Search This Blog

Gunung Batu Benawa

Legenda Gunung Batu Benawa: Kisah Pengkhianatan Seorang Anak, Cinta Ibu, dan Keadilan Ilahi

Di Kalimantan Selatan, terdapat sebuah gunung yang menarik wisatawan dari berbagai tempat. Sebagai lokasi favorit para pendaki dan pecinta alam, gunung ini menawarkan pemandangan alam yang memukau serta suasana yang menenangkan. Gunung yang dikenal dengan nama Gunung Batu Benawa ini bukan hanya keajaiban geografis, tetapi juga tempat yang sarat dengan cerita rakyat. Penduduk setempat mengatakan bahwa gunung ini memiliki kisah legendaris yang menjelaskan asal-usulnya, sebuah cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi. Penasaran bagaimana gunung ini terbentuk? Mari kita telusuri legenda tersebut.

Dahulu kala, di sebuah desa kecil yang sederhana, hiduplah seorang wanita tua bersama putra tunggalnya, Raden Penganten. Kehidupan mereka sangat sederhana; mereka bertahan hidup dengan menggarap sebidang tanah kecil untuk bercocok tanam. Sesekali, Raden Penganten berburu hewan di hutan dan menjual dagingnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun mereka bekerja keras, kemiskinan tetap menjadi bagian dari hidup mereka.  








Namun, Raden Penganten tidak puas dengan kehidupannya yang serba kekurangan. Ia bermimpi memiliki kehidupan yang lebih baik—hidup dalam kemewahan dan kenyamanan. Ia membayangkan tinggal di sebuah rumah besar, memiliki kekayaan melimpah, dan membangun keluarga sendiri. Dengan tekad kuat untuk mengubah nasibnya, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari peruntungan di pulau lain.  

Ketika Raden Penganten menceritakan rencananya kepada ibunya, hati sang ibu hancur. "Jangan, Nak. Tetaplah di sini bersamaku. Kita mungkin tidak punya banyak, tapi kita sudah cukup. Kita memiliki satu sama lain, makanan untuk dimakan, dan atap untuk berteduh," pintanya dengan penuh harap.  

"Tapi Ibu," jawabnya, "Aku ingin lebih dari ini. Aku ingin menikah, memiliki keluarga, dan memberi mereka kehidupan yang lebih baik. Aku akan pergi, tapi aku janji akan segera kembali dengan cukup uang untuk merawat Ibu."  

Sang ibu, yang tahu betapa keras kepala putranya, akhirnya dengan berat hati mengizinkannya pergi. Air mata mengalir di wajahnya saat ia melihat putranya beranjak pergi, terus-menerus mengingatkannya untuk segera pulang. Raden Penganten berjanji, tetapi tak pernah terbayangkan olehnya bagaimana kehidupan mereka akan berubah.

Raden Penganten memulai perjalanannya dengan menaiki sebuah kapal besar. Perjalanan itu memakan waktu beberapa hari hingga akhirnya kapal tersebut tiba di sebuah kota yang ramai. Dengan semangat untuk mencari pekerjaan, ia mendekati beberapa orang, bertanya apakah mereka memiliki pekerjaan untuknya. Akhirnya, seorang pedagang kaya menerima Raden Penganten sebagai karyawannya. Dengan penuh sukacita, ia bekerja keras dan menunjukkan dedikasi serta ketekunan dalam pekerjaannya.  

Berkat kecerdasan dan kerja kerasnya, Raden Penganten dengan cepat naik pangkat. Sang pedagang, yang terkesan dengan kemampuannya, mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar kepadanya. Di bawah manajemen Raden Penganten, bisnis pedagang itu semakin maju dan berkembang pesat. Seiring waktu, sang pedagang tidak lagi melihat Raden Penganten hanya sebagai karyawan, melainkan seperti anak sendiri. Pedagang itu memiliki seorang putri yang cantik, dan melihat potensi Raden Penganten, ia mengusulkan agar keduanya menikah.  

Raden Penganten, yang diam-diam telah jatuh cinta pada putri pedagang itu, menerima lamaran tersebut. Tak lama kemudian, mereka menikah dalam sebuah upacara megah yang dihadiri banyak orang. Perayaan itu penuh sukacita, dan Raden Penganten merasa mimpinya menjadi kenyataan.  

Namun, beberapa bulan setelah pernikahan, pikiran tentang ibunya mulai menghantui dirinya. Perasaan bersalah menghimpit hatinya. Ia memutuskan sudah waktunya untuk mengunjungi ibunya, dengan membawa istrinya. Bersama-sama, mereka berlayar menuju desa tempat tinggal ibunya. Ketika kapal mereka mendekati pelabuhan, kabar tentang kembalinya Raden Penganten menyebar dengan cepat. Para penduduk desa berkumpul, antusias menyambut kepulangannya.

Di antara kerumunan itu ada ibunya. Mendengar kabar kepulangan anaknya, sang ibu segera bergegas menuju pelabuhan. Hatinya dipenuhi kebahagiaan membayangkan dapat bertemu kembali dengan putranya. Ketika ia tiba, ia melihat kapal megah itu dan kerumunan orang yang terpesona melihatnya. Begitu melihat putranya, ia memanggil dengan penuh haru, “Raden Penganten... Raden Penganten... Selamat datang, Nak!”

Namun, alih-alih merasa bahagia, Raden Penganten justru diliputi rasa malu. Ibunya tampak tua dan lemah, dengan pakaian compang-camping dan kotor. Malu untuk mengakui ibunya di depan orang banyak, ia berpaling dan berpura-pura tidak melihatnya. Mengabaikan panggilan ibunya yang penuh harap, ia memerintahkan awak kapal untuk segera meninggalkan pelabuhan.

Hati sang ibu hancur berkeping-keping. Dikhianati dan dipermalukan oleh anaknya sendiri, ia jatuh berlutut dan memanjatkan doa kepada Tuhan, memohon keadilan. Doanya pun segera dikabulkan. Guntur menggelegar, kilat menyambar, dan hujan deras mengguyur dari langit. Badai dahsyat menghantam kapal, mengguncangnya tanpa ampun di tengah gelombang.

Kapal itu tidak mampu bertahan menghadapi badai dan akhirnya hancur berkeping-keping. Saat puing-puing kapal terdampar di pantai, sebuah bagian besar dari kapal itu mulai berubah. Perlahan, ia menjelma menjadi sebuah gunung yang berdiri kokoh, menjadi pengingat abadi akan pengkhianatan Raden Penganten dan kesedihan ibunya.

Hingga kini, gunung itu dikenal sebagai Gunung Batu Benawa. Kisahnya menjadi peringatan bagi semua orang tentang akibat dari keserakahan dan pentingnya menghormati orang tua. Gunung itu berdiri sebagai saksi bisu akan kekuatan cinta, rasa sakit karena pengkhianatan, dan keadilan ilahi yang tak terbantahkan.



Pesan Moral:

Cerita Gunung Batu Benawa mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur, kerendahan hati, dan menghormati orang tua. Kisah ini mengingatkan bahwa kekayaan materi dan kesuksesan tidak berarti apa-apa jika kita meninggalkan orang-orang yang mencintai kita tanpa syarat. Mengkhianati mereka yang telah berkorban untuk kita dapat membawa penyesalan dan hukuman dari Tuhan.




No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection