Pada suatu waktu, di Padang Bolak, Sumatera Utara, hiduplah seorang pria sederhana bernama Sampuraga. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk kecil yang terletak di pinggiran desa mereka. Mereka hidup dalam kemiskinan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan setelah ayah Sampuraga meninggal ketika ia masih bayi. Meskipun hidup mereka sulit, Sampuraga dan ibunya memiliki ikatan yang kuat, saling mengandalkan satu sama lain untuk dukungan emosional. Sampuraga bekerja keras di sawah tetangganya, bekerja dari pagi hingga sore. Sebagai imbalan atas kerja kerasnya saat panen padi, tetangganya memberinya sedikit uang, cukup untuk menutupi kebutuhan dasar mereka. Meskipun hidup mereka sederhana, Sampuraga merasa nyaman dengan kasih sayang yang ia bagi bersama ibunya, selalu berusaha membuat hidup mereka lebih baik.
Rutinitas harian Sampuraga terdiri dari berjam-jam bekerja di sawah, dengan tekun membantu tetangganya dan membawa pulang sedikit uang setiap hari. Hidupnya, meskipun penuh dengan kerja keras, terasa dapat diprediksi dan stabil. Ia bangun pagi, bekerja sepanjang hari, dan kembali ke gubuk di malam hari, kelelahan namun merasa puas. Suatu sore, saat sedang bekerja di sawah, tetangganya mulai bercerita tentang sebuah tempat yang jauh bernama Mandailing. Tempat ini, menurut tetangganya, dikenal dengan tanah yang subur dan melimpahnya kekayaan. Orang-orang Mandailing yang kaya dan makmur hidup dengan nyaman, dengan ladang yang subur dan kekayaan yang melimpah. Sampuraga mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya tergugah oleh kemungkinan kehidupan yang lebih baik. Untuk pertama kalinya, ia mulai bermimpi tentang sesuatu yang lebih dari kehidupan sederhana yang dijalaninya.
Seiring berjalannya waktu, Sampuraga tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Mandailing dari benaknya. Semakin ia memikirkannya, semakin ia bertekad untuk pergi ke sana. Ia percaya bahwa jika ia bisa membuat namanya di tempat yang makmur itu, ia bisa menjadi kaya dan kembali ke rumah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi ibunya, cara yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia ingin menunjukkan kepadanya bahwa kerja keras yang telah mereka jalani bersama akan menghasilkan masa depan yang lebih cerah. Setelah berminggu-minggu berpikir, Sampuraga memutuskan untuk memberitahukan rencananya kepada ibunya. Ia tahu bahwa keputusan ini akan sulit baginya, namun ia berharap ibunya akan mengerti. Suatu malam, setelah seharian bekerja, ia duduk bersama ibunya dan menjelaskan mimpinya untuk pergi ke Mandailing. Wajah ibunya terlihat sedih saat mendengarkan, karena kehilangan satu-satunya anaknya adalah hal yang tak tertahankan baginya. Namun, ia mengerti bahwa ini adalah kesempatan Sampuraga untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan berat hati, ia setuju, meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.
Sebelum berangkat, Sampuraga meyakinkan ibunya bahwa ia akan kembali. Ia berjanji akan mencari kekayaan di Mandailing dan kembali dengan banyak uang, sehingga mereka tidak perlu khawatir lagi. Ibunya, meskipun sedih dengan perpisahan itu, memegang harapan bahwa ambisi anaknya akan membawa mereka ke masa depan yang lebih cerah. Dengan hati yang berat, ia mengucapkan selamat tinggal, mengetahui bahwa perjalanan ini harus ditempuh oleh anaknya. Sampuraga, dengan hati yang penuh tekad, berangkat menuju Mandailing, meninggalkan kehidupan yang telah dikenalnya. Jalan di depannya tidak pasti, namun impian akan kekayaan dan kesuksesan memberi semangat bagi setiap langkahnya.
Akhirnya Sampuraga memutuskan untuk pergi ke Mandailing, sebuah tempat yang telah lama ia impikan. Di sana, ia mulai bekerja untuk seorang pedagang kaya yang sangat terkenal. Pedagang itu segera tertarik dengan Sampuraga karena sifatnya yang rajin dan jujur. Sampuraga bekerja keras dan tidak pernah mengeluh. Melihat dedikasi dan integritasnya, sang pedagang mulai mempercayakan lebih banyak pekerjaan kepadanya. Dalam waktu singkat, pedagang itu memberikan sejumlah uang yang cukup banyak kepada Sampuraga sebagai tanda penghargaan atas usahanya. Dia juga memberikan kesempatan bagi Sampuraga untuk memulai bisnisnya sendiri, dengan harapan Sampuraga bisa sukses dan melanjutkan bisnis itu suatu hari nanti.
Sampuraga pun memulai bisnisnya dan, seperti yang diharapkan, ia berhasil dengan sangat baik. Ia mulai mengumpulkan kekayaan dan menjadi salah satu orang terkaya di Mandailing. Sang pedagang, yang sudah cukup tua, melihat potensi besar dalam diri Sampuraga dan merasa bahwa ia bisa menjadi pedagang besar seperti dirinya. Setelah mempertimbangkan dengan matang, sang pedagang memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan seluruh bisnisnya kepada Sampuraga. Sebagai bagian dari rencananya, sang pedagang juga ingin Sampuraga menikahi putrinya yang sangat cantik. Sampuraga, yang telah jatuh cinta pada gadis itu, dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Ia merasa beruntung bisa menikahi wanita yang begitu cantik dan baik hati.
Segera setelah itu, sang pedagang mengatur pesta pernikahan yang sangat meriah. Ia mengundang banyak orang dari berbagai tempat untuk merayakan pernikahan putrinya dengan Sampuraga. Pesta tersebut digelar dengan kemewahan yang luar biasa, dengan hidangan dan hiburan yang memukau. Semua orang di Mandailing membicarakan pesta itu, memuji kecantikan putri sang pedagang dan menyebut Sampuraga sangat beruntung. Mereka berkata bahwa Sampuraga akan menikahi wanita paling cantik di Mandailing, dan banyak orang yang datang hanya untuk melihat pasangan tersebut. Pesta itu menjadi topik pembicaraan utama di kalangan masyarakat, dan berita mengenai pernikahan itu menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru kota.
Akhirnya, kabar tentang pesta pernikahan Sampuraga sampai juga di kampung halamannya, Padang Bolak. Warga di sana hampir tidak percaya bahwa Sampuraga, yang dulunya hidup dalam kemiskinan, sekarang bisa menikahi putri pedagang kaya. Mereka juga terkejut mendengar bahwa Sampuraga telah menjadi seorang pria kaya raya. Meski banyak yang meragukan kemampuan dan kesuksesan Sampuraga, ibunya percaya sepenuhnya pada anaknya. Ia selalu yakin bahwa Sampuraga memiliki potensi luar biasa dan bisa mencapai apa yang ia impikan. Meskipun jarak memisahkan mereka, ibu Sampuraga merasa bangga dan bahagia mendengar kabar baik tersebut, percaya bahwa anaknya telah berhasil mewujudkan impian mereka.
“Saya yakin anak saya sekarang sudah menjadi orang kaya. Dia sudah berjanji kepada saya bahwa dia akan menjadi orang kaya,” kata ibu Sampuraga dengan senyuman penuh harapan.
Dengan kebahagiaan yang meluap, dia pergi ke Mandailing, ingin menghadiri pesta pernikahan anaknya yang megah. Ketika dia tiba di pesta, dia segera memanggil namanya.
“Sampuraga… Sampuraga… Ini aku, ibumu.”
Sampuraga terkejut melihat kedatangan wanita itu. Istrinya pun ikut terkejut.
“Siapa dia? Apa benar dia ibumu?” tanya istri Sampuraga, suaranya penuh kebingungan.
“Tidak! Ibuku sudah meninggal,” jawab Sampuraga dengan kasar. “Wanita tua dan jelek ini bukan ibuku. Pergilah!” teriaknya kepada ibunya dengan kejam.
Ibunya berdiri di sana, hatinya hancur, air mata mengalir deras. Dia menyadari, dengan kesedihan yang mendalam, bahwa anaknya telah sepenuhnya melupakannya. Rasa sakit itu sangat menyakitkan, dan dia menangis terisak-isak. Dalam kesedihannya, dia berdoa kepada Tuhan, memohon keadilan atas perlakuan anaknya terhadapnya.
Tiba-tiba, langit menjadi gelap, dan hujan lebat turun. Guntur menggelegar di udara, sementara orang-orang berlari mencari perlindungan. Dalam sekejap, tanah tempat pesta itu berubah menjadi sebuah kolam besar yang mendidih, dikelilingi oleh batu besar yang berbentuk seperti sapi. Puing-puing di sekitarnya seakan menceritakan kisah tragis dari pesta Sampuraga yang dulu megah. Dikatakan bahwa batu-batu dan sisa-sisa pesta itu menandakan akibat dari kesombongan dan pengabaian Sampuraga terhadap ibunya.
Pesan Moral
Jangan Lupa Asal-Usul dan Orang Tua
– Sebesar apa pun kesuksesan yang kita capai, kita tidak boleh melupakan asal-usul dan orang tua yang telah membesarkan kita. Keberhasilan seharusnya menjadi momen untuk berbagi kebahagiaan, bukan melupakan mereka yang berjasa.Kesombongan Membawa Kehancuran
– Kesombongan dan penghinaan terhadap orang tua atau orang yang lebih tua dapat membawa petaka. Sampuraga yang mengingkari ibunya akhirnya menerima kutukan yang mengubah kebahagiaannya menjadi malapetaka.Bersyukur dan Berterima Kasih
– Penting untuk selalu bersyukur atas rezeki dan pencapaian yang diperoleh. Menghormati orang tua adalah salah satu cara menunjukkan rasa syukur.Doa Ibu Sangat Kuat
– Doa seorang ibu memiliki kekuatan besar, baik doa kebaikan maupun doa kesedihan. Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak membuat ibu kita menangis atau merasa kecewa.Kesetiaan pada Janji
– Janji harus ditepati, terutama janji kepada orang tua. Sampuraga berjanji akan kembali membawa kekayaan, tetapi ia justru melupakan ibunya.
Sawah |
Candi Bahal, Padang Bolak
|
No comments:
Post a Comment