Search This Blog

Dewi Sri (Dewi Padi)

Kedermawanan Alam: Pengorbanan Dewi Sri dan Berkah Kehidupan


Dewi Sri >> English Version

Folklor dari Jawa Barat

Dahulu kala di svargaloka atau surga, ada dewa Batara Guru, yang dalam bahasa Jawa Hindu kuno dikaitkan dengan Siwa. Ia adalah dewa tertinggi yang memerintahkan semua dewa dan dewi untuk menyumbangkan kekuatan mereka untuk membangun istana baru Bale Pancawarna. Siapapun yang tidak mematuhi perintah ini dianggap pemalas dan akan kehilangan tangan dan kakinya. 

Mendengar perintah Batara Guru, salah satu dewa, Anta atau Ananta Boga, yaitu dewa Naga, sangat gelisah. Dia tidak memiliki lengan atau kaki dan dia tidak yakin bagaimana dia bisa melakukan pekerjaan itu. Hal ini disebabkan karena Anta berbentuk ular dan dia tidak bisa bekerja tanpa tangan dan kakinya. Dia meminta nasihat dari Batara Narada, yaitu adik dari Batara Guru. Namun sayangnya Narada juga bingung dengan nasib buruk yang dihadapai Anta. Anta menjadi sangat kesal dan ia menangis.

Saat dia menangis, tiga tetes air mata jatuh ke tanah. Ajaibnya, setelah menyentuh tanah tetesan air mata itu menjadi tiga butir telur indah berkilauan yang tampak seperti permata atau mutiara. Batara Narada menasihatinya untuk mempersembahkan "permata" itu kepada Batara Guru dengan harapan hadiah itu akan menenangkannya dan dia akan memberikan penilaian yang adil atas kecacatan Anta.

Dengan tiga telur di mulutnya Anta pergi ke istana Batara Guru. Dalam perjalanan ke sana dia didekati oleh seekor elang. Dalam beberapa tradisi, ada juga yang digambarkan sebagai burung gagak. Buruing itu yang mengajukan pertanyaan kepadanya. Anta terdiam dan tidak bisa menjawab pertanyaan karena dia memegang telur yang ada di mulutnya. Namun, burung itu mengira Anta sombong dan menjadi marah dan mulai menyerang Anta. Akibatnya satu butir telur jatuh ke bumi dan pecah. Anta dengan cepat mencoba bersembunyi di semak-semak tetapi burung itu menunggunya. 

Serangan kedua membuat Anta hanya memiliki satu butir telur untuk dipersembahkan kepada Batara Guru. Kedua telur yang pecah itu jatuh ke bumi dan menjadi babi hutan kembar Kalabuat dan Budug Basu. Kalabuat dan Budug Basu kemudian diadopsi oleh sapi Sapi Gumarang. Sapi Gumarang lahir dari seekor seekor sapi betina yang secara tidak sengaja meminum air kencing setan Idajil yang membuatnya hamil.

Akhirnya ia sampai di istana dan mempersembahkan tetesan air matanya yang berbentuk telur berkilau kepada Batara Guru. Tawaran itu diterima dengan baik dan Batara Guru memintanya untuk membuat sarang telur sampai menetas. Ajaibnya telur itu menetas menjadi bayi perempuan yang sangat cantik. Dia memberikan bayi perempuan itu kepada Batara Guru dan istrinya Batari Umah atau Uma.

Nyai Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang berikan kepadanya. Dia tumbuh menjadi putri yang sangat cantik di kerajaan surga. Setiap dewa yang melihatnya menjadi tertarik padanya, bahkan ayah angkatnya, Batara Guru pun mulai tertarik padanya. Melihat keinginan Batara Guru terhadap putri angkatnya, semua dewa menjadi khawatir. 

Batari Umah telah mengasuh dan menyusui Sanghyang Sri, dia dianggap sebagai putrinya, dan ini berarti dia adalah putri Batara Guru juga. Menikah dengan anak perempuan dianggap tabu. Khawatir skandal ini dapat merusak keharmonisan di surga, akhirnya para dewa yang dipimpin oleh Batara Narada bersekongkol untuk memisahkan Nyi Pohaci dan Batara Guru.

Untuk menghindari skandal dan untuk menjaga perdamaian di kerajaan surga, dan juga untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, Batara Narada memimpin para dewa untuk merencanakan pembunuhannya. Para dewa mengumpulkan semua racun terkuat dari seluruh dunia dan memasukkannya ke dalam wadah kecil. Racun itu kemudian diam-diam dimasukkan ke dalam minuman Sri. Dia meminum racun tersebut dan mati hampir seketika.

Kematiannya yang tiba-tiba telah menyebabkan rasa bersalah dan ketakutan di antara para dewa, karena mereka telah melakukan dosa membunuh seorang gadis yang tidak bersalah. Perbuatan zalim ini telah memicu murka alam semesta dan Sang Hyang Kersa, dewa tertinggi yang biasanya bungkam, menghukum para dewa dengan mengirimkan badai dan cuaca buruk yang aneh ke kerajaan surga. 

Dengan air mata ketakutan, para dewa mengambil tubuh Nyi Pohaci dari surga dan menguburkannya di suatu tempat di bumi di tempat yang jauh dan tersembunyi. Namun, karena kepolosan dan keilahian Sri Pohaci, makamnya menunjukkan tanda ajaib; karena pada saat penguburannya, tumbuh beberapa tanaman berguna yang selamanya bermanfaat bagi umat manusia. 

Dari kepalanya tumbuh kelapa; dari hidung, bibir, dan telinganya tumbuh berbagai rempah-rempah dan sayuran, dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai tanaman berbunga, dari buah dadanya tumbuh berbagai tanaman buah-buahan, dari lengan dan tangannya tumbuh jati dan berbagai pohon kayu, dari kemaluannya tumbuh Kawung yaitu Aren atau Enau, dari pahanya tumbuh berbagai jenis bambu, dari kakinya tumbuh berbagai umbi-umbian, dan terakhir dari pusarnya tumbuh tanaman yang sangat berguna yang disebut padi. 

Dalam beberapa versi, beras putih tumbuh dari mata kanannya, sedangkan beras merah tumbuh dari mata kirinya. Semua tanaman yang bermanfaat, penting untuk kebutuhan dan kesejahteraan manusia, dianggap berasal dari sisa-sisa tubuh Dewi Sri. Sejak saat itu, masyarakat pulau Jawa menghormatinya sebagai "Dewi Padi" yang baik hati dan kesuburan. Di Kerajaan Sunda kuno, dia dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat pertanian.


Pesan Moral: pengorbanan, siklus kehidupan, dan keberkahan alam

Pesan moral dalam kisah ini berkisar pada pengorbanan, siklus kehidupan, dan keberkahan alam. Ini menekankan pentingnya pengorbanan yang dilakukan demi kebaikan yang lebih besar, menunjukkan bagaimana pengorbanan Nyi Pohaci Sanghyang Sri menghasilkan munculnya berbagai tanaman bermanfaat yang bermanfaat bagi umat manusia. Narasi ini mendorong apresiasi terhadap anugerah alam dan pemahaman bahwa beberapa pengorbanan berkontribusi terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara luas.




No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection