Dahulu kala, di sebuah kerajaan makmur di Kalimantan Selatan, hiduplah seorang raja bernama Sang Hiyang. Ia dikenal karena nafsu makannya yang besar, terutama kecintaannya pada usus ikan. Baginya, tidak ada hidangan yang terasa lengkap tanpa usus ikan. Setiap hari, ia menuntut sang juru masak istana untuk menyajikan porsi yang besar. Jika hidangan itu tidak sesuai dengan seleranya atau porsinya terlalu sedikit, Raja Sang Hiyang akan murka dan mengamuk dengan dahsyat.
Untungnya, sang juru masak tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi permintaan raja. Sebuah sungai besar mengalir di dekat istana, penuh dengan ikan yang melimpah. Setiap kali ia membutuhkan bahan segar, ia hanya perlu mengirim prajurit kerajaan untuk menangkap ikan dari sungai itu.
Namun, pada suatu hari yang naas, masalah muncul. Para prajurit kembali dengan hanya segelintir ikan, wajah mereka tampak gelisah. Mereka menjelaskan bahwa musim tangkap ikan sedang buruk, dan sungai yang dulu berlimpah kini hanya memberikan hasil tangkapan yang jauh lebih sedikit.
Jantung sang juru masak berdegup kencang karena khawatir. Ia tahu betapa murkanya raja jika hidangan favoritnya tidak disajikan dalam porsi yang biasa. Dengan tangan gemetar, ia segera mulai bekerja, memotong dan membersihkan ikan yang telah dibawa kepadanya. Pikirannya dipenuhi kecemasan akan hukuman yang mungkin menantinya.
Karena terlalu larut dalam ketakutan, genggamannya menjadi goyah. Dalam sekejap kelalaian, ia kehilangan kendali atas usus ikan yang licin, dan sebelum ia sempat bereaksi, usus-usus itu terjatuh ke dalam sungai. Arusnya begitu deras dan tak kenal ampun—dalam hitungan detik, usus ikan yang berharga itu hanyut terbawa air, menghilang ke dalam kedalaman sungai.
Sang juru masak terperanjat ketakutan. Hidangan kesukaan raja telah lenyap, dan tidak ada cara untuk mengambilnya kembali. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Sang juru masak benar-benar terkejut. Tangannya gemetar saat ia duduk, diliputi kepanikan atas musibah yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin ia bisa menghadapi raja tanpa hidangan kesayangannya? Putus asa dan ketakutan, ia berbisik kepada suaminya, menceritakan kejadian itu dengan nada panik.
Suaminya, seorang pria yang cerdik, berpikir sejenak sebelum sebuah ide terlintas di benaknya. Tanpa ragu, ia keluar rumah dan mulai menggali tanah yang lembut. Dengan hati-hati, ia mengumpulkan segenggam cacing gemuk yang menggeliat dan membawanya kepada istrinya.
“Nih,” katanya sambil meletakkan cacing-cacing itu di hadapan sang juru masak. “Cacing-cacing ini terlihat persis seperti usus ikan. Masak saja seperti biasa, dan raja tidak akan bisa membedakannya.”
Sang juru masak langsung mundur dengan wajah jijik. “Aku tidak bisa melakukan itu!” serunya, menggelengkan kepala. “Itu sama saja dengan menipu raja.”
Namun, suaminya tetap bersikeras. “Jika dia tidak menyadarinya, apa salahnya? Kau bisa menyelamatkan dirimu dari kemurkaannya, dan dia tetap mendapatkan hidangan favoritnya.”
Dengan berat hati, sang juru masak akhirnya menyerah. Ia menarik napas dalam-dalam, memaksakan diri untuk membersihkan dan memasak cacing seperti cara biasanya mengolah usus ikan. Saat hidangan telah siap, ia menyusunnya dengan hati-hati di atas piring, lalu membawanya ke hadapan raja dengan jantung berdebar kencang.
Tanpa sedikit pun kecurigaan, Raja Sang Hiyang mengambil suapan pertama. Seketika, matanya berbinar-binar penuh kegembiraan. “Luar biasa!” serunya, menikmati rasa gurih yang kaya. “Usus ikan ini bahkan lebih lezat dari sebelumnya!”
Sang juru masak berdiri kaku, memaksakan senyum canggung saat melihat raja melahap makanannya dengan lahap. Setelah selesai, raja memanggilnya ke hadapan. “Mulai sekarang, kau harus selalu memasak usus ikan persis seperti ini. Aku ingin hidangan ini disajikan dalam porsi besar setiap hari!”
Hati sang juru masak semakin gelisah. Apa yang awalnya hanya solusi darurat kini telah berubah menjadi masalah yang jauh lebih besar. Ia tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap, dan ia tak sanggup menanggung beban kebohongan ini lebih lama.
Dengan penuh keberanian, ia berlutut di hadapan raja dan mengakui semuanya. “Ampun, Baginda. Hari ini aku tidak memasak usus ikan. Yang baru saja Baginda santap sebenarnya adalah cacing.”
Ruangan seketika menjadi sunyi. Sang juru masak menahan napas, siap menerima kemarahan raja yang mungkin akan meledak kapan saja. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya—bukannya marah, Raja Sang Hiyang malah tertawa terbahak-bahak.
"Begitukah?" Raja Sang Hiyang terkekeh sambil mengusap perutnya. "Yah, apa pun itu, rasanya sangat lezat! Mulai sekarang, aku ingin cacing, bukan usus ikan. Pastikan hidangan ini disajikan dalam porsi besar!"
Sang juru masak menghela napas lega, meskipun ia masih merasa sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Maka, sejak hari itu, hidangan favorit Raja Sang Hiyang bukan lagi usus ikan—melainkan cacing, yang dimasak dengan sempurna oleh juru masak setianya di istana.
Setiap hari, para prajurit kerajaan menggali tanah untuk mencari cacing. Mereka membalik gumpalan tanah, menyisir setiap sudut kerajaan demi memenuhi permintaan raja yang tak pernah puas. Awalnya, jumlah cacing sangat melimpah, dan para prajurit tidak kesulitan mengumpulkannya. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlahnya mulai menipis. Koloni cacing yang dulu berkembang pesat kini hampir punah.
Jauh di dalam tanah, di pusat kehidupan bawah bumi, Raja Cacing mulai gelisah. Ia menyaksikan dengan sedih bagaimana rakyatnya lenyap satu per satu, diambil untuk memuaskan kerakusan Raja Sang Hiyang. Kesedihannya pun segera berubah menjadi kemarahan.
"Ini tidak bisa dibiarkan!" serunya. "Kita harus melindungi bangsa kita!"
Dengan suara yang menggetarkan terowongan bawah tanah, ia memanggil para prajurit cacing yang paling setia. "Pergilah ke istana," perintahnya. "Buat Raja Sang Hiyang membayar atas keserakahannya!"
Malam itu, saat bulan tergantung tinggi di langit, keheningan mencekam menyelimuti kerajaan. Kemudian, dari dalam tanah, ribuan cacing bermunculan, merayap menuju istana megah. Jumlah mereka begitu banyak, gerakan mereka cepat namun sunyi.
Saat mereka tiba di ruang singgasana, mereka mengelilingi Raja Sang Hiyang.
Untuk kengerian sang raja, ia dapat melihat mereka—gerombolan cacing yang tak berujung, menggeliat dan merayap, tubuh mungil mereka berkilauan di bawah cahaya obor yang redup. Mereka mendaki tangga menuju singgasana, gerakan mereka lambat namun tak terhentikan. Mata mereka—gelap dan tak berkedip—menusuk langsung ke dalam jiwanya.
Namun anehnya, tak ada orang lain yang melihatnya.
Para pengawal, penasihat, dan pelayan istana hanya berdiri diam, menatap raja mereka dengan kebingungan. Bagi mereka, sang raja tampak bereaksi terhadap sesuatu yang tak kasat mata, wajahnya dipenuhi ketakutan.
“Cacing! Cacing itu datang untukku!” Raja Sang Hiyang menjerit, terhuyung ke belakang. Napasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat.
"Baginda, apakah Anda merasa tidak sehat?" salah seorang penasihat bertanya dengan hati-hati, melangkah maju.
Namun, raja tidak menjawab. Sebaliknya, ia berlari keluar dari istana, jubah kebesarannya berkibar saat ia berlari ke dalam kegelapan malam. Cacing-cacing itu mengejarnya, tak terlihat oleh siapa pun selain dirinya.
Ia berlari melintasi kerajaan—melewati pasar, sungai, dan desa-desa—jeritannya yang ketakutan menggema di seluruh negeri. Namun, sejauh apa pun ia berlari, cacing-cacing itu selalu ada di belakangnya, mendekat dengan setiap langkah.
Akhirnya, dalam kelelahan dan keputusasaan, ia tersandung di hadapan sebuah pohon besar dengan cabang-cabang yang menjulur luas dan akar yang tebal. Tanpa pilihan lain, ia memanjat batang pohon itu, naik setinggi mungkin.
Di bawahnya, cacing-cacing itu berkumpul, mengelilingi pohon seperti pasukan yang mengepung benteng. Mereka tidak memanjat, tidak berbicara. Mereka hanya menunggu.
Hari-hari berlalu. Matahari terbit dan terbenam, tetapi cacing-cacing itu tidak pergi. Begitu pula sang raja.
Lapar, lemah, dan terseret ke dalam kegilaan, Raja Sang Hiyang duduk di atas cabang, menatap gerombolan tak berujung di bawahnya. Kekuasaan yang dulu ia miliki kini hancur, kejayaannya telah sirna.
“Aku tak bisa lari,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tak bisa memerintah. Aku tak bisa hidup seperti ini.”
Putus asa mengisi hatinya. Dengan tangan gemetar, ia merobek sepotong kain dari jubah kebesarannya dan mengikatnya menjadi seutas tali. Ia melingkarkan tali itu pada dahan yang kokoh. Keputusan telah dibuat.
Saat fajar menyingsing, rakyat kerajaan menemukan pemandangan yang mengejutkan—Raja Sang Hiyang tergantung tak bernyawa di pohon besar itu. Seruan kaget dan tangisan memenuhi udara saat orang-orang menunjuk ke arah kejadian tragis itu.
“Sang Hiyang tergantung! Sang Hiyang tergantung!” mereka berbisik satu sama lain, suara mereka dipenuhi duka.
Seiring waktu, tempat di mana sang raja menemui ajalnya mulai dikenal sebagai Sang Hiyang Tergantung—"Sang Hiyang yang tergantung." Tahun demi tahun berlalu, dan lidah-lidah orang-orang membentuk kembali namanya, hingga akhirnya menjadi Siang Gantung, sebuah daerah di Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Maka, kisah Raja Sang Hiyang dan amarah para cacing tetap hidup, menjadi peringatan akan bahaya keserakahan dan kekuatan tak kasat mata yang menjaga keseimbangan dunia.
Pesan Moral
Kisah Raja Serakah dan Amarah Bumi: Legenda Siang Gantung mengandung beberapa pesan moral yang berharga:
-
Keserakahan Menghancurkan Diri Sendiri – Keinginan berlebihan Raja Sang Hiyang terhadap makanan favoritnya, bahkan sampai menipu dan mengeksploitasi secara berlebihan, akhirnya membawa kehancurannya. Hal ini mengajarkan bahwa keserakahan yang tidak terkendali dapat membawa kehancuran.
-
Hormati Alam dan Jaga Keseimbangan – Kisah ini menunjukkan akibat dari pengambilan cacing secara berlebihan. Ketika manusia mengganggu keseimbangan alam, alam akan membalas. Ini mengingatkan kita untuk menggunakan sumber daya dengan bijaksana dan berkelanjutan.
-
Kejujuran adalah Kebijakan Terbaik – Sang juru masak awalnya menipu raja, tetapi pada akhirnya ia mengakui kebenaran. Meskipun jujur mungkin sulit, kejujuran tetap lebih baik daripada hidup dalam ketakutan akan terbongkarnya kebohongan.
-
Setiap Tindakan Memiliki Konsekuensi – Tindakan egois sang raja membangkitkan amarah kerajaan cacing, yang akhirnya membawa kejatuhannya. Ini mengajarkan bahwa setiap tindakan, terutama yang didorong oleh keserakahan, pasti memiliki akibat, baik yang terlihat maupun yang tidak.
-
Kekuasaan Tidak Menjamin Keselamatan – Meskipun ia seorang raja, Sang Hiyang tetap tak berdaya menghadapi pembalasan alam. Ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan status tidak dapat melindungi seseorang dari akibat perbuatannya sendiri.
Kisah ini bukan hanya menjadi dongeng peringatan, tetapi juga legenda yang menjelaskan asal-usul Siang Gantung di Kalimantan Selatan.
No comments:
Post a Comment