Search This Blog

Angsa dan Kura-kura

Kura-Kura, Angsa, dan Perjalanan Menuju Kesadaran

Fabel Mendut dari Jawa Tengah (Cerita asli dari India)

Di sebuah kolam kecil yang terletak di tengah hutan yang rimbun, seekor kura-kura hidup berdampingan dengan dua ekor angsa yang menjadi sahabat setianya. Kolam itu adalah tempat yang tenang dan damai, namun sering terpengaruh oleh pergantian musim yang tak menentu. Di musim hujan, air kolam melimpah, menciptakan permukaan yang luas dan dalam, sehingga ketiga sahabat itu bisa berenang dan bermain dengan bebas. Mereka menikmati saat-saat itu dengan kegembiraan, merasakan kebahagiaan yang datang dari keberlimpahan alam. Kura-kura yang biasanya bergerak lambat dan hati-hati, kini bisa bergerak lebih cepat di dalam air yang jernih. Sementara itu, angsa-angsa itu terbang rendah di atas permukaan kolam, saling berkejaran dalam permainan yang penuh tawa.

Namun, ketika musim kemarau datang, keadaan menjadi berbeda. Kolam yang dulu melimpah kini mulai menyusut, membuat permukaan air semakin mengecil. Tanah yang dulu terendam air kini terbuka, penuh dengan kerikil dan lumpur. Ketiga sahabat itu merasakan penderitaan yang datang seiring berkurangnya air. Kura-kura yang tidak bisa berpindah jauh merasa cemas akan kekurangan tempat untuk bersembunyi atau beristirahat, sementara angsa-angsa itu mulai merasakan kesulitan untuk menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat atau bermain. Mereka khawatir jika kolam itu terus menyusut, mereka mungkin tidak akan memiliki tempat tinggal lagi.








Cemas dan gelisah, mereka sering duduk bersama di tepi kolam yang semakin kecil, berbincang tentang masa depan dan bertanya-tanya apakah kolam ini akan bisa bertahan hingga musim hujan berikutnya. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha bertahan bersama, berpegangan pada harapan bahwa musim akan berubah dan kebahagiaan akan datang lagi, seperti halnya hujan yang pasti akan datang membawa air dan kehidupan baru bagi kolam mereka.

Namun suatu hari, kedua angsa berkata bahwa mereka sudah bosan mengalami suka dan duka yang tak ada habisnya. Mereka menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi pola hidup mereka, sebuah irama yang akan terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Mereka baru saja mendengar berita gembira. Seekor burung bijaksana memberi tahu mereka bahwa di puncak gunung terdapat sebuah telaga—tempat di mana airnya tak pernah surut dan musim tidak dapat mengganggu ketenangannya.

Kedua angsa, yang sangat ingin hidup tanpa rasa khawatir tentang perubahan musim, saling memandang dengan harapan di mata mereka. "Mungkin kita bisa pergi ke sana," kata salah satu angsa, sayapnya berkibar penuh semangat. "Tempat di mana kita tidak akan pernah takut airnya habis, tempat kita bisa hidup dengan tenang."

"Telaga Kebahagiaan" yang mereka tuju dikenal karena mata airnya yang tak pernah habis. Kedua angsa, penuh tekad, memutuskan untuk terbang ke sana, berharap menemukan kebahagiaan abadi yang selama ini mereka impikan. Melihat keteguhan tekad kedua angsa, kura-kura merasa tertarik dan ingin ikut dalam perjalanan tersebut. Ia merasa bahwa perjalanan menuju telaga itu mungkin akan memberikan arti lebih dalam hidupnya.

Namun, setelah berpikir sejenak, kura-kura tahu bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Ia harus mencari cara agar bisa mengikuti angsa-angsa yang terbang tinggi itu. Dengan kecerdikan khasnya, kura-kura pun mengajukan ide yang cerdas: "Kalian bisa terbang, tapi aku tidak bisa. Maka, aku akan menggigit sepotong kayu di tengah, dan kalian bisa memegang ujung-ujungnya saat terbang."

Kedua angsa menyetujui ide tersebut, meskipun mereka menyadari risikonya. Mereka memperingatkan kura-kura dengan serius: "Kamu harus selalu waspada, kura-kura. Jangan pernah lengah, karena hanya sedikit kelalaian saja bisa membawa malapetaka. Dan yang lebih penting, jangan berbicara sepanjang perjalanan. Fokuskan pikiranmu pada kayu itu, jangan ada kata yang keluar dari mulutmu. Jika kamu berbicara, kita semua bisa jatuh."

Dengan persiapan itu, keduanya mencengkeram kayu di ujung-ujungnya, dan kura-kura menggigitnya di tengah. Mereka pun terbang, meninggalkan kolam dan segala ketidakpastian yang ada. Angin sepoi-sepoi menyentuh tubuh mereka saat mereka mulai terbang tinggi, menuju "Telaga Kebahagiaan." 

Perjalanan itu menjadi tantangan besar, terutama bagi kura-kura yang harus menggigit kayu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meski dalam hati ia ingin mengajukan banyak pertanyaan atau berbicara tentang hal-hal lain. Namun, demi keselamatan mereka, kura-kura menahan diri.

Selama perjalanan, angsa-angsa tetap terbang dengan mantap, mengandalkan tekad mereka yang kuat. Kura-kura yang tergantung di tengah kayu, meskipun merasa cemas dan penuh pertanyaan, tetap berusaha fokus pada tugasnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, meskipun mulutnya ingin berbicara banyak.

Perjalanan yang panjang dan penuh tantangan ini menggambarkan pentingnya ketekunan, kesabaran, dan pengendalian diri dalam menghadapi tujuan besar. Namun, setiap tantangan yang dihadapi akan mengajarkan nilai-nilai yang lebih dalam, dan mungkin perjalanan ini akan mengungkapkan lebih dari sekadar kebahagiaan yang mereka cari.








Di atas ladang, sepasang serigala berkomentar, mengatakan bahwa yang menggigit kayu itu bukan kura-kura, tetapi kotoran kerbau, sebagai oleh-oleh untuk anak-anak angsa.

Di atas desa, anak-anak kecil ternganga, melihat kura-kura menggigit kayu yang dibawa terbang oleh angsa di kanan dan kirinya.

Anak-anak desa melambaikan tangan dan berteriak, "Betapa bahagianya sang kura-kura! Seumur hidupnya belum pernah terjadi peristiwa yang demikian langka."

Di atas taman istana, para putri terpesona. Mereka ingin mengetahui bagaimana awal mula cerita sang kura-kura mendapatkan karunia yang luar biasa itu.

Sang kura-kura, yang lengah, ingin menjelaskannya. Namun, gigitannya terlepas dan jatuh, tubuhnya terbelah dua.

Sang raja datang bersama penasehatnya. Sang penasehat menjelaskan mengapa sang kura-kura jatuh di istana. Kebiasaan berbicara terlalu banyak membuatnya lengah dan mengundang bencana. Sang raja sadar bahwa penasehatnya sudah lama memberinya nasihat untuk mengurangi pembicaraan. Ada waktu untuk berbicara dan ada waktu untuk diam. Selama ini, sang raja selalu mendominasi percakapan dengan para menteri. Kejadian jatuhnya kura-kura membuatnya menyadari kekurangannya selama ini.

Konon setelah beberapa kehidupan, sang penasehat berinkarnasi menjadi Sang Buddha, dan sang raja menjadi salah satu muridnya. Kisah kura-kura dan angsa itu mengubah pandangan hidup sang raja.







Pesan Moral:

Hidup dengan kesadaran penuh memang penuh risiko, karena sepenuhnya bergantung pada tingkat kesadaran diri kita sendiri. Menjalani hidup berkesadaran berarti senantiasa terhubung dengan diri kita, dengan segala kekuatan dan kelemahan yang ada. Namun, karena kesadaran kita bisa mengalami pasang surut, perjalanan ini tak lepas dari kemungkinan terjatuh atau kehilangan arah. Yang penting adalah terus berusaha untuk bangkit, belajar, dan memperbaiki diri setiap kali kita tergelincir.






Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection