Dahulu kala, di sebuah desa yang tenang di antara perbukitan kasar dan savana kering Nusa Tenggara Timur, di mana pohon lontar menjulang tinggi dan angin membawa aroma asin dari laut yang jauh, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Skolong. Rumahnya adalah sebuah ume kebubu sederhana—rumah tradisional berbentuk bundar dengan atap ilalang—terletak di antara pohon asam dan ladang jagung, dengan kambing dan babi berkeliaran bebas di sekitar. Skolong menjalani hidup yang sederhana namun penuh sukacita bersama orang tuanya, setiap hari terbangun dengan irama alam dan suara musik tradisional sasando yang lembut mengalun dari rumah tetangga. Dia dikenal di seluruh desa sebagai anak yang baik—berhati lembut, selalu siap membantu, dan sangat menghormati orang tua. Senyum hangatnya, disertai dengan jiwa yang lembut, membuatnya dicintai oleh semua orang. Dengan kulitnya yang kecokelatan oleh sinar matahari dan mata yang cerah penuh rasa ingin tahu seperti langit di atas Pulau Timor, banyak yang percaya Skolong ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar. Dia membawa diri dengan martabat yang tenang, seperti pemuda pulau yang diajarkan untuk menghormati tanah dan adat.
Suatu pagi yang cerah, saat burung-burung berkicau dari dahan dan harum bunga yang mekar memenuhi udara, ayah Skolong memanggilnya ke samping.
“Anakku,” katanya dengan nada penuh perhatian, “tante-mu sedang mengandung. Tidak lama lagi, dia akan melahirkan. Jika bayi itu perempuan, harapan kita—dan tradisi masyarakat kita—adalah kamu akan menikahinya ketika dia dewasa nanti.”
Skolong mendengarkan dengan tenang. Di komunitas mereka, sudah menjadi adat lama bahwa sepupu menikah, sebuah praktik yang berakar pada keyakinan untuk menjaga erat ikatan keluarga. Pernikahan bukanlah pilihan romantis yang dibuat di masa muda, melainkan pengaturan yang dipikirkan matang oleh orang tua dan tetua, demi menjaga keharmonisan dan kelangsungan keluarga.
Meski masih muda, Skolong memahami beratnya kata-kata ayahnya. Dia mengangguk hormat, menerima permintaan itu bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari jalan yang telah ditentukan untuknya. Bagi Skolong, menghormati tradisi adalah cara untuk menghormati mereka yang telah datang sebelum dirinya—dan dia percaya bahwa seiring waktu, hatinya akan semakin mengerti janji ini dengan lebih dalam.
Skolong akhirnya tiba di rumah pamannya setelah menempuh perjalanan panjang melewati jalan setapak di hutan yang sempit dan menyeberangi beberapa sungai kecil. Pamannya menyambutnya dengan pelukan hangat dan senyum bahagia, sangat bersyukur atas kehadirannya di saat yang penting bagi keluarga mereka. Rumah itu dipenuhi dengan kegembiraan dan antisipasi menjelang kelahiran sang bayi.
Saat membantu pekerjaan sehari-hari dan berbincang dengan bibinya, Skolong diam-diam menyimpan harapan di hatinya—bahwa sepupunya, yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya, akan menjadi gadis yang cantik. Ia membayangkan seorang gadis anggun dengan suara lembut dan mata yang penuh kebaikan, seseorang yang perlahan bisa ia cintai.
Namun takdir berkata lain.
Ketika bayi perempuan itu lahir, suasana menjadi hening dan berat. Skolong berdiri terpaku, menatap bayi itu dengan penuh keheranan. Tubuhnya bulat sempurna, tanpa tangan dan kaki, tanpa leher. Wajahnya lembut, tapi aneh dan berbeda dari bayi-bayi lain. Orang tua bayi itu terdiam, sukacita mereka berubah menjadi kebingungan dan kesedihan. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan menamai bayi itu Cue, sebuah kata yang berarti ubi liar—tanaman yang hanya tumbuh di dalam hutan yang dalam dan tersembunyi. Bentuk bulat tubuhnya mengingatkan mereka pada akar ubi liar itu—tanah, tersembunyi, dan penuh misteri. Meski terkejut, mereka menerima Cue dengan cinta yang tenang, membungkusnya dengan kain hangat dan menyanyikan lagu pengantar tidur di bawah cahaya temaram lampu minyak.
Tahun-tahun berlalu, Cue tumbuh menjadi gadis luar biasa. Walau tubuhnya tetap sama, pikirannya berkembang dengan kecerdasan dan keanggunan. Ia bisa berbicara dengan jelas dan menawan, sering membuat orang dewasa terkejut oleh kedalaman kata-katanya. Yang paling menakjubkan adalah suaranya saat bernyanyi—merdu, penuh jiwa, dan murni. Lagu-lagunya mengalun bagai angin yang menyusup di antara pepohonan, menarik perhatian warga desa yang lewat hingga membuat mereka berhenti sejenak untuk mengaguminya.
Namun Skolong tetap gelisah. Semakin lama ia tinggal, semakin berat hatinya. Meski Cue cerah dan baik hati, ia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia tak bisa menikahinya—bukan karena siapa Cue sebenarnya, tapi karena ia tak mampu menerima apa yang dilihatnya dari luar. Suatu senja, saat matahari tenggelam di balik bukit dan langit berwarna oranye dan ungu, Skolong mendekati pamannya dan bibinya.
“Terima kasih atas kebaikan dan perhatian kalian,” katanya pelan, menghindari tatapan mereka. “Tapi aku harus pulang.”
Paman dan bibinya saling bertukar pandang penuh pengertian. Mereka mengerti. Meski hati mereka sakit, mereka tidak berusaha menghentikannya. Diam-diam, mereka sudah merasakan jarak yang tumbuh di hati Skolong. Dengan keheningan yang berat, mereka mengangguk, dan pagi berikutnya, Skolong pergi—pikiran dan perasaannya rumit seperti akar dan sulur, tak pasti apakah ia lari dari tradisi atau hanya dari ketakutannya sendiri.
Skolong kembali ke rumah, tanpa menyadari bahwa seseorang mengikutinya dari kejauhan. Itu adalah Cue.
Meski ia tak memiliki kaki untuk berjalan, tekadnya tak tergoyahkan. Ia menggulingkan tubuh bulatnya melewati jalan setapak di hutan dan jalur-jalur berbatu, mendorong dirinya maju dengan keberanian yang sunyi. Perjalanan itu panjang dan melelahkan. Tubuhnya sering kali letih dan lemah. Setiap kali ia butuh beristirahat, ia berbaring di bawah naungan pohon besar, menenangkan napasnya perlahan. Dalam keheningan itu, ia menyanyikan lagu-lagu pelan kepada angin—nyanyian yang dipenuhi kerinduan dan cinta, suaranya membawa perasaannya untuk Skolong. Melodinya lembut dan menyentuh, bercerita tentang hati yang mengikuti bukan dengan langkah, tapi dengan keyakinan.
Setelah berhari-hari berjuang, Cue akhirnya tiba di pinggiran desa Skolong. Langit dipenuhi cahaya lentera dan udara bergema oleh tawa serta musik. Sebuah pesta sedang berlangsung—orang tua Skolong mengadakan perayaan untuk menyambut pulangnya putra tercinta. Orang-orang berkumpul dalam pakaian warna-warni, meja-meja dipenuhi hidangan, dan anak-anak bermain di bawah cahaya yang berkilauan. Cue mengamati dari kejauhan, hatinya bergetar oleh keinginan untuk turut serta, untuk dilihat bukan sebagai makhluk aneh, melainkan sebagai seorang gadis—mungkin, bahkan, sebagai gadis yang bisa dicintai oleh Skolong.
Ia menundukkan wajah dan membisikkan doa ke langit malam.
“Tuhan yang baik, aku tak pernah meminta kecantikan atau pujian. Tapi malam ini, kumohon… izinkan aku bergabung bersama mereka. Biarkan aku menjadi bagian dari dunia tempat mereka hidup. Berikan aku sebuah keajaiban.”
Dengan air mata yang mengering di pipinya, Cue meringkuk di bawah pohon dan perlahan tertidur.
Dalam mimpinya, seorang perempuan tua muncul di hadapannya. Wajahnya bijak dan lembut, dengan mata yang berkilau seperti sinar bulan. Suaranya halus, namun penuh kekuatan saat ia berbicara.
“Anak hutan, jiwamu murni dan suaramu jujur. Tinggalkanlah yang tak lagi milikmu. Bakar kulit lamamu, dan engkau akan terlahir kembali.”
Cue terbangun dengan gema mimpi itu masih bergema di benaknya. Ia tak sepenuhnya memahami maknanya, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorong untuk mengikuti pesan itu. Ia mengumpulkan ranting dan dedaunan kering, lalu menyalakan api kecil di bawah langit berbintang. Dengan hati yang gemetar, ia mulai membakar lapisan luar kulit kasarnya—sesuatu yang tak pernah ia berani lakukan sebelumnya.
Lalu, keajaiban pun terjadi.
Saat asap mengepul ke udara malam, tubuh Cue mulai berubah. Dari abu dirinya yang lama, tumbuhlah anggota tubuh baru—tangan dan kaki yang ramping dan kuat. Leher yang anggun menjulang ke atas. Wujudnya membentuk ulang menjadi sosok seorang gadis muda yang jelita, bersinar dan tak seperti siapa pun. Matanya berkilau seperti embun pagi, rambutnya mengalir seperti sutra di malam hari, dan senyumnya menyimpan kelembutan yang selalu hidup dalam nyanyiannya.
Cue kini tak hanya menjadi manusia—ia menjadi sosok yang memancarkan kecantikan yang memesona.
Hati Cue menari dalam sukacita. Ia memandang tangan dan kakinya—wujud barunya—dan membisikkan doa syukur ke langit, suaranya lembut penuh rasa takjub. “Terima kasih,” napasnya lirih, sementara air mata bening berkilau di matanya. Keajaiban yang dulu hanya menjadi impian, kini menjadi nyata. Dengan harapan di hati dan angin membelai rambutnya, ia melangkah—benar-benar melangkah—untuk pertama kalinya menuju rumah Skolong, tempat musik dan tawa masih menggema.
Saat ia memasuki cahaya hangat dari lampu-lampu minyak yang bergoyang lembut dalam semilir angin tropis, pesta mendadak terdiam. Aroma jagung bakar dan ikan bakar masih menggantung di udara, bercampur dengan wangi kemangi segar dan kayu cendana yang terbakar perlahan. Semua mata tertuju padanya—gadis menawan ini, berselimut kain ikat tenun tangan yang berkilau di bawah sinar lentera, siluetnya dihiasi motif-motif rumit khas pulaunya. Ia melangkah anggun, setiap jejaknya bergema seperti bunyi gong waning yang memudar di kejauhan. Senyumnya lembut namun menyimpan misteri, seperti irama rahasia sasando yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang lahir dari tanah itu.
Skolong, yang berdiri di tengah keramaian, langsung menyadarinya. Ia tertegun. Kecantikannya melampaui segala bayangan yang pernah ia miliki. Dipenuhi rasa penasaran, ia menyibak kerumunan dan berdiri di hadapannya.
“Selamat datang di rumahku,” ucapnya hangat, berusaha menenangkan napas. “Namaku Skolong.”
Cue tersenyum, matanya bersinar penuh emosi. “Aku tahu siapa kamu,” jawabnya, suaranya hangat bercampur tawa.
Skolong mengerjap kaget. “Kamu tahu? Tapi… bagaimana bisa? Kita belum pernah bertemu sebelumnya.”
Cue perlahan meletakkan tangan di dadanya. “Aku Cue.”
Senyum Skolong memudar. “Itu… tidak mungkin…” katanya, melangkah mundur, bingung.
Cue lalu merogoh kantong kecil yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong kulit yang gosong—kulit lamanya yang telah ia tinggalkan. Suaranya berubah lembut, nyaris seperti nina bobo. “Aku bermimpi,” ujarnya. “Seorang perempuan tua datang padaku. Ia menyuruhku membakar kulit matiku… dan aku melakukannya. Ini adalah sisa dari diriku yang dulu.”
Skolong menatap kulit itu, lalu wajah Cue, dan kembali ke kulit itu. Perlahan-lahan, kebenaran mulai meresap ke dalam hatinya. Ia melihat Cue—bukan hanya wujud barunya, tapi jiwa yang telah selalu ada. Jiwa yang telah mengikutinya melewati hutan, yang menyanyikan lagu di bawah bintang, dan yang mencintainya meski tak dikenal.
Matanya dipenuhi air mata. “Cue… benar-benar kamu.”
Dengan hati yang penuh cinta dan keajaiban, Skolong meraih tangan Cue—lembut, penuh rasa hormat—dan menggenggamnya di atas sehelai kain tenun tua, warisan dari ibunya. Cahaya lampu minyak menari di antara motif-motif benang yang menggambarkan leluhur dan alam.
“Maukah kamu berjalan bersamaku,” bisiknya, “dalam satu anyaman kehidupan… di hadapan rakyat kita, di bawah bintang-bintang?”
Jawaban Cue datang dengan tawa bahagia dan anggukan yang berurai air mata. “Ya,” katanya, hatinya melimpah. “Aku telah mencintaimu sejak lama.”
Maka, di bawah cahaya temaram pelita yang berkelip dan restu dari mereka yang dulu meragukan, Skolong dan Cue dipersatukan dalam sebuah perayaan yang ditenun oleh lagu dan tradisi. Cinta mereka, lahir dari tanah leluhur, diuji oleh perbedaan, dan diubah oleh kepercayaan serta keajaiban, mekar menjadi kehidupan yang selaras. Mereka membangun rumah yang dipenuhi musik dan kebaikan, tempat nyanyian lembut Cue menjadi nina bobo bagi anak-anak, dan kekuatan Skolong menjadi naungan bagi mimpi-mimpi mereka.
Dan ya, mereka hidup berbahagia selamanya. 🌙✨
🌺 Pesan Moral:
Cinta sejati melihat melampaui rupa. Dengan kesabaran, keyakinan, dan hati yang tulus, keajaiban bisa terungkap—bahkan dengan cara yang paling tak terduga.
Keindahan bukan hanya terletak pada rupa, melainkan pada jiwa. Seperti tanah di Nusa Tenggara Timur—kering di permukaan, namun kaya di dalam—begitulah perjalanan Cue.
✒️ Catatan Penulis:
Cerita ini mencerminkan kenyataan yang dihadapi banyak orang—bahwa cinta dan penerimaan sering diuji oleh penampilan dan tradisi. Keraguan Skolong bukan untuk dihakimi, melainkan untuk menunjukkan bagaimana harapan masyarakat dan rasa takut dalam diri bisa membentuk hati kita.
Perjalanan Cue mengingatkan kita bahwa keindahan dan nilai sejati terletak di balik apa yang tampak. Kadang dibutuhkan kesabaran, keyakinan, dan sedikit keajaiban untuk mengungkapkannya.
Terinspirasi oleh semangat tangguh masyarakat Nusa Tenggara Timur—di mana tanahnya mungkin tampak keras, namun menyimpan kekayaan yang dalam—kisah ini adalah penghormatan bagi tantangan sekaligus harapan yang hidup dalam diri kita semua.
No comments:
Post a Comment