Folklor dari Kalimantan Tengah – Versi Lengkap
Dahulu kala, di tepi hutan Kalimantan Tengah yang rimbun, hiduplah sepasang suami istri yang sederhana. Mereka miskin, namun hati mereka selalu dipenuhi harapan. Meski hidup dalam kekurangan, satu kerinduan tak pernah hilang: kerinduan akan seorang anak.
Setiap malam mereka berdoa,
“Ya Tuhan… karuniakanlah kami seorang anak untuk menghangatkan rumah ini.”
Suatu malam, sang istri terbangun dengan tubuh gemetar.
“Suamiku,” bisiknya, “aku bermimpi. Seorang lelaki tua datang padaku. Wajahnya bercahaya seperti sinar bulan. Ia berkata kita harus bertapa di hutan selama seratus hari.”
Suaminya menatap lebar.
“Mungkin ini sebuah petunjuk,” ujarnya lirih. “Mari kita taati.”
Maka dengan tekad dan iman, mereka memasuki hutan. Selama seratus hari mereka berdoa, berpuasa, dan hidup dalam kesunyian di bawah pepohonan yang menjulang. Ketika mereka pulang, hal ajaib terjadi—sang istri pun hamil.
Sembilan bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki yang sehat.
“Kita beri nama dia Kumbang Banaung,” kata sang ayah bangga.
Kumbang Dewasa
Kumbang tumbuh menjadi pemuda tampan dan kuat. Namun meski tubuhnya kuat, hatinya keras kepala.
“Nak,” nasihat ayahnya, “dengarkan kata orang tuamu. Hutan bukan tempat untuk disusuri sembarangan.”
Kumbang hanya mengangkat bahu.
“Aku lebih mengenal hutan daripada siapa pun.”
Suatu senja, ketika awan gelap merayap di langit, Kumbang menyiapkan alat berburu.
“Sudah malam,” ujar ibunya cemas. “Tunggu sampai pagi.”
“Aku tidak bisa,” jawabnya. “Malam ini terasa membawa keberuntungan.”
Ayahnya menghela napas panjang.
“Kalau begitu… bawalah ini.”
Ia menyerahkan sebuah piring—halus, berkilau, dan tampak ajaib.
“Ini piring sakti. Gunakan jika kau dalam bahaya.”
Kumbang mengangguk, lalu menghilang ke dalam kegelapan.
Tersesat
Hutan begitu gelap. Langkah Kumbang mulai ragu.
“Di mana… aku?” gumamnya.
Berjam-jam ia berjalan sampai akhirnya ia tiba di sebuah desa yang tengah berpesta. Lampu menyala, musik berbunyi, wajah-wajah tersenyum.
Dan di antara mereka…
Seorang gadis berdiri anggun, bercahaya seperti rembulan.
Kumbang mendekatinya.
“Selamat malam… aku Kumbang,” ucapnya gugup.
Gadis itu tersenyum. “Namaku Intan. Hari ini ulang tahunku.”
Hati Kumbang berdegup keras. Sejak malam itu, ia jatuh cinta.
Setelah pesta selesai, ia mengingat-ingat jalan pulang. Dengan keberuntungan, ia tiba kembali di rumah saat fajar. Orang tuanya cemas, tapi Kumbang tidak menceritakan apa pun. Malam berikutnya, setelah mereka tidur, ia pergi lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Intan selalu menunggunya, matanya berkilau seperti bintang di air.
“Aku senang kau datang,” bisik Intan.
“Aku rela menyeberangi hutan hanya untuk melihatmu,” jawab Kumbang.
Namun warga desa mulai gelisah.
Tekanan dari Desa
“Kepala desa, lakukan sesuatu,” keluh para warga. “Intan bertemu pemuda asing itu setiap malam!”
Ayah Intan mengerutkan dahi. Akhirnya ia bersiasat dengan seorang saudagar kaya.
“Nikahkan putramu dengan Intan. Itu akan menghentikan masalah ini.”
Saudagar itu langsung setuju.
Saat Intan diberi tahu, wajahnya pucat.
“Ayah… aku tidak mencintainya,” pintanya.
“Keputusan sudah dibuat,” tegas ayahnya.
Malam itu, Intan berlari menemui Kumbang.
“Kumbang… cepat. Lamar aku sebelum semuanya terlambat!”
Kumbang pulang dengan napas terengah.
“Ayah, Ibu—aku ingin menikahi Intan!”
Namun orang tuanya menunduk.
“Kita miskin, Nak,” kata ibunya pelan. “Keluarganya tidak akan menerimamu.”
Amarah Kumbang meledak.
“Kalau begitu, aku akan menentukan jalanku sendiri!”
Ia keluar rumah dengan marah dan membawa piring sakti.
Pelarian
“Intan,” katanya saat bertemu, “ikut aku. Malam ini.”
Intan mengangguk tanpa ragu.
Namun beberapa warga melihat mereka.
“Itu mereka! Hentikan!”
Kumbang menggenggam tangan Intan erat.
“Lari!”
Mereka berlari menembus gelapnya hutan. Nafas mereka terbakar. Jantung mereka berdegup cepat.
Akhirnya mereka tiba di tepi sungai yang luas—gelap, dalam, dan bergolak.
“Tidak ada sampan!” seru Intan panik.
Kumbang mengangkat piring sakti itu.
“Kalau begitu, inilah jalan kita.”
Ia melempar piring itu ke air.
Ajaib—piring itu membesar, berubah menjadi sebuah sampan.
“Ayo cepat,” katanya, membantu Intan naik.
![]() |
| Dengan hati yang gelisah, Kumbang melemparkan piring sakti ke sungai—dan keajaiban pun menjelma menjadi jalan terakhir bagi cinta mereka. |
Badai
Begitu mereka menyeberang, angin mengamuk. Hujan jatuh seperti batu. Petir membelah langit.
“Kumbang!” teriak Intan sambil memeluknya.
“Kita akan selamat!” balas Kumbang—meski suaranya bergetar.
Gelombang raksasa datang.
Sampan itu terbalik.
“Intan!”
“Kumbang!”
Teriakan mereka hilang ditelan badai.
Sungai itu berputar, mengalir, dan perlahan melebar…
hingga akhirnya menjadi sebuah danau.
Danau itu kemudian dinamakan Danau Malawen.
Ada yang berkata dua buaya putih muncul dari dasar air—jinak, lembut, melayang di permukaan seperti penjaga.
Orang-orang percaya mereka adalah Kumbang dan Intan, tetap bersama, menjaga tempat di mana cinta mereka berubah menjadi legenda.
Hingga kini, bila seekor buaya putih terlihat di permukaan Danau Malawen, para warga berbisik…
“Mereka masih mengawasi. Kisah mereka belum berakhir.”
Pesan Moral
Cinta dan keberanian harus berjalan bersama dengan kebijaksanaan. Ketaatan pada nasihat orang tua, kesabaran, dan mempertimbangkan akibat dari setiap keputusan dapat menyelamatkan seseorang dari tragedi. Pilihan yang terburu-buru, bahkan jika didorong oleh cinta, dapat membawa konsekuensi yang tidak terduga.

No comments:
Post a Comment