Mengarungi Keberanian: Kesetiaan dan Konsekuensi Tindakan
English Version: The Magical Snake and the Youngest Daughter
Folklor dari Bengkulu
Di kaki gunung yang hijau subur di Bengkulu, hiduplah seorang ibu tua bersama ketiga putrinya. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil beratapkan rumbia, dikelilingi pepohonan lebat dan suara gemericik sungai yang mengalir di dekatnya. Kehidupan mereka sederhana tetapi penuh kasih sayang. Namun, suatu hari, kebahagiaan mereka terguncang ketika sang ibu jatuh sakit parah. Tubuhnya lemah, napasnya tersengal, dan tak ada ramuan biasa yang mampu menyembuhkannya.
Seorang dukun tua dari desa datang setelah mendengar kabar tentang sakitnya sang ibu. Dengan suara berwibawa, ia berkata, "Satu-satunya obat yang dapat menyelamatkan nyawanya adalah bara gaib yang tersembunyi di puncak gunung. Bara itu hanya dapat diambil dan dimasak dengan api yang berasal dari ular gaib yang menjaga tempat itu."
Mendengar itu, ketiga putrinya saling berpandangan. Wajah mereka dipenuhi ketakutan. "Sayangnya, ular tersebut sangat ganas," lanjut dukun itu dengan nada peringatan.
Si Sulung menggelengkan kepala dengan cepat. "Kami tak berani," ujarnya, suaranya penuh kekhawatiran.
Si Tengah menelan ludah, tubuhnya bergetar. "Kami juga takut," katanya lirih, matanya enggan menatap ke arah gunung yang menjulang di kejauhan.
Namun, hanya si Bungsu yang memiliki keberanian. Meski hatinya dipenuhi rasa takut, ia tidak tega melihat ibunya semakin lemah dari hari ke hari. Dengan tekad kuat, keesokan harinya, ia memutuskan untuk pergi ke puncak gunung.
Saat ia mulai mendaki jalur berbatu dan licin, angin berhembus kencang seolah menguji tekadnya. Semakin tinggi ia mendaki, semakin sunyi suasana. Burung-burung enggan berkicau, dan hanya gemerisik dedaunan yang terdengar. Namun, ketika ia semakin mendekati puncak, bumi tiba-tiba bergetar hebat.
Dedaunan berguguran, dahan-dahan pohon bergoyang, dan suara gemuruh terdengar dari dalam hutan. Si Bungsu terhuyung, nyaris terjatuh. Hawa panas menyelimutinya, dan ia tahu—ular gaib telah merasakan kehadiran manusia di wilayahnya.
Jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayap di hatinya. Namun, ia teringat wajah ibunya, lemah dan tak berdaya di rumah. Dengan napas tertahan, ia menggenggam kedua tangannya erat, mengumpulkan keberanian.
"Dapatkah aku meminta sebutir bara untuk menyembuhkan ibuku?" pinta si Bungsu dengan hati-hati, suaranya bergetar di tengah keheningan yang mencekam.
"Aku akan memberikan, asalkan kau bersedia menjadi istriku," jawab ular gaib dengan suara berbisik, seperti angin yang menyelinap di antara pepohonan.
Si Bungsu terkejut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa permintaan seperti ini akan diajukan oleh makhluk yang begitu menakutkan. Matanya menatap tubuh ular raksasa yang sisiknya berkilauan dalam cahaya bulan, matanya tajam berkilau keemasan. Ketakutan merayap dalam dirinya, tetapi bayangan ibunya yang terbaring lemah menguatkan hatinya. Ia sadar, tanpa bara gaib, ibunya tak akan bisa bertahan.
Dengan tarikan napas berat, ia akhirnya mengangguk. "Aku setuju," katanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Begitu kata-kata itu terucap, bumi berhenti bergetar. Angin yang tadinya berdesir kencang kini mereda. Ular gaib mengangkat kepalanya tinggi, lalu mengibaskan ekornya, menciptakan percikan cahaya. Dari ekor bersisiknya, sebuah bara gaib muncul, bersinar merah kebiruan seperti api yang abadi. Dengan hati-hati, si Bungsu mengambilnya dan segera berlari pulang.
Kesetiaan dan Keajaiban
Sang ibu yang telah sekarat segera diberi obat yang dimasak dengan api dari bara gaib itu. Perlahan, wajahnya yang pucat kembali berwarna, tubuhnya yang lemah mulai mendapatkan kekuatannya kembali. Dalam hitungan hari, ia sembuh sepenuhnya. Kebahagiaan kembali ke rumah kecil mereka, tetapi di hati si Bungsu, kegelisahan menyelusup. Ia tahu, ia telah berjanji, dan janji harus ditepati.
Dengan hati berat, ia bersiap kembali ke puncak gunung, sementara ibunya dan kedua kakaknya menatapnya dengan bingung.
"Mengapa kau ingin kembali ke sana?" tanya si Sulung curiga.
"Aku sudah berjanji pada ular gaib," jawab si Bungsu jujur.
Si Tengah dan si Sulung saling pandang, merasa heran dan sedikit lega dalam hati. Mereka pikir si Bungsu hanya akan menemui nasib buruk. Namun, yang mereka tidak tahu, petualangan sesungguhnya baru akan dimulai.
Ketika si Bungsu tiba kembali di puncak gunung, ia bersiap bertemu kembali dengan sosok ular raksasa. Namun, yang mengejutkan, bukannya menemukan seekor ular, ia malah melihat seorang pemuda tampan berdiri di hadapannya, mengenakan jubah hitam berbordir emas.
"Siapa kau?" tanya si Bungsu penuh kebingungan.
Pemuda itu tersenyum, matanya yang berwarna keemasan berkilau dalam kegelapan malam. "Aku adalah ular gaib yang telah berjanji menikah denganmu," katanya tenang. "Saat malam tiba, aku kembali ke wujud asliku. Aku adalah seorang pangeran yang dikutuk untuk hidup sebagai ular hingga ada seorang gadis yang mau menerima lamaranku dengan tulus."
Si Bungsu hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Hatinya yang sebelumnya dipenuhi ketakutan perlahan berubah menjadi kehangatan. Tanpa sadar, ia pun mulai merasa nyaman di sisi sang pangeran.
Iri Hati dan Kejatuhan Kakak-Kakak yang Serakah
Kabar tentang si Bungsu yang kini tinggal bersama seorang pemuda tampan segera sampai ke telinga si Sulung dan si Tengah. Rasa iri membakar hati mereka.
"Bagaimana mungkin dia, yang paling muda dan tak pernah meminta apa pun, justru mendapatkan kebahagiaan seperti itu?" keluh si Sulung.
"Kita harus mencari tahu apa rahasianya," sahut si Tengah.
Maka, suatu malam, mereka diam-diam mengikuti si Bungsu ke kediamannya di kaki gunung. Dari celah jendela, mereka mengintip dan menyaksikan keajaiban terjadi—seekor ular besar yang melata di lantai perlahan berubah menjadi seorang pangeran tampan.
"Dia hanya manusia biasa saat malam!" bisik si Tengah penuh semangat. "Kita bisa menghancurkan kebahagiaannya!"
Dengan hati dipenuhi niat jahat, mereka menyelinap masuk saat si Bungsu tertidur dan menemukan kulit ular yang terlipat rapi di sudut ruangan. Dengan cepat, mereka membawanya keluar dan membakarnya di halaman, berharap si ular akan marah dan menyerang adik mereka.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Begitu kulit ular terbakar, si pangeran yang sedang tidur tiba-tiba terbangun dengan tubuh bergetar. Kilatan cahaya menyelimuti dirinya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar bebas.
Ia menatap si Bungsu dengan penuh syukur dan berkata, "Kini aku terbebas dari kutukan yang telah mengikatku selama ini. Terima kasih, karena tanpamu, aku tidak akan pernah menjadi manusia seutuhnya."
Si Sulung dan si Tengah, yang mengira mereka telah menghancurkan kebahagiaan si Bungsu, justru terkejut melihat bahwa perbuatan mereka malah membebaskan sang pangeran.
Karena malu dengan niat buruk mereka yang akhirnya terungkap, keduanya menolak ketika pangeran menawarkan mereka tempat di kerajaannya. Dengan penuh penyesalan, mereka kembali ke desa, membawa rasa iri yang kini berubah menjadi kehampaan.
Sementara itu, pangeran membawa si Bungsu dan ibunya ke istananya yang megah. Di sana, mereka hidup dalam kebahagiaan yang tak terduga—sebuah takdir yang lahir dari keberanian, kesetiaan, dan ketulusan hati.
Pesan Moral: Keberanian dan Kesetiaan
Pesan moral dari kisah ini adalah pentingnya keberanian dan kesetiaan dalam menghadapi tantangan. Si Bungsu menunjukkan keberanian yang luar biasa untuk menyembuhkan ibunya, bahkan ketika dihadapkan pada keadaan yang menakutkan. Kesetiaannya terhadap janji yang dibuat, meskipun sulit, juga menjadi pelajaran penting tentang integritas dan tanggung jawab terhadap kata-kata yang diucapkan. Di sisi lain, perbuatan curang dan iri hati, seperti yang dilakukan oleh si Sulung dan si Tengah, mengajarkan bahwa tindakan yang tidak jujur dan penuh kebencian akan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.
No comments:
Post a Comment