Search This Blog

Sendang Sani

Sendang Sani: Mata Air Suci di Pati dan Legenda Ki Rangga

Sendang Sani >> English version

Cerita Rakyat dari Jawa Tengah



Alkisah, Sunan Kalijaga berniat mengunjungi sahabat sekaligus sesama wali, Sunan Muria, yang tinggal di daerah perbukitan Pati, Jawa Tengah. Sebelum berangkat, beliau mengajak sahabat setianya, Ki Rangga, untuk turut serta dalam perjalanan itu. Beberapa abdi setia juga ikut, membawa bekal makanan, sesaji, dan keperluan perjalanan lainnya. Karena saat itu belum ada kendaraan maupun kereta api, mereka menempuh perjalanan suci ini dengan berjalan kaki, melintasi sawah, hutan, dan jalan-jalan kecil di desa yang berkelok.

Hari itu cukup terik, matahari menggantung tinggi di langit saat mereka menapaki hamparan alam pedesaan Jawa. Dalam perjalanan, mereka melewati sawah yang berkilau diterpa sinar matahari, rumpun bambu yang bergemerisik ditiup angin, serta suara gamelan samar-samar dari desa yang jauh. Waktu berlalu, dan meski rombongan ini terbiasa dengan perjalanan jauh, rasa lelah mulai terasa.

Akhirnya, Ki Rangga menyeka keringat di dahinya dan memperlambat langkah. Kakinya terasa berat, dan jalan tampak tak berujung. “Apakah kita masih jauh dari rumah Sunan Muria?” tanyanya, dengan suara letih yang menyiratkan kerinduan untuk beristirahat.

Sunan Kalijaga menoleh kepadanya dengan senyum tenang dan menenangkan. “Kita sudah berada di wilayah Kadipaten Pati Pesantenan,” jawabnya lembut. “Gunung itu tidak jauh dari sini. Kita akan segera tiba di rumah Sunan Muria. Bersabarlah, dan biarkan hatimu tetap ringan. Setiap langkah yang kita tempuh adalah bagian dari keberkahan.”







Ki Rangga merasakan rasa malu yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Meskipun ia adalah seorang lelaki yang kuat, setia, dan tangguh, ia tak mampu menyembunyikan keletihannya. Telapak kakinya nyeri, tenggorokannya kering, dan panas matahari terasa menekan pundaknya seperti beban yang tak terlihat. Sementara itu, Sunan Kalijaga masih melangkah dengan ringan—wajahnya tenang, langkahnya mantap, seolah ditopang oleh kekuatan yang melampaui jasmani. Ki Rangga menundukkan kepala, malu karena tampak lemah di sisi sosok yang begitu mulia.

Melihat hal itu, Sunan Kalijaga dengan lembut meletakkan tangan di bahu Ki Rangga. “Mari kita beristirahat di bawah pohon besar itu,” ucap beliau sambil menunjuk ke arah sebuah pohon beringin yang menjulang tinggi, dengan akar-akar tebal melingkar dari tanah seperti lengan-lengan tua yang menjaga bumi. Daunnya yang lebar menaungi tanah, dan kehadirannya terasa sakral—seolah-olah pohon itu telah berdiri di sana selama berabad-abad, menunggu momen ini. Rombongan pun duduk dengan penuh syukur di bawah naungannya, menikmati kesejukan yang ditawarkan sang pohon tua.

Tiba waktunya salat Zuhur, namun muncul kendala. Tak terlihat sungai, tak ada mata air, bahkan sumur pun tak tampak—tidak ada tempat untuk berwudu. Ki Rangga menoleh ke sekitar dengan gelisah. Bibirnya kering, dan bahkan dedaunan pun tampak bergetar di udara yang gersang.

“Saya tidak melihat air di mana pun,” ujarnya dengan nada cemas. “Di mana kita bisa berwudu?”

Sunan Kalijaga tersenyum, penuh kebijaksanaan, dengan mata yang memantulkan ketenangan dan keimanan. “Kita mohon saja kepada Allah SWT agar menghadirkan air,” jawabnya pelan. “Segala yang ada di dunia ini milik-Nya. Ia bisa mendatangkan air dari tempat yang tak kita duga. Sekarang dengarkan baik-baik, Ki Rangga. Tetaplah di sini dan jagalah pohon ini. Mungkin inilah jalan yang Allah SWT pilih untuk menurunkan berkah-Nya kepada kita. Tapi ingat—jangan bertindak sendiri. Bila air muncul, kau harus memberitahuku terlebih dahulu. Aku akan pergi ke balik bukit itu untuk berdoa.”

Ki Rangga mengangguk penuh khidmat, hatinya tersentuh oleh kepercayaan yang diberikan padanya. “Saya berjanji, Kanjeng Sunan. Akan saya kabari.”

Maka Sunan Kalijaga pun berjalan perlahan menuju bukit, siluetnya perlahan menghilang di balik hijau perbukitan. Ki Rangga tetap tinggal bersama para abdi di bawah pohon tua itu. Bisikan angin yang menari di sela-sela daun dan keheningan yang menyelimuti membuat suasana terasa damai. Tak lama kemudian, tubuh-tubuh yang lelah itu pun menyerah pada kantuk, dan satu per satu mereka tertidur—termasuk Ki Rangga, kepalanya bersandar pada batang pohon yang tadi ia jaga dengan sepenuh janji.




Tiba-tiba, suara gemericik lembut membelah keheningan. Dari pangkal pohon beringin itu, air jernih mulai menetes, lalu memancar deras, seolah-olah bumi sendiri telah terbangun. Mata air yang sejuk itu menyembur dari sela akar, memercikkan Ki Rangga dan para abdi yang sedang tertidur. Terkejut dan basah kuyup, mereka pun terjaga. Awalnya bingung, namun tak butuh waktu lama hingga mereka sadar akan keajaiban yang sedang berlangsung—dan wajah-wajah letih itu pun bersinar bahagia.

Air itu segar dan dingin, laksana berkah setelah perjalanan panjang yang berdebu. Mereka meminumnya dengan lahap, menadahkan tangan sambil tertawa seperti anak-anak yang menemukan harta karun tersembunyi. Para abdi bermain-main dalam mata air itu, saling kejar dan menyiramkan air ke kepala. Bahkan Ki Rangga, yang sebelumnya terhimpit tanggung jawab, larut dalam sukacita. Dalam kebahagiaan itu, ingatan tentang pesan Sunan Kalijaga perlahan memudar dari benaknya. Ia lupa akan janjinya—untuk memberitahu sang wali ketika air itu memancar.

Sementara itu, di balik bukit, Sunan Kalijaga tengah bersujud dalam doa. Namun, hatinya tiba-tiba diliputi kegelisahan. Ada sesuatu yang terasa tak selaras. Ia pun berdiri, melangkah kembali menuju pohon beringin. Suara tawa dan percikan air semakin jelas seiring langkahnya yang makin cepat.

Saat tiba, beliau berhenti sejenak. Wajahnya tetap tenang, namun mata beliau memancarkan kekecewaan yang dalam. Di hadapannya, dalam air suci yang dikaruniakan oleh kehendak Ilahi, terlihat Ki Rangga dan para abdi sedang bermain-main tanpa kesadaran, melupakan amanah yang telah diberikan.

“Kau lupa pesan yang kuberikan,” ucap Sunan Kalijaga dengan lembut, suaranya seperti angin tenang sebelum badai. “Aku memintamu untuk memberitahuku saat air keluar. Tapi yang kulihat, kalian bermain-main seperti kura-kura.”

Saat itu juga, sesuatu yang aneh terjadi.

Tawa itu terhenti.

Keheningan menyelimuti mata air.

Sebelum siapa pun sempat menjawab, sebuah keajaiban terjadi. Satu per satu, tubuh Ki Rangga dan para abdi mulai berubah—mengecil, tangan dan kaki mereka tertarik ke dalam, kulit mereka mengeras menjadi cangkang berpola kasar. Di tempat para manusia tadi berdiri, kini tampak kura-kura yang berenang diam-diam di dalam mata air.

Ki Rangga, meski telah berubah rupa, tetap membawa kesedihan dalam hatinya. Ia menyadari bahwa ia telah mengingkari kepercayaan suci, dan kini harus menerima akibat dari kelalaiannya. Mata air itu, yang merupakan berkah dari Allah SWT, bukanlah sesuatu yang boleh diperlakukan sembarangan.

Sejak hari itu, mata air tersebut dikenal sebagai Sendang Sani, yang terletak di wilayah Pati, Jawa Tengah. Hingga kini, tempat itu masih dikunjungi oleh para peziarah—mereka datang untuk merenung, berdoa, dan mengenang kisah Ki Rangga. Para kura-kura yang berenang di dalam sendang menjadi simbol sekaligus pengingat: untuk menepati janji, menjaga kerendahan hati, dan memperlakukan setiap berkah dengan penuh penghormatan. 🌊🐢✨










Pesan Moral
Berikut adalah pelajaran moral dari cerita Sunan Kalijaga, Ki Rangga, dan kemunculan air ajaib di bawah pohon besar di Pati, Jawa Tengah:
1. Iman dan Kesabaran: Cerita ini menekankan pentingnya memiliki iman kepada campur tangan ilahi dan bersabar. Meskipun merasa lelah dan haus, Ki Rangga dan para pelayan perlu mempercayai kata-kata Sunan Kalijaga dan menunggu air datang sebagai berkah dari Allah SWT.
2. Kepatuhan dan Tanggung Jawab: Ki Rangga diberi tugas khusus oleh Sunan Kalijaga—untuk memberitahunya ketika air muncul. Ini menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap instruksi dan tanggung jawab. Kegagalan Ki Rangga untuk memenuhi janji tersebut berujung pada konsekuensi negatif, mengajarkan bahwa mengabaikan tanggung jawab dapat memiliki hasil yang buruk.
3. Pengendalian Diri: Cerita ini juga menekankan nilai pengendalian diri. Ki Rangga dan para pelayan membiarkan kegembiraan dan kelegaan mereka menemukan air mengalahkan tugas mereka untuk memberitahu Sunan Kalijaga, menunjukkan bagaimana menyerah pada keinginan sesaat dapat membuat seseorang melupakan tugas penting.
4. Konsekuensi dari Tindakan: Transformasi Ki Rangga menjadi kura-kura berfungsi sebagai metafora untuk konsekuensi dari gagal memenuhi janji dan tanggung jawab. Ini menyimbolkan gagasan bahwa tindakan memiliki dampak, dan mengabaikan tugas dapat menghasilkan akibat yang tidak diharapkan dan tidak menguntungkan.
5. Mukjizat dan Kerendahan Hati: Cerita ini memperkuat keyakinan pada mukjizat dan kerendahan hati yang diperlukan untuk menerima bahwa keajaiban semacam itu adalah perbuatan kehendak ilahi. Kerendahan hati dan iman Sunan Kalijaga kontras dengan kurangnya itu pada Ki Rangga, menunjukkan prinsip spiritual bahwa kerendahan hati dan iman membawa berkah, sementara kesombongan dan pengabaian membawa kemalangan.
Secara keseluruhan, cerita ini memberikan perpaduan kaya antara ajaran spiritual dan moral, menekankan iman, tanggung jawab, kepatuhan, pengendalian diri, dan konsekuensi dari tindakan seseorang.




Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection