The Legend of Pulau Kapal >> English Version
Cerita Rakyat dari Bangka Belitung
Dahulu kala, ada sebuah keluarga yang sangat miskin di Belitung. Orang tua memiliki seorang putra. Dia rajin dan patuh kepada orang tuanya. Sang ayah tidak memiliki ladang sendiri. Dia bekerja di ladang tetangganya.
Suatu hari, sang ayah pergi ke hutan. Dia ingin mengumpulkan beberapa kayu api. Dia telah mencari beberapa kayu bakar sejak pagi dan sudah hampir malam sang ayah belum menemukan kayu bakar. Dia tidak berdaya. Dia ingin pulang dan kembali ke hutan besok pagi.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ia melihat sebuah tongkat yang sangat indah. Itu bersinar terang. Sang ayah mengambil tongkat itu dengan hati-hati. Dia sangat penasaran mengapa tongkat itu bersinar terang. Dia membersihkan tongkat itu dengan kemejanya. Dan dia terkejut! Ada beberapa berlian yang menempel di tongkat itu.
Sang ayah segera membawa pulang tongkat itu. Dia menunjukkan tongkat itu kepada istri dan putranya. Mereka bahagia.
“Ayo kita jual tongkatnya, Ayah. Uangnya bisa kita pakai untuk membeli sebidang tanah. Kita bisa punya ladang sendiri,” kata sang putra.
"Saya setuju. Tapi di mana kita bisa menjual tongkat ini?" tanya sang ayah.
“Jangan khawatir, Ayah. Saya akan mengarungi laut dan pergi ke kota besar. Saya akan menjual tongkat itu dengan harga yang sangat mahal,” kata sang putra.
Sang ibu menyiapkan beberapa makanan untuk putranya. Dia menyuruhnya untuk berhati-hati. Putranya berjanji akan pulang dengan membawa banyak uang.
Anaknya bergabung dengan kapal besar. Dia tidak punya cukup uang sehingga dia bekerja di kapal. Pelayaran berlangsung selama berbulan-bulan. Dan akhirnya kapal itu berlabuh di kota besar. Anak itu melanjutkan perjalanannya untuk menjual tongkat itu.
Dia menawarkan tongkat itu kepada banyak orang. Namun, mereka tidak memberinya harga tinggi. Anak itu sangat ingin menjual tongkat itu dengan harga yang sangat mahal.
Seorang saudagar kaya mendengar tentang tongkat yang indah itu. Dia bertemu dengan putranya dan melihat tongkat itu. Pedagang itu sangat menyukai tongkat itu dan dia sangat ingin memilikinya. Dia tahu putranya ingin menjual mahal. Karena itu, dia menawarkan putranya sesuatu yang tidak bisa dia tolak. Pedagang itu menawarinya banyak uang dan kapal besar!
Putranya sangat senang. Dia menjadi orang kaya. Dia memutuskan untuk tinggal di kota besar untuk sementara waktu. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis dan dia, jatuh cinta padanya. Mereka akhirnya menikah.
Putra dan istrinya sedang berlayar. Dia ingin pulang. Orang tua mendengar bahwa putra satu-satunya mereka akan pulang. Mereka menunggu dengan tidak sabar.
Dan ketika kapal itu berlabuh, mereka memanggil putra mereka. Istri anak itu penasaran, "Siapa mereka? Mengapa mereka memanggil namamu?"
Anak itu merasa sangat malu dengan orang tuanya. Mereka sudah tua dan pakaian mereka lusuh.
"Saya tidak tahu siapa mereka. Penjaga! Minta mereka pergi dan tinggalkan kapal saya!" memerintahkan putranya.
Orang tuanya tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Mereka sedih. Mereka menangis. Sang ibu kemudian berdoa kepada Tuhan.
"Ya Tuhan, apakah dia benar-benar anakku? Jika dia anakku, tolong hukum dia. Dia melanggar janjinya kepada kita dan dia tidak memperlakukan kita dengan baik. Dia tidak mengakui kita sebagai orang tuanya," doa sang ibu.
Tuhan mendengar doanya. Tiba-tiba, ada badai besar. Hujan turun dengan deras. Kapal kehilangan keseimbangan. Dan akhirnya terbalik.
Badai berhenti dan langit cerah. Kapal masih dalam posisinya. Perlahan kapal itu berubah menjadi sebuah pulau. Orang-orang kemudian menamakan pulau itu sebagai Pulau Kapal. ***
Pesan Moral: Pentingnya Menghormati Orang Tua, Kesetiaan, dan Akibat dari Keserakahan dan Tidak Bersyukur.
Kisah ini menekankan pentingnya menghormati dan menghargai orang tua, kesetiaan terhadap keluarga, serta dampak dari keserakahan dan rasa tidak berterima kasih. Ini berfungsi sebagai pengingat untuk menghargai akar kita dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri kita melalui pendidikan kita.
Kapal Kayu di Tengah badai |
No comments:
Post a Comment