Alkisah, di tanah Mandar yang hijau dan damai di Sulawesi Selatan, hiduplah seorang petani sederhana dan istrinya. Mereka adalah pasangan miskin namun penuh cinta, yang mendambakan kehadiran seorang anak untuk membawa kebahagiaan dalam hidup mereka. Siang dan malam, mereka berdoa kepada Tuhan agar diberi seorang bayi, hati mereka dipenuhi harapan dan kerinduan. Rumah kecil mereka, yang dikelilingi sawah hijau dan pegunungan yang menjulang di kejauhan, terasa sepi tanpa suara tawa seorang anak. Meski hidup dalam keterbatasan, cinta mereka satu sama lain membuat mereka kuat menghadapi kerasnya kehidupan.
Suatu malam, di bawah sinar lembut bulan yang membalut desa dengan cahaya keperakan, sang petani berlutut di bawah langit terbuka. Menatap bintang-bintang yang bertaburan, ia membisikkan sebuah janji yang khusyuk, suaranya mantap dipenuhi tekad. "Ya Tuhan, jika Engkau memberkahi kami dengan seorang anak laki-laki, aku akan menghormatinya dengan buaian emas." Kata-katanya bergema dengan penuh pengabdian dan janji yang kuat. Istrinya, yang mendengar doa itu, memandangnya dengan keprihatinan yang tersembunyi. Dia mengagumi ketulusan suaminya, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas dengan beban yang mungkin datang dari janji itu. Meski begitu, dia tidak berkata apa-apa, mempercayai bahwa takdir akan berpihak pada mereka.
Hari-hari berganti menjadi minggu, dan tak lama kemudian doa sang istri pun terjawab — ia hamil. Kebahagiaan menyelimuti rumah mereka seperti angin segar musim semi. Wajah sang petani bersinar penuh harapan, dan ia terus-menerus berbicara tentang putra yang diyakininya akan segera lahir. Namun, di sudut-sudut sunyi pikirannya, ada satu pemikiran lain yang terus menghantui: buaian emas. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki kekayaan untuk memenuhi janjinya, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Jawa mencari pekerjaan. Sebelum pergi, ia memberikan satu instruksi terakhir kepada istrinya — sebuah instruksi yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
"Jika itu seorang anak laki-laki, rawatlah dia dengan sepenuh hati. Tetapi jika itu seorang anak perempuan... kau harus mengakhiri hidupnya," kata sang petani, matanya dingin dipenuhi keteguhan hati.
Kata-kata suaminya menusuk hati sang istri seperti duri tajam. Meskipun ia mencintai suaminya dan menghormati keputusannya, ia tidak dapat memahami kebenciannya terhadap anak perempuan. Beban perintah itu menekan pikirannya, memenuhi hatinya dengan kegelisahan. Setiap malam, saat ia berbaring di atas tikar sederhana di rumah mereka yang bersahaja, ia meletakkan tangannya di atas perutnya yang semakin membesar dan membisikkan doa-doa lembut. "Tolong, jadikan ia seorang anak laki-laki," bisiknya, bukan demi suaminya, tetapi demi keselamatan jiwa yang tumbuh di dalam rahimnya.
Seiring berlalunya bulan, perutnya kian membesar, membawa kehidupan baru di dalamnya, dan rasa cintanya kepada sang bayi semakin kuat. Setiap malam, ia memimpikan tawa bayinya, hangatnya jari-jari mungil yang menggenggam tangannya, dan kebahagiaan yang akan dibawa anak itu ke rumah mereka yang sepi. Namun, perintah suaminya tetap menghantui pikirannya seperti bayangan gelap. Dalam momen kesendirian, ia bertekad bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa bayinya, apa pun jenis kelaminnya. Cintanya menjadi sekokoh akar pohon besar, yang tak tergoyahkan bahkan oleh badai yang paling dahsyat.
Pada suatu malam yang menentukan, proses persalinannya dimulai. Udara segera dipenuhi dengan tangisan tajam dan jelas dari seorang bayi yang baru lahir, cerah seperti lagu pertama burung di pagi hari. Jantungnya berdebar kencang saat ia memandang sosok kecil yang menggeliat di pelukannya — seorang gadis. Air mata menggenang di matanya, banjir kebahagiaan, ketakutan, dan penolakan yang tenang. Perintah suaminya terngiang di pikirannya, tetapi tekadnya tidak tergoyahkan. Dengan suara gemetar, ia berbisik, "Apapun siapa dirimu, aku akan melindungimu." Saat itu, cinta mengeras menjadi tekad yang tak tergoyahkan, dan ia bersumpah tidak ada yang akan membahayakan putrinya.
Dengan suaminya yang sedang dalam perjalanan panjang ke Jawa, ia tahu bahwa ia harus bertindak cepat. Ia pergi ke desa saudarinya, memeluk bayinya dengan erat. "Tolong, besarkan dia seolah-olah dia anakmu," pintanya. "Suamiku menginginkan seorang putra dan memerintahkanku untuk mengakhiri hidupnya jika dia seorang gadis. Aku tidak bisa melakukannya." Saudarinya setuju, tergerak oleh beratnya pengorbanan itu. Di rumah, sang ibu menyiapkan sebuah tipuan. Ia menggali sebuah kuburan kecil dan membangun tumpukan tanah, membentuknya cukup besar untuk meyakinkan suaminya bahwa ia telah melakukan seperti yang diperintahkannya. Hatinya sakit karena kesedihan dan kelegaan, namun cintanya tetap tidak tergoyahkan.
Beberapa bulan kemudian, petani itu kembali dari perjalanan panjangnya, langkahnya lebih ringan Langkahnya lebih ringan daripada yang ia rasakan dalam tahun-tahun sebelumnya. Di bahunya tergantung sebuah keranjang emas yang berkilau, permukaannya yang dipoles menangkap sinar matahari seperti api di atas air. Warga desa berkumpul untuk mengaguminya, mata mereka lebar dengan keheranan. Rasa bangga membengkak di dada petani itu saat ia membayangkan putranya terbaring di dalam keranjang emas itu, simbol dari impian panjangnya yang akhirnya tercapai.
“Di mana bayi kita?” tanyanya dengan penuh semangat, matanya mencari-cari ke seluruh rumah dengan antisipasi yang semakin tumbuh. Pandangannya melompat dari sudut ke sudut, mengharapkan mendengar suara gemericik bayi.
Istrinya berdiri di ambang pintu, tangannya terlipat rapat di depan dada. Matanya menunduk, wajahnya pucat dan lelah. Nafasnya terengah-engah, dan suaranya bergetar dengan beban kata-katanya. “Bayi kita seorang gadis,” katanya, hampir berbisik. Matanya berkilau dengan air mata yang tak tumpah. “Aku... aku melakukan seperti yang kau perintahkan. Dia sudah tiada.”
Petani itu membeku. Hatinya, yang penuh harapan beberapa saat lalu, kini terasa seperti direnggut dari dadanya. Tangannya terkulai, dan keranjang emas itu terlepas dari genggamannya, jatuh dengan suara berdebum kosong ke tanah. Bunyi denting itu bergema melalui udara yang hening seperti lonceng kesedihan. Warga desa menatap dengan diam. Ia terjatuh ke lutut, matanya terpaku pada keranjang itu, yang kini sinarnya terasa keras dan tak mengampuni. Harta yang telah ia perjuangkan begitu keras kini terasa seperti monumen penyesalannya, keindahannya tajam seperti pisau di hatinya. Nafasnya terengah, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari harga sejati dari permintaannya.
Sementara itu, gadis itu tumbuh menjadi wanita muda yang bersinar di bawah perawatan penuh kasih dari bibinya. Bibinya, seorang wanita yang baik hati dan lembut, memberinya tempat perlindungan dari kerasnya dunia. Gadis itu berkembang dalam lingkungan yang penuh perhatian ini, kecantikannya dan kelembutannya bersinar seperti bunga yang mekar di bawah sinar matahari. Namun, seiring ia tumbuh dewasa, ia tidak bisa menghindari rasa ingin tahu tentang asal-usulnya. Keingintahuannya membawanya untuk mengetahui kenyataan yang menghancurkan tentang masa lalunya—orang tuanya yang telah meninggalkannya, ayah yang membencinya hanya karena jenis kelaminnya, dan ibu yang berpura-pura menguburnya, menutupi kebenaran dengan kebohongan.
Penemuan ini menghancurkan semangatnya. Ia selalu bertanya-tanya mengapa ia ditinggalkan, tetapi kini potongan-potongan dari masa lalu yang penuh sakit hati itu jatuh pada tempatnya. Ia ditolak oleh orang-orang yang seharusnya mencintainya tanpa syarat. Ia merasa tak diinginkan, dibuang, dan kesepian, seolah-olah ia tidak punya tempat di dunia yang ia huni. Dalam keheningan kesedihannya, ia berpaling pada doa, mencari ketenangan dari kekuatan yang lebih tinggi. Di bawah langit yang penuh bintang, dengan angin malam yang menyentuh kulitnya, ia berteriak dalam keputusasaan, "Tuhan, aku tak ingin lagi hidup sebagai manusia. Ubah aku menjadi burung, agar aku bisa melarikan diri dari rasa sakit ini dan terbang bebas ke mana pun aku pilih."
Suara tangisannya mengalun ke malam yang sepi, gemetar dengan kesedihan dan keputusasaan, dan, pada saat itu, doanya didengar. Bintang-bintang di atas seolah berkilau dengan pengertian, dan perlahan-lahan, tubuhnya mulai berubah. Bentuk manusianya melembut dan berubah, lengan-lamennya menjadi sayap yang lembut, rambutnya berubah menjadi bulu yang cemerlang. Ia merasakan beban kesedihannya terangkat saat ia berubah menjadi burung yang luar biasa indah, bulunya yang berkilau di bawah sinar matahari bagaikan permata. Sayapnya berkibar, dan saat ia mengujinya, ia menyadari bahwa kini ia bisa terbang bebas, tanpa beban masa lalunya.
Suara nyanyiannya, yang dulu penuh rasa sakit, kini membawa melodi yang sangat manis dan menghantui sehingga menyentuh setiap jiwa yang mendengarnya. Lagu yang keluar dari paruhnya penuh dengan kesedihan dan keindahan, menggema dengan rasa kehilangan dan kerinduan. Sebagai burung Cengnge', ia terbang menuju rumah orang tuanya, hatinya dipenuhi dengan beratnya perjalanan hidupnya. Hinggap di atap rumah, ia menatap rumah yang pernah mengubah hidupnya dengan cara yang sangat tragis. Dengan seluruh hatinya, ia menyanyikan lagu yang penuh kesedihan:
"Aku sangat sedih, orang tuaku tidak mencintaiku."
Melodi burung itu bergema ke seluruh penjuru desa, menarik perhatian petani dan istrinya untuk keluar rumah. Mata mereka terbelalak karena tak percaya saat mereka mengenali suara burung itu sebagai suara putri mereka. Suara itu, begitu menghantui dan akrab, menembus hati mereka seperti badai yang datang tiba-tiba. Petani itu terhuyung ke depan, lututnya tak mampu menahan beban kesadarannya, dan ia jatuh berlutut, terhimpit penyesalan yang begitu dalam. Seluruh dirinya diliputi oleh kesadaran akan rasa sakit yang telah ia timbulkan.
"Anakku, maafkan aku! Aku buta oleh kesombongan dan kebodohan!" serunya, suaranya serak oleh kesedihan. Ia mengulurkan tangan menuju burung itu, namun sudah terlambat. Gadis itu, dalam bentuk barunya, telah menemukan kedamaian yang selama ini tidak ia rasakan dalam hidup. Ia telah menerima perubahan dirinya, tidak lagi terikat oleh kekejaman penolakan manusia. Ia bebas, terbang tinggi di langit, tak tersentuh lagi oleh kepahitan masa lalunya.
Warga desa, yang tergerak oleh kisah sedih burung itu, berkumpul dalam diam, hati mereka penuh empati. Mereka menamainya Burung Cengnge', simbol dari rasa sakit yang lahir dari cinta dan kehilangan. Lagunya, yang manis namun penuh kesedihan, mengalun melalui desa sebagai pengingat yang tak pernah padam tentang luka mendalam yang dapat ditimbulkan oleh penolakan. Suaranya menggema dalam hati mereka yang mendengarnya, mengingatkan mereka akan nilai tak tergantikan dari cinta tanpa syarat dan akibat mengabaikan penerimaan. Melodi burung itu menjadi seruan suci untuk menghargai setiap kehidupan, untuk merangkul cinta tanpa penilaian, dan untuk tidak pernah melupakan bahwa setiap jiwa layak diterima, apapun keadaan dan latar belakangnya.
Pesan Moral
Dongeng ini mengajarkan kita bahwa setiap anak adalah anugerah yang harus dihargai, tanpa memandang jenis kelamin. Dongeng ini juga memperingatkan kita agar tidak membuat janji yang didorong oleh kesombongan dan akibat dari menyimpan prasangka yang tidak adil. Penyesalan petani menjadi pelajaran abadi: cinta dan penerimaan adalah harta terbesar yang bisa diberikan oleh sebuah keluarga.
No comments:
Post a Comment