tak sama.

Anak sulung dan anak tengah, meskipun cantik rupanya, adalah gadis-gadis yang pemalas dan penuh kesombongan. Hari-hari mereka diisi dengan bercermin, menyematkan bunga di rambut, dan berkhayal tentang pangeran kaya raya yang akan membawa mereka ke kehidupan mewah. Mereka enggan bekerja, dan pekerjaan rumah sering dibiarkan terbengkalai.

Namun anak bungsu mereka, yang oleh sebagian orang dikenal dengan nama Melati, sangat berbeda. Ia selembut embun di atas daun teratai dan setabah aliran sungai. Dari pagi hingga senja, ia tak kenal lelah: menyapu lantai bambu, merawat kebun kecil, dan menjaga ibunya yang sakit dengan kasih yang tulus. Saat kakak-kakaknya menjauhi kesulitan, Melati justru memeluknya dengan ikhlas.

Penduduk desa sering memujinya dengan berkata, “Dialah cahaya di rumah sederhana itu.”

Namun, tak ada yang tahu bahwa cahaya itu akan diuji—melalui perjalanan yang tak akan diambil oleh gadis biasa, dan oleh sebuah legenda yang tidur di puncak gunung yang tak pernah tersingkap dari kabut.








Pada suatu hari yang penuh takdir, ibu tercinta mereka jatuh sakit parah. Napasnya mulai tersengal, dan cahaya dalam matanya perlahan memudar. Dalam keputusasaan mencari harapan, keluarga itu memanggil seorang tabib tua dari desa. Dengan suara lirih, sang tabib membisikkan tentang obat langka yang memiliki kekuatan ajaib—sebuah tanaman suci dengan daun berkhasiat.

Namun ini bukan tumbuhan sembarangan. Daunnya hanya akan mengeluarkan kekuatan penyembuh jika direbus di atas api ajaib—api yang menyala oleh mantra-mantra kuno. Baik daun maupun api itu hanya dapat ditemukan di puncak Gunung Mitos—sebuah gunung menjulang tinggi, diselimuti kabut berputar, dan dijaga oleh makhluk legenda yang penuh misteri. Tak ada satu pun yang pernah kembali dari perjalanan ke sana.

Penjaga itu bukan makhluk biasa—ia adalah Ular n’Daung, seekor ular sakti yang dikatakan memiliki kebijaksanaan kuno dan tatapan yang mampu menembus jiwa seseorang. Hanya mereka yang berhati murni dan berniat tulus yang dapat mendekatinya tanpa celaka.

Saat sang ibu, lemah dan gemetar, meminta putri-putrinya untuk mendaki gunung dan mencari obat itu, si sulung mencibir.

“Mendaki gunung hanya demi daun-daunan? Biarkan saja si bungsu yang pergi.”

Anak tengah pun berpaling sambil berkata,
“Aku tidak mau bertemu ular demi cerita lama.”

Maka, tinggallah si bungsu yang melangkah maju. Meski tangan gemetar, sorot matanya tetap teguh. Kasihnya kepada sang ibu jauh lebih besar daripada rasa takutnya.

“Aku akan pergi, Ibu,” bisiknya lembut, berlutut di sisi wanita tua itu.
“Aku akan mencari daun itu dan membawa kembali api ajaib untuk Ibu.”

Meski ucapannya terdengar berani, jantungnya berdegup kencang. Kisah-kisah tentang Ular n’Daung terngiang di benaknya—sisik berkilau, sihir yang kuat, dan caranya menjaga Gunung Mitos dengan mata yang tak pernah terpejam. Namun begitu, ia tetap mempersiapkan diri: membungkus sebungkus kecil nasi, sehelai kain beraroma harum milik ibunya, lalu memulai perjalanannya.

Ia mendaki selama berhari-hari, melewati hutan bambu yang berbisik dan tebing-tebing berselimut kabut. Angin menderu di malam hari, dan bintang-bintang berkedip seperti pemandu kecil dari langit. Akhirnya, ia tiba di sebuah gua gelap yang tersembunyi di antara dua pohon berbunga di puncak gunung.

Di dalam gua itu, tampak daun-daun suci bersinar lembut dalam cahaya redup—tepinya berkilau seperti benang perak di bawah sinar rembulan. Di sampingnya, api ajaib menari-nari, nyala biru dan keemasan yang tak menghasilkan asap, hanya kehangatan dan rasa takjub.

Saat gadis itu melangkah maju untuk mengambilnya, bumi tiba-tiba bergetar.

Ssssss...

Suara rendah dan purba menggema di sepanjang dinding batu, seperti angin yang menyusuri lorong-lorong ingatan yang terlupakan.

Dari bayangan, sesosok besar muncul perlahan.

Dalam sekejap, Ular n’Daung berdiri di hadapannya—menjulang tinggi, megah, dan berbeda dari makhluk manapun yang pernah ia lihat. Matanya berkilau seperti giok yang dipoles, dan pola emas menghiasi sisiknya bagaikan kaligrafi dari legenda yang terlupakan.

“Siapa kamu, anak muda? Apa yang membawamu ke gua suciku?” tanya sang ular—bukan dengan geraman, melainkan dengan suara yang tenang dan bijaksana.

Gadis itu gemetar, namun rasa terkejutnya lebih besar daripada rasa takutnya. Untuk makhluk yang begitu ditakuti, Ular n’Daung berbicara dengan kelembutan dan wibawa yang mendalam.

Menarik napas dan menguatkan hatinya, ia menundukkan kepala dan berkata,
“Namaku Melati. Aku datang demi ibuku—dia sedang sakit parah. Aku hanya memohon daun suci dan api ajaib untuk menyembuhkannya. Aku tak punya apa pun selain kejujuran.”

Ular itu menatapnya dalam diam untuk waktu yang lama. Lalu, ia berbicara kembali, suaranya lembut namun tegas.

“Kau boleh membawanya…” katanya, “tapi sebagai gantinya, kau harus berjanji untuk menjadi pengantinku. Apakah kau bersedia?”

Jantung Melati berhenti sejenak. Ia tidak menyangka permintaan seperti itu. Namun ia tak ragu.

“Aku bersedia,” jawabnya, suaranya tenang, penuh cinta dan keteguhan. “Jika itu harganya, maka aku akan menerimanya.”

Tersentuh oleh ketulusannya, Ular n’Daung menundukkan kepalanya. Sebuah obor, menyala oleh api ajaib, melayang perlahan ke arahnya. Daun-daun suci pun melipat diri ke dalam sebuah kantong dari kabut yang teranyam lembut.







Dengan air mata mengalir, Melati mengambilnya dan segera turun gunung. Keesokan harinya, sang ibu sembuh total—warna kembali ke pipinya, napasnya kembali kuat dan jernih.

Namun janji tetaplah janji.

Suatu senja yang hening, tanpa sepatah kata kepada siapa pun, Melati berkemas dan kembali ke gunung. Saat cahaya senja menyelimuti hutan dengan warna ungu dan emas, ia memasuki gua itu sekali lagi.

Namun kali ini, gua itu menyala dengan cahaya berbeda—hangat, seolah menyambutnya. Dan di dalamnya, bukan seekor ular yang menantinya, melainkan seorang pemuda tampan berpakaian kerajaan.

“Jangan takut,” katanya sambil tersenyum lembut. “Namaku Pangeran Abdul Rahman Alamsjah. Pamanku mengutukku bertahun-tahun lalu, mengubahku menjadi ular di siang hari.”

Melati ternganga, memahami semuanya dalam sekejap.

“Pamanku takut aku akan menjadi raja yang adil, dan berusaha menyembunyikanku selamanya... sampai kau datang.”

Sementara itu, di desa, sang ibu mulai gelisah. Putri bungsunya menghilang tanpa jejak. Dengan hati cemas dan rasa bersalah yang menghantui, ia memutuskan untuk mencarinya—ditemani, meski enggan, oleh kedua putrinya yang lebih tua. Dalam hati mereka, terbersit rasa penasaran... terutama tentang sosok Ular n’Daung yang misterius.

Setelah hari-hari pencarian, mereka akhirnya tiba di gunung dan mendaki melalui kabut senja hingga sampai di gua suci. Langit telah diselimuti warna violet dan emas.

Di sana, mereka menyaksikan sesuatu yang membuat mereka terdiam terpana.

Di dalam gua berdirilah Melati—tidak sendiri, melainkan di samping seorang pemuda tampan yang auranya bersinar penuh wibawa kerajaan. Ketika mereka mengetahui bahwa pemuda itu adalah Pangeran Abdul Rahman Alamsjah, sosok yang dulunya dikenal sebagai Ular n’Daung, mata kedua kakaknya bukan bersinar karena kagum… melainkan karena iri hati.

“Bagaimana mungkin dia, si bungsu, bisa memenangkan hati seorang pangeran?” bisik mereka satu sama lain dengan nada dengki.

Diliputi rasa cemburu, malam itu juga mereka menyelinap masuk ke dalam gua. Di sana, mereka menemukan kulit ular—melingkar dan terlipat seperti jubah sutra, berkilau lembut dengan sihir kuno.

“Kalau kita bakar ini,” bisik si sulung, “dia akan kehilangan kekuatannya. Mungkin dia akan berubah kembali jadi ular selamanya. Lalu, dia akan melupakan Melati.”

Maka mereka melakukannya. Kulit sihir itu dilempar ke dalam api.

Namun api itu tidak mendesis dengan murka—melainkan mengaum dengan kebebasan.

Cahaya kuat meledak memenuhi gua. Kutukan yang selama ini membelenggu sang pangeran hancur seperti kaca yang pecah.

Pangeran Abdul Rahman Alamsjah berdiri tegak, bersinar lebih terang dari sebelumnya. Suaranya menggema jelas dan tegas saat ia memandang kedua kakak yang kini gemetar ketakutan.

“Kalian telah membakar masa laluku,” katanya dengan tenang, “namun dengan itu, kalian juga telah membebaskanku.”

Menyadari kesalahan mereka, kedua kakak itu hanya bisa menunduk malu. Rencana mereka gagal—dan rasa iri mereka kini terbuka tanpa topeng.

Pangeran pun menoleh kepada Melati, lalu tersenyum lembut.
“Mari ikut denganku ke istana, kekasihku. Kau telah memberiku lebih dari sekadar kebebasan—kau telah memberiku cinta yang tulus, tanpa syarat.”

Ia juga menoleh kepada ibunda Melati dan membungkuk penuh hormat.
“Hati putrimu telah menyembuhkan lebih dari kutukan. Izinkan kami merawatmu. Tinggallah bersama kami. Kau tak akan kekurangan apa pun.”

Maka, Melati, ibunya, dan Pangeran Abdul Rahman Alamsjah pun kembali ke kerajaan. Sang pangeran merebut kembali takhtanya yang sah dan memenjarakan sang paman yang telah mengkhianatinya.

Adapun kedua kakak Melati, tak sanggup menanggung rasa malu. Mereka memilih tinggal di gua, jauh dari gerbang istana.
Konon, mereka menghabiskan hari-hari mereka dalam perenungan, berharap suatu hari bisa menebus kesalahan mereka.





💖 Pesan Moral: Bersikap Baik, Berani, dan Tepati Janji

Cerita ini mengajarkan bahwa bersikap baik dan menepati janji adalah hal yang sangat penting.
Melati, sang adik bungsu, berani dan jujur meskipun ia takut. Ia membantu ibunya karena cinta yang besar dan tidak mengingkari janjinya kepada Ular n’Daung.

Kedua kakaknya merasa iri dan mencoba mengakali, tapi rencana mereka gagal. Justru dari perbuatan itu, sesuatu yang baik malah terjadi. Ini menunjukkan bahwa rasa iri bisa membawa celaka, namun kejujuran dan hati yang tulus bisa membuka jalan menuju kebahagiaan.





📝 Catatan Reflektif:

Dalam cerita klasik seperti ini, terkadang kita menemukan bahwa cinta muncul setelah ada janji atau syarat tertentu. Ini bisa membuat kita bertanya-tanya: Apakah cinta sejati bisa diminta sebagai imbalan?

Penting untuk diingat bahwa kisah semacam ini sering kali berbentuk simbolik. Ular n’Daung mungkin bukan sekadar makhluk yang meminta cinta, tapi representasi dari ujian hidup—menghadirkan pilihan sulit, di mana seseorang diuji hatinya.
Melati tidak mencintai karena diminta, melainkan karena ia melihat kebaikan yang tersembunyi di balik rupa yang menakutkan. Ia memilih dengan kesadaran dan ketulusan, bukan paksaan.

💡 Dari sini kita belajar bahwa cinta yang tumbuh dari keberanian, ketulusan, dan saling menghormati jauh lebih berharga daripada cinta yang dibeli atau ditukar. 🌱






No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection