Datuk Laksamana dan Pengkhianatan di Tanjung Jati
Lancang Kuning >> Edisi Bahasa Inggris
Folklor dari Riau
Di sebuah desa pesisir bernama Bukit Batu di Bengkalis, angin laut bertiup lembut, membawa aroma asin dan bisikan ombak. Datuk Laksamana, pemimpin yang bijaksana dan dihormati, berdiri di tepi pantai, memandang ke laut dengan tatapan tajam.
Suatu sore, Datuk Laksamana memanggil dua panglimanya yang paling dipercayai, Panglima Umar dan Panglima Hasan, untuk membahas sebuah masalah yang mengusik ketenteraman desa. Kedua panglima tersebut segera berkumpul, siap menerima perintah.
Datuk Laksamana: “Ada kabar buruk. Perompak telah mengganggu nelayan kita di perairan dekat Senggoro. Ini tidak bisa dibiarkan. Panglima Umar, aku tugaskan kau memimpin misi ke Tanjung Jati untuk mengusir perompak itu."
Panglima Umar, terkenal karena keberaniannya, mengangguk tegas, siap melaksanakan tugas.
Panglima Umar: “Amanahmu akan aku jalankan, Datuk. Aku akan segera berangkat.”
Namun, di balik senyuman sopan, Panglima Hasan menyembunyikan niat jahat. Dia maju dengan sedikit ragu.
Panglima Hasan: “Datuk, mungkin sebaiknya aku ikut bersama Umar. Perjalanan ini bisa jadi sulit, dan mungkin memerlukan tenaga lebih dari satu panglima.”
Datuk Laksamana menggeleng perlahan.
Datuk Laksamana: “Tidak perlu, Hasan. Kau akan tinggal di sini untuk menjaga desa. Umar cukup mampu untuk menyelesaikan tugas ini sendiri.”
Panglima Hasan hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia sebenarnya telah merencanakan segalanya. Kabar tentang perompak di Tanjung Jati hanyalah akal bulusnya untuk menyingkirkan Umar, agar ia bisa mendekati istri Umar, Zubaidah—seorang wanita yang kecantikannya tersohor di desa.
Rencana Jahat Panglima Hasan
Ketika Panglima Umar bersiap untuk pergi, Zubaidah mendekatinya dengan wajah cemas.
Zubaidah: “Haruskah kau pergi begitu cepat, suamiku? Laut penuh bahaya, dan aku takut kau akan terancam.”
Umar tersenyum hangat, menggenggam tangan Zubaidah.
Panglima Umar: “Jangan khawatir, Zubaidah. Aku akan segera kembali. Ini hanya tugas kecil demi keamanan kita semua.”
Setelah memberikan pelukan terakhir, Umar berangkat menuju Tanjung Jati, tak mengetahui pengkhianatan yang menunggu di belakangnya. Setelah Umar pergi, Panglima Hasan mendekati Zubaidah dengan niat busuk.
Panglima Hasan: “Zubaidah, kau layak mendapatkan lebih dari sekadar seorang suami yang sering meninggalkanmu demi tugas. Bersamaku, kau akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.”
Zubaidah mundur dengan jijik, suaranya tegas dan tak gentar.
Zubaidah: “Aku setia kepada suamiku, Hasan! Kata-katamu tak lebih dari racun. Pergilah dan jangan ganggu aku lagi!”
Mendengar penolakan tegas Zubaidah, hati Hasan dipenuhi amarah. Ia merasa dipermalukan, dan kini dendamnya semakin membara. Bila ia tak bisa mendapatkan Zubaidah dengan cara baik-baik, ia akan menghancurkan segalanya.
Peluncuran Lancang Kuning
Beberapa hari kemudian, kapal kerajaan, Lancang Kuning, akan diluncurkan ke laut. Para warga desa berkumpul untuk menyaksikan momen penting tersebut. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Lancang Kuning tidak mau bergerak sedikit pun dari tempatnya.
Kerumunan mulai berbisik cemas, sementara Datuk Laksamana tampak heran. Melihat situasi ini, Panglima Hasan melangkah maju, berpura-pura khawatir.
Panglima Hasan: “Datuk, mungkin ada hal yang belum dilakukan. Dalam adat kita, kadang ada persembahan yang diperlukan agar sesuatu yang besar bisa terwujud."
Datuk Laksamana menatap Hasan penuh tanya, namun situasi mendesak membuat keputusan harus diambil.
Panglima Hasan: “Ada satu hal lagi yang bisa dipersembahkan, Datuk. Dengan ini, kapal akan bergerak.”
Datuk Laksamana mengangguk setuju, dan persembahan simbolis itu pun dilakukan. Setelah itu, kapal tersebut bergerak perlahan dan akhirnya meluncur dengan mulus ke laut.
Kembalinya Panglima Umar
Tak lama setelah peluncuran itu, Panglima Umar kembali dari Tanjung Jati. Dia bergegas menuju rumahnya untuk menemui Zubaidah, namun suasana sunyi menyambutnya. Dengan hati cemas, ia mencari tahu apa yang telah terjadi. Panglima Hasan, yang sudah mempersiapkan fitnah, mendekati Umar dengan ekspresi berpura-pura penuh belas kasihan.
Panglima Hasan: “Umar... aku sangat menyesal. Ada kesalahpahaman yang besar terjadi selama kau pergi.”
Umar, yang merasakan ada sesuatu yang tidak benar, mulai menyelidiki lebih dalam. Akhirnya, ia menemukan bukti bahwa Panglima Hasan telah memanipulasi peristiwa peluncuran kapal.
Pengungkapan Kebenaran
Dalam konfrontasi yang tenang namun tegas, Umar menghadapkan Hasan di depan Datuk Laksamana dan para tetua desa.
Panglima Umar: “Hasan telah berkhianat. Ia menggunakan adat sebagai alasan untuk meraih keuntungan pribadi.”
Hasan, yang terpojok, tidak dapat lagi menyembunyikan tipu muslihatnya. Para tetua desa pun memutuskan untuk mengeluarkan Hasan dari komunitas sebagai bentuk hukuman adat. Keputusan ini bukanlah hukuman fisik, tetapi sebuah pengasingan yang penuh dengan rasa malu dan penyesalan.
Referensi: riaumagz.com
Pesan Moral:
Pengkhianatan dan tipu daya dapat membawa kepada kejatuhan seseorang. Kejujuran, kesetiaan, dan integritas lebih dihargai daripada keuntungan pribadi, dan mereka yang bertindak dengan niat jahat pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Kepemimpinan dan penghormatan yang sejati diperoleh melalui tindakan yang benar dan kesetiaan terhadap tugas dan prinsip.
Tahukah Anda?
Dalam konteks sejarah transportasi laut, istilah Lancang merujuk pada kapal kecil maupun kapal besar, menggambarkan fleksibilitasnya sebagai kendaraan transportasi air. Lancang memainkan peran penting dalam tradisi pelayaran masa lalu, menghubungkan berbagai wilayah melalui jalur air.
Kata Kuning berarti "kuning" dalam bahasa Indonesia, yang sering diasosiasikan dengan kemegahan dan kebesaran. Jadi, nama Lancang Kuning secara harfiah berarti "Lancang Kuning" dan mencerminkan status kapal yang dihormati serta makna simbolis warna kuning sebagai tanda kebangsawanan.
Di daerah Riau, Lancang Kuning bukan hanya kapal bersejarah, tetapi juga simbol yang dihargai dari warisan lokal dan kebanggaan. Kapal kuning ini melambangkan kebesaran sejarah daerah tersebut dan warisan budaya yang terus ada. Ia berdiri sebagai lambang sejarah maritim dan pencapaian masyarakat Riau.
Lebih dari itu, Lancang Kuning dirayakan dalam ekspresi budaya Riau, termasuk musik dan perayaan, di mana kapal ini berfungsi sebagai simbol dan lagu yang mencerminkan kebanggaan dan signifikansi historis daerah tersebut.
Jadi, lain kali Anda mendengar tentang Lancang Kuning, ingatlah bahwa itu lebih dari sekadar kapal; ia adalah bagian yang hidup dari warisan maritim Riau dan simbol kebanggaan identitas budaya mereka!
Referensi: pustakaarsip.kamparkab.go.id
Cerita Lain:
Lambang Riau |
Lagu Lancang Kuning
Oleh: Sulaiman Sjafe'i
Sumber diadona.id
Lancang kuning
Lancang kuning berlayar malam hai
Berlayar malam
Lancang kuning
Lancang kuning berlayar malam hai
Berlayar malam
Haluan menuju
Haluan menuju ke laut dalam
Haluan menuju
Haluan menuju ke laut dalam
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning berlayar malam
Kalau nahkoda
Kalau nahkoda kuranglah paham
Kalau nahkoda
Kalau nahkoda kuranglah paham
Kuranglah paham
Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam
Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam
Lancang kunung berlayar malam
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning
Lancang kuning menentang badai
Menentang badai
Lancang kuning
Lancang kuning menetang badai
Menentang badai
Tali kemudi
Tali kemudi berpilit tiga*
Tali kemudi
Tali kemudi berpilit tiga*
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning berlayar malam
*Istilah "berpilit tiga" disini mengacu pada tiga unsur penting dalam tatanan budaya dan adat istiadat melayu, yaitu umara atau orang cerdik pandai, tetua adat dan ulama atau orang paham agama.
Sumber: kompasiana.com
No comments:
Post a Comment