Search This Blog

Batu Menangis

Pilihan yang Mengubah: Hikmah dalam Memilih Pintu


English Version: The Crying Stone

Folklor dari suku Hubula Wamena, Papua

Pada zaman dahulu, di desa yang tenang dekat Danau Habema, di lereng Puncak Trikora yang megah di Wamena, hidup dua saudara yang memiliki ikatan yang sangat erat. Kehidupan mereka penuh kedamaian, dikelilingi oleh keluarga dan tetangga yang hidup rukun dalam desa yang kaya akan keramahan dan kebudayaan. Desa itu dikenal dengan ketat menjaga adat-istiadat leluhur dan memegang teguh kepercayaan mereka akan hal-hal gaib. Penduduk desa sangat menghormati arwah nenek moyang mereka serta kepercayaan animisme yang mengajarkan bahwa setiap unsur alam memiliki roh dan harus diperlakukan dengan hormat.

Suatu hari, sang kepala suku mengumumkan bahwa desa akan mengadakan pesta besar yang disebut ewe ako. Pesta ini adalah salah satu tradisi sakral suku Hubula yang diadakan setiap lima tahun sekali. Ewe ako adalah saat di mana semua masalah dan utang di antara penduduk diselesaikan melalui ritual persembahan babi, simbol persatuan dan perdamaian bagi masyarakat desa.

Dalam persiapan pesta, kedua saudara itu diminta pergi ke hutan untuk mengumpulkan sayur-sayuran dan dedaunan sebagai bahan makanan. Dengan semangat, mereka berangkat bersama, memasuki hutan yang teduh dan sejuk. Semakin dalam mereka menjelajah, mereka sampai di kaki Gunung Trikora, sebuah tempat yang dianggap sakral oleh penduduk desa. Di sana, segala hal harus dijaga dengan kebersihan dan kehormatan. Tidak ada yang boleh membuang sampah atau melakukan tindakan yang dianggap melanggar adat di tempat itu.





Ketika mereka sedang sibuk memetik sayur-sayuran liar, sang adik mulai merasa tak nyaman. Dia merasakan dorongan yang tak bisa ditahan dan mencoba memberi tahu kakaknya.

“Tidak bisa ditahan lagi, Kak,” ucapnya dengan suara cemas.

Sang kakak menoleh dan dengan serius berkata, “Tahanlah, adikku. Kita sudah di tempat sakral. Kita harus hormat dan menunggu sampai kita kembali ke desa.”

Namun, sang adik tak kuasa menahan. Ia akhirnya pergi sedikit lebih jauh ke semak-semak, melanggar aturan yang sudah diperingatkan. Setelah selesai, ia membersihkan dirinya di batu yang berada di dekat sana. Namun, tak lama setelah itu, sesuatu yang ganjil terjadi—kakinya seperti terpasung, tidak dapat berdiri.

“Kakak! Kakak!” jeritnya, suaranya bergetar penuh ketakutan.

Sang kakak, mendengar jeritan itu, segera berlari menghampiri. Ketika ia melihat adiknya tak bisa bergerak, ia merasa hati kecilnya mulai paham apa yang terjadi. Sang adik telah melanggar aturan adat di tempat suci itu. Hutan dan Gunung Trikora telah tersinggung. Dengan hati yang hancur, sang kakak memeluk adiknya yang mulai menangis, air mata mereka mengalir deras.

“Kak, maafkan aku... Aku tak bermaksud melanggar...,” ucap sang adik lirih.

“Sudahlah, adikku,” kata sang kakak, suaranya bergetar namun lembut, “Alam telah berbicara. Kau sekarang menjadi bagian darinya. Kita harus menerima kehendaknya.”

Dengan perlahan, tubuh sang adik seolah menyatu dengan tanah, menjadi satu dengan alam sekitarnya. Semenjak saat itu, konon, jika ada orang yang merasa dingin atau ketika cuaca mulai mendung, air mata sang adik akan turun dalam bentuk hujan, membasahi desa dan hutan sekitar. Tangisan dan penyesalannya terdengar samar di tengah kesunyian hutan, seperti angin yang berbisik di antara pepohonan, membawa suasana sendu ke seluruh desa.

Masyarakat desa percaya bahwa saat hujan turun tiba-tiba, itu adalah tanda bahwa arwah sang adik sedang meratapi pelanggarannya dan memberi peringatan halus bagi yang masih hidup untuk menjaga alam dengan baik. Namun, arwah sang adik tidak pernah mengganggu. Ia hanya memberikan kesejukan dan menyelaraskan suhu di sekitarnya, seakan mengingatkan semua orang bahwa alam harus dihormati, dan segala yang hidup memiliki tempat dan tata cara dalam lingkaran kehidupan.


Pesan Moral: Memilih pintu dengan bijak

Kita harus memilih pintu yang kita masuki dengan bijak, karena tak pernah tahu ke mana ia akan membawa kita. Memilih pintu dengan bijak adalah metafora untuk membuat keputusan yang tepat dalam hidup. Ini menggambarkan pentingnya mengambil pilihan yang baik, yang akan berdampak pada arah dan hasil perjalanan hidup kita. Mungkin tentang memilih jalan hidup, memutuskan antara beberapa opsi, atau membuat keputusan besar yang akan memengaruhi masa depan kita. Ini mengajarkan kita untuk mempertimbangkan pilihan dengan cermat, memahami konsekuensi dari pilihan tersebut, dan membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan kita.





No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection