Dahulu kala, di jantung Kalimantan Timur, berdirilah sebuah kerajaan besar dan makmur bernama Kutai Kertanegara. Negeri ini diberkahi oleh sungai yang luas, hutan hujan yang lebat, dan legenda-legenda yang berkilau laksana emas. Kerajaan itu diperintah oleh Raja Aji Maharaja, raja ketiga dalam garis keturunan bangsawan. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa damai dan kemakmuran. Istana megahnya berdiri anggun di tepi Sungai Mahakam, dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan batu-batu keramat yang berbisik tentang para leluhur.
Meskipun ia telah memiliki istana yang luas, dengan pelataran lebar, ukiran kayu yang megah, dan pilar-pilar yang menjulang tinggi, Raja Aji Maharaja merasa masih ada yang kurang. Istana itu, meskipun besar dan kokoh, belum mencerminkan kemuliaan yang ia bayangkan. Dinding-dindingnya menyimpan keheningan alih-alih nyanyian, dan aula-aulanya, meski penuh harta, belum memiliki pesona warisan hidup yang ia dambakan.
Dengan hati yang dipenuhi kerinduan diam, sang raja memanggil penasehat kerajaannya—seorang tetua bijak dengan janggut seputih awan dan mata tajam seperti elang. “Katakan padaku,” ujar sang raja sambil memandang dari balkonnya, “apa yang harus kulakukan agar istanaku benar-benar indah? Bukan hanya di mata manusia, tapi juga di mata langit dan roh-roh penjaga bumi?”
Sang penasihat kerajaan menundukkan kepala dengan hormat, suaranya tenang dan penuh kehormatan.
“Paduka Raja,” ucapnya, “hamba mendengar kisah dari para pedagang dan pengembara—bahwa di tanah Jawa ada para pemahat agung, seniman yang ukirannya mampu menghidupkan batu dan kayu. Karya mereka begitu indah hingga para dewa pun berhenti sejenak untuk mengaguminya. Mengapa tidak mengirim utusan ke Raja di Jawa untuk meminta bantuan para pemahat terbaik mereka agar menghiasi istana Paduka dengan keindahan yang agung?”
Raja Aji Maharaja mengelus janggutnya, matanya berbinar penuh minat. Bayangan istana yang dihiasi relief-relief mitologi, ukiran dewa-dewa, dan kisah alam semesta memenuhi pikirannya.
“Gagasan yang luar biasa!” serunya. Tanpa menunggu lama, ia mengutus sekelompok prajurit dan utusan terpercaya, membawa hadiah berupa emas, kain tenun halus, dan rempah-rempah langka sebagai tanda persahabatan. Tugas mereka: menyeberangi lautan dan menyampaikan permohonan raja dengan kehormatan dan kerendahan hati.
Sesampainya di tanah Jawa, para utusan disambut dengan penuh keramahan oleh Raja Jawa. Mendengar permintaan itu, ia mengangguk bijak dan bangga. “Benar,” katanya, “kami memiliki pemahat yang bukan hanya terampil, tetapi juga menyimpan kekuatan leluhur dalam jiwanya. Aku akan mengirim dua yang terbaik—mereka bersaudara, terikat oleh darah dan seni, dan nama mereka disebut dengan kekaguman di seluruh negeri.”
Maka berangkatlah kedua pemahat itu. Kedatangan mereka di Kerajaan Kutai Kertanegara menjadi perbincangan. Dengan jubah sederhana namun aura yang berkilau di bawah sinar matahari, kedua bersaudara itu membungkuk di hadapan Raja Aji Maharaja. Mata mereka memancarkan tujuan dan rahasia, seolah mereka telah melihat istana itu dalam mimpi mereka sejak lama. Sang raja menyambut mereka dengan tangan terbuka, tanpa mengetahui bahwa kehadiran mereka akan mengubah tidak hanya istananya—tetapi juga takdir kerajaannya.
Kedua pemahat itu berdiri dengan rendah hati di hadapan takhta, tangan mereka masih dipenuhi serbuk kayu dan debu batu. Salah satu dari mereka melangkah maju dan membungkuk hormat.
“Paduka Raja,” katanya, “patung seperti apa yang Paduka kehendaki?”
Raja Aji Maharaja bersandar di singgasananya yang berhias permata, suaranya menggema megah.
“Aku ingin patung-patung terindah di dunia,” jawabnya tegas. “Ukiran yang mencerminkan kejayaan kerajaanku, kebijaksanaan para dewa, dan keindahan surga itu sendiri.”
Kedua pemahat saling berpandangan—mata mereka serius namun berkilau penuh semangat. Tanpa menunggu lama, mereka langsung bekerja. Siang dan malam, istana dipenuhi suara lembut pahat bertemu batu, dan aroma kayu cendana memenuhi udara. Mereka memahat makhluk-makhluk agung, penjaga suci, sulur-sulur anggur yang melambai, dan bidadari langit yang seolah hidup saat tersentuh cahaya.
Hanya dalam satu siklus bulan, istana pun berubah total. Yang dulunya biasa, kini bersinar laksana tempat suci para dewa. Raja berjalan di sepanjang lorong dengan mata terbelalak dan hati penuh bangga.
“Kalian telah melampaui harapanku,” ucapnya. “Ini bukan sekadar seni—ini keajaiban.”
Penuh rasa syukur, Raja Aji Maharaja mengundang mereka untuk tinggal di istana sebagai tamu kehormatan. Ia menghadiahi mereka jubah sutra, baki emas, dan tanah di tepi sungai. Rakyat pun memuji mereka, menyebutnya “dua bersaudara yang membentuk surga.”
Namun, tidak semua merasa senang.
Sang penasihat kerajaan, yang dulu begitu dekat dengan sang raja, menatap dengan mata penuh iri. Hatinya terbakar cemburu—selama bertahun-tahun melayani dengan setia, ia tak pernah menerima kehormatan sebesar itu. Diam-diam, ia menyusun fitnah keji.
Suatu malam yang sunyi, ia membisikkan sesuatu ke telinga raja, “Paduka… maafkan hamba, tapi ada hal penting. Kedua pemahat itu… terlihat berperilaku tidak sopan kepada para dayang istana.”
Wajah sang raja seketika berubah. Sukacitanya lenyap, digantikan oleh kemarahan yang membara. Tanpa menyelidiki kebenaran, tanpa memanggil para pemahat untuk membela diri, ia mengangkat tangan dan berteriak,
“Usir mereka sekarang juga! Mereka telah menodai kehormatan istana!”
Maka malam itu juga, para pemahat yang dulu diagungkan, diusir diam-diam dari gerbang istana. Langkah mereka berat, hati mereka hancur, dan nama mereka tercoreng oleh dusta.
Namun, rasa iri sang penasihat kini berubah menjadi kebencian yang gelap. Baginya, pengusiran itu belum cukup. Ia ingin kedua pemahat itu lenyap dari dunia.
“Paduka,” bisiknya dengan racun dalam kata-kata, “jika mereka pergi, mereka akan melayani raja lain. Istana lain bisa jadi lebih indah dari milik Paduka. Apakah Paduka rela kehilangan kejayaan? Gantung saja mereka. Selesaikan semuanya.”
Raja yang sudah buta oleh amarah dan malu pun menghentakkan tinjunya ke singgasana.
“Kau benar!” serunya. “Pengawal! Tangkap mereka—gantung mereka sekarang juga!”
Para pengawal menyeret pemahat itu dengan kasar. Kabar segera menyebar, dan masyarakat berkumpul di lapangan terbuka. Dua tiang kayu tinggi telah berdiri, tali menggantung lemas tertiup angin. Orang-orang hanya bisa menatap, dengan wajah muram dan mata basah. Mereka menyayangi kedua pemahat itu—bukan hanya karena keahlian mereka, tapi karena hati mereka yang baik dan rendah hati. Namun semua hanya bisa diam. Rasa takut membungkam kebenaran.
Saat tali hendak dikencangkan, salah satu pemahat berhasil melarikan diri di tengah kekacauan. Ia berlari ke hutan, menghilang seperti bayangan di balik pepohonan. Namun saudaranya tidak seberuntung itu. Tangan dan kakinya terikat kuat. Ia tahu ajal telah menjemput.
Namun sebelum nafas terakhirnya terhenti, ia menatap langit dan berseru lantang,
“Sepuluh akan hancur, sebelas akan jadi rimba!”
Kerumunan bergidik. Mata sang pemahat bersinar—bukan karena takut, tapi seolah mengalir kekuatan kuno dari dalam dirinya. Ucapannya menggema seperti mantra. Lalu… senyap.
Waktu berlalu. Ramalan itu mulai menjadi kenyataan. Raja kesepuluh Kutai Kertanegara terlibat dalam peperangan besar. Kerajaannya runtuh, tak mampu bertahan. Ketika raja kesebelas naik takhta, kerajaan itu telah tiada. Istana megah ditelan ilalang dan pepohonan. Tentara digantikan oleh suara burung dan desir angin. Wilayah itu berubah menjadi hutan liar yang sunyi, namun penuh bisikan sejarah.
Raja Aji Maharaja, gelisah oleh kutukan itu, memberi perintah terakhir,
“Buang jasadnya ke Sungai Sapi. Biarkan arus membawanya pergi.”
Namun sesuatu yang aneh terjadi.
Hari demi hari berlalu. Minggu pun lewat. Tapi tubuh itu tidak membusuk. Ia mengambang tenang, seolah tertidur, tak tersentuh waktu. Orang-orang dari desa datang untuk melihat. Bisik-bisik menyebar, “Dia… adalah sosok suci.”
Dengan penuh hormat, mereka menguburnya di tepi sungai. Lama-kelamaan, sebuah makam didirikan. Makam itu menjadi tempat doa. Dan Sungai Sapi—yang dulu biasa saja—kini dianggap suci. Ia mengalir tak hanya dengan air, tapi dengan kenangan, keadilan, dan jiwa seorang pemahat yang dikhianati.
🧭 Pesan Moral
Cerita ini mengajarkan tentang bahaya iri hati, pentingnya kebijaksanaan dalam kepemimpinan, serta tragisnya akibat dari pengkhianatan. Kisah ini mengingatkan bahwa bakat sejati harus dihargai, dan keputusan yang tidak adil dapat menghancurkan kerajaan sekuat apa pun.
📌 Catatan Penulis
Kutai Kertanegara atau Kutai Kartanegara?
Dalam berbagai sumber, nama "Kutai Kertanegara" dan "Kutai Kartanegara" sering digunakan secara bergantian. Secara historis, Kutai Kertanegara mengacu pada kerajaan Hindu kuno yang kemudian berkembang menjadi kesultanan Islam. Kini, nama Kutai Kartanegara lebih sering digunakan sebagai nama wilayah administratif di Kalimantan Timur. Dalam cerita ini, kami menggunakan kedua nama tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan sejarah yang sama.
✨ Refleksi:
Kisah tentang Kerajaan Kutai Kartanegara dan bagaimana ia “menghilang” menjadi hutan dapat dilihat bukan sebagai sejarah literal, melainkan sebagai simbol dari siklus kehidupan sebuah peradaban—bahwa kejayaan, kekuasaan, dan kerajaan pada akhirnya bisa mengalami kemunduran dan perubahan. Legenda ini tidak selalu harus dipercaya secara harfiah, melainkan dimaknai sebagai cerminan nilai-nilai, pesan moral, dan kebijaksanaan yang diwariskan turun-temurun.
Meskipun cerita rakyat mengatakan bahwa kerajaan itu lenyap, kenyataannya masih ada bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan dan kejayaan Kutai Kartanegara, seperti Mahkota Emas Sultan Kutai yang hingga kini masih ada dan dijaga. Mahkota ini menjadi simbol nyata bahwa kerajaan tersebut benar-benar pernah ada dan meninggalkan jejak budaya yang kuat. Ini menunjukkan bahwa meskipun struktur politiknya mungkin sudah tidak ada, roh, identitas, dan warisan budaya kerajaan itu masih hidup dan bisa ditemukan dalam artefak, tradisi, dan ingatan kolektif masyarakat.
Refleksi ini mengajak kita untuk melihat legenda tidak sekadar sebagai cerita masa lalu, tetapi sebagai simbol yang menyampaikan pesan-pesan penting tentang kehidupan. Bahwa kekuasaan bisa runtuh, tetapi nilai, kebijaksanaan, dan semangat suatu peradaban dapat tetap bertahan—bahkan memberi pelajaran bagi generasi masa kini dan mendatang.
Dengan sudut pandang ini, kita tidak hanya menjaga warisan sejarah, tetapi juga menghargai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kisah-kisah lama. Kita belajar untuk tidak hanya bertanya “Apakah cerita ini benar?” tetapi juga “Apa makna yang ingin disampaikan?”
No comments:
Post a Comment