Search This Blog

Telaga Warna

Telaga Warna: Kisah Seorang Putri yang Tenggelam dalam Keindahan dan Kesombongan


Colorful lake >>English Version

Cerita Rakyat dari Jawa Barat


Di sebuah kerajaan terkenal di Cipanas, Jawa Barat, hiduplah seorang raja yang bijaksana, dikenal karena keadilannya dan kasih sayangnya kepada rakyat. Sang ratu, yang sama baiknya, hidup harmonis bersama sang raja, dan mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita, yang mereka sayangi melebihi segalanya. Mereka memberikan segala kemewahan untuk putrinya—pakaian terbaik, perhiasan langka, dan kenyamanan tiada banding. Namun, meskipun mendapat cinta dan perhatian sedemikian besar, sang putri tidak pernah merasa cukup.

Suatu sore, sang putri duduk di kamarnya, memandang dirinya di cermin indah yang terbuat dari emas dan dihiasi ukiran bunga serta burung-burung mitos. Dia menghela napas panjang, memandang bayangannya dengan raut kecewa.

“Aku harus punya lebih banyak lagi,” gumamnya dengan nada penuh harap. “Mungkin… jika setiap helai rambutku dihiasi perhiasan, seluruhnya berkilauan dengan berlian dan batu rubi, aku akan menjadi gadis tercantik di dunia. Ya, itulah jawabannya!”

Dengan tekad yang bulat, sang putri berlari ke balairung kerajaan, tempat raja dan ratu sedang berbincang. Tanpa ragu, ia menyampaikan rencananya, yakin bahwa orang tuanya akan mendukungnya.

“Ayah, Ibu, aku telah memutuskan! Aku ingin memakai semua perhiasanku di rambut! Setiap helai akan berkilau dengan emas, berlian, dan zamrud. Bayangkan—dunia akan mengenalku sebagai putri tercantik yang pernah ada!” serunya dengan mata bersinar penuh semangat.

Raja dan ratu saling bertukar pandang dengan cemas. Raja menatap putrinya dengan lembut, namun dengan tatapan tegas.

“Putriku,” ujarnya, memilih kata-katanya dengan hati-hati, “kecantikan sejati tidak terletak pada berapa banyak perhiasan yang kau pakai atau kemewahan yang kau miliki. Kecantikan itu hadir dalam hati yang murni, dalam kebaikan dan kesopanan.”

Putri itu melipat tangannya dengan wajah marah. “Kalian hanya tak ingin aku bersinar lebih terang dari siapa pun. Kalian terlalu sederhana untuk mengerti!”

Ratu meraih tangan putrinya, suaranya lembut namun penuh harap. “Nak, kau sudah cantik luar biasa. Tapi memenuhi rambutmu dengan perhiasan hanya akan membebani jiwamu. Bayangkan bagaimana orang akan melihat ini—bukan sebagai kecantikan, melainkan kesombongan.”

Namun, sang putri menginjakkan kakinya dengan keras, marah terpancar di matanya. “Cukup! Kalian hanya terlalu pelit untuk memberikanku apa yang aku inginkan!” Dia berbalik dan kembali ke kamarnya, lalu kembali dengan kotak perhiasannya yang penuh dengan permata berkilau. Dengan gusar, dia melempar kotak itu di kaki ayahnya.

“Tuh! Ambil kembali kalau kebahagiaanku tidak berarti bagi kalian!” teriaknya, suaranya menggema di balairung.

Wajah raja berubah pucat, campuran antara kecewa dan marah terpancar di matanya. Dengan suara bergetar, penuh rasa sedih, ia berbicara, “Kau adalah anak yang tak tahu berterima kasih.”

Saat itu juga, lantai istana bergetar seolah-olah marah. Suara gemuruh memenuhi ruangan, dan tiba-tiba, retakan-retakan muncul di lantai marmer di bawah kaki sang putri. Dia terkejut, memandang ke bawah saat air memancar keluar dengan deras, memenuhi balairung.










“Ayah! Ibu!” jeritnya, rasa takut menggantikan amarahnya saat air naik dengan cepat, mengitari kakinya dan mengangkat tubuhnya dari tanah. Kedua orang tuanya hanya bisa menyaksikan dengan putus asa ketika air menggenangi tubuh sang putri, membawa jeritannya hilang terbawa arus.

Dalam sekejap, istana tersebut tak lagi terlihat, dan sebagai gantinya, muncul sebuah danau yang luas dan tenang, permukaannya berkilauan dengan warna-warna yang mencerminkan perhiasan sang putri. Merah, hijau, biru, dan kuning menari-nari di atas air saat sinar matahari menembus kedalaman danau, menciptakan pemandangan yang dikatakan penuh keajaiban.

Orang-orang pun berdatangan dari berbagai tempat untuk menyaksikan danau yang memukau ini, dan mereka menamainya Telaga Warna, atau “Danau Warna-Warni”. Hingga kini, legenda tentang sang putri yang tak tahu berterima kasih dan nasibnya yang indah namun tragis terus hidup, mengingatkan setiap pengunjung bahwa kecantikan sejati tak dapat dibeli atau dikenakan, melainkan berasal dari dalam hati.



Pesan Moral

Pesan moral dari cerita Telaga Warna adalah bahwa kecantikan sejati tidak berasal dari harta benda atau penampilan luar, melainkan dari sikap, hati yang baik, dan kerendahan hati. Kesombongan dan ketidakpuasan atas apa yang sudah dimiliki dapat membawa kesedihan atau bahkan malapetaka. Cerita ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari rasa syukur dan menghargai anugerah yang sudah kita miliki, serta dari kebaikan hati yang kita tunjukkan kepada orang lain.

 







Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection