Silampari

Kisah Misterius Sebubur dan Silampari: Sebuah Legenda dari Lubuklinggau


English Version >> Silampari

Folklor dari Sumatra Selatan

Dahulu kala, di kaki Bukit Sulap yang mistis, wilayah yang menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi masyarakat Lubuklinggau, bertahtalah seorang raja bijak dan kuat bernama Raja Biku. Sebagai seorang penguasa dengan kemampuan magis yang legendaris, Raja Biku adalah salah satu dari "Delapan Dewa," sekelompok dewa yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu gaib. Sang ratu, Putri Ayu Selendang Kuning, bukanlah manusia biasa. Sebagai peri yang memancarkan cahaya dari dunia para dewa, ia adalah saudari dari Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh, dewa mantra dan kekuatan sihir yang dahsyat. Bersama-sama, mereka memerintah kerajaan Ulak Lebar yang damai, sebuah negeri yang makmur dan penuh ketentraman. Namun, di balik ketenangan itu, tersembunyi bayangan kegelisahan—raja dan ratu belum memiliki keturunan yang akan melanjutkan takhta mereka.

Meskipun keadaan negeri tersebut tenang, istana penuh dengan bisikan kekhawatiran. Siapa yang akan mewarisi takhta ketika Raja Biku dan Putri Ayu tiada? Garis keturunan kerajaan tampak berada di ujung tanduk, dan masa depan negeri tampak tidak menentu. Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, Raja Biku dan Putri Ayu bertekad melakukan tapa di Bukit Alas Rimba, sebuah gunung sakral yang diyakini memiliki kekuatan untuk memberikan berkah dari para dewa. Pengabdian mereka terbayar. Para dewa berkenan, dan memberikan mereka enam anak ajaib, yang lahir dari esensi mistis tujuh bunga surgawi yang dipetik langsung dari langit. Setiap anak dianggap sebagai hadiah ilahi, jembatan antara dunia fana dan dunia eterik di atas.

Dari semua anak mereka, Sebubur, sang putra mahkota, paling menonjol. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Sebubur dibesarkan untuk mewarisi takhta dan menjaga masa depan kerajaannya. Di bawah bimbingan ayahnya, ia belajar tidak hanya cara memimpin sebagai raja, tetapi juga rahasia-rahasia sakti para dewa. Dengan tekad yang kuat, Sebubur melakukan perjalanan panjang, mengembara dari satu tempat suci ke tempat lainnya, sering kali bertapa seperti ayahnya, untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu gaib yang diturunkan kepadanya.

Kelima saudari Sebubur, yang masing-masing dinamai sesuai dengan kekuatan magis yang mereka miliki—Dayang Torek, Dayang Jeruju, Dayang Teriji, Dayang Ayu, dan yang paling menawan, Dayang Iring Manis—tumbuh menjadi wanita yang cerdas dan memancarkan keindahan ilahi. Kecantikan dan kebijaksanaan mereka menjadi buah bibir hingga ke negeri-negeri yang jauh, menarik perhatian raja-raja dan pangeran yang ingin meminang mereka.

Namun, kehidupan keluarga kerajaan tak luput dari cobaan. Suatu hari, diaturlah pertunangan untuk Dayang Torek, putri sulung, dengan Sultan Palembang, seorang raja perkasa yang kerajaannya membentang luas. Seluruh negeri bersuka cita dengan aliansi ini, namun takdir berkata lain. Saat persiapan pernikahan sedang berlangsung, Raja Biku berangkat untuk sebuah misi diplomatik penting ke Negeri China yang jauh, meninggalkan kerajaannya. Sebubur, yang sedang mengembara untuk memperdalam pengetahuan mistisnya, segera bergegas kembali untuk menyusul ayahnya. Namun, meski usahanya gigih, ia kembali dengan tangan kosong, gagal mengejar sang raja yang telah berangkat.

Dengan hati yang berat tetapi tekad yang bulat, Sebubur kembali ke Ulak Lebar untuk mengantar Dayang Torek menuju kehidupan barunya di Palembang. Setelah perjalanan panjang yang penuh tantangan, mereka tiba dengan selamat. Namun, malapetaka menimpa ketika Dayang melahirkan seorang bayi, hasil pernikahannya dengan sang Sultan, hanya untuk kehilangan sang bayi tak lama setelah kelahirannya di Tangah Sebubur. Kesedihan yang mendalam menyelimuti Sebubur dan seluruh keluarga kerajaan. Seolah-olah para dewa sendiri telah menenun tragedi ini ke dalam takdir mereka—takdir yang telah diramalkan oleh Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh jauh sebelumnya.

Sebubur, sang pangeran yang dulu penuh harapan, tak berdaya di hadapan nasib yang tragis ini. Keluarganya, yang terikat oleh takdir, mulai menghilang dari dunia fana, satu per satu. Istana yang dulu penuh dengan tawa dan kegembiraan keluarga kerajaan, kini menjadi sunyi saat anggota keluarga kerajaan lenyap, menghilang dalam kabut legenda. Konon, Raja Biku, Putri Ayu Selendang Kuning, dan keenam anak mereka, termasuk Sebubur, dipanggil kembali ke dunia para dewa.

Peristiwa ini menandai "silam", atau "hilangnya," keluarga kerajaan, yang selamanya terpatri di hati masyarakat Lubuklinggau. Istilah Silampari—dari "silam" yang berarti hilang dan "pari" yang berarti peri—menjadi lambang makhluk-makhluk magis yang pernah memerintah tanah mereka, namun kini hilang dalam gulungan waktu. Hingga hari ini, masyarakat Lubuklinggau menghormati kisah Sebubur dan Silampari, mengenang mereka sebagai makhluk ilahi yang pernah berjalan di antara manusia sebelum kembali ke alam para dewa.






Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan bahwa kekuasaan dan kebijaksanaan tidak hanya diwariskan melalui darah dan keturunan, tetapi juga melalui perjalanan spiritual dan pencarian pengetahuan. Sebubur, sebagai seorang putra mahkota yang harus menjalani pertapaan untuk mencapai pengetahuan gaib, mencerminkan pentingnya proses dan pengorbanan dalam pencapaian kesuksesan dan tanggung jawab.

Selain itu, hilangnya semua anggota keluarga kerajaan mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Kekuasaan, keindahan, dan kemegahan bisa menghilang kapan saja. Hal ini mengingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal duniawi dan menghargai kebijaksanaan serta hubungan spiritual.



Air terjuan Temam



No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection