Naga Besukih dan Manik Angkeran: Legenda Selat Bali tentang Kebaikan, Keserakahan, dan Tanggung Jawab
Folklor dari Bali
Pada zaman dahulu kala, di tanah kerajaan Daha, hiduplah seorang Brahmana agung bernama Empu Sidi Mantra. Ia dikenal sebagai orang yang bijak dan sakti, mampu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib, dan sering bermeditasi di pegunungan.
Namun, kebahagiaannya terusik oleh satu hal—anak semata wayangnya, Manik Angkeran.
"Anakku... Kau cerdas, punya masa depan cerah. Tapi mengapa berjudi seperti jalan yang kau pilih?"
— suara lembut Sidi Mantra saat melihat Manik yang kembali pulang dengan wajah murung dan baju compang-camping.
Manik Angkeran memang pandai, tetapi dia mudah tergoda oleh gemerlap dunia. Ia terjerat dalam perjudian, dan semakin hari, utangnya menumpuk. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia bahkan pernah menggadaikan barang-barang milik keluarga.
Sidi Mantra yang resah akhirnya bertapa di Gunung Agung. Dalam keheningan malam dan aroma kemenyan yang melayang, ia memanggil sosok agung penjaga gunung: Naga Besukih.
"Wahai Naga Besukih, penjaga tanah dan api, aku memohon pertolongan. Anakku tersesat di jalan dunia..."
— bisik Sidi Mantra dengan suara bergetar.
Dari kawah Gunung Agung, muncullah Naga Besukih, tubuhnya berkilauan seperti sisik intan dan matanya membara bagaikan bara api. Ia mendengar permintaan Sidi Mantra dan, dengan syarat berat, memberikan emas dan permata.
"Bawa ini pada anakmu, tapi ingat... Harta ini hanya untuk mereka yang mampu mengendalikan nafsu."
— suara Naga bergema di antara kabut gunung.
🐉 Godaan dan Pengkhianatan
Sayangnya, Manik Angkeran tak belajar dari kesalahannya. Tak lama setelah menerima harta, ia kembali ke meja perjudian. Hutangnya bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Putus asa, ia mencuri genta pusaka milik ayahnya—alat pemanggil makhluk gaib—dan mendaki Gunung Agung seorang diri.
"Hanya sekali lagi... Aku janji ini yang terakhir."
— gumam Manik, matanya penuh rasa takut sekaligus harap.
Dengan membunyikan genta itu, ia berhasil memanggil Naga Besukih. Naga itu muncul kembali, meski kali ini sorot matanya lebih tajam.
"Kau bukan ayahmu... Tapi aku tetap memberimu satu kesempatan."
— kata Naga, lalu melepaskan beberapa permata dari ekornya.
Namun, ketika Naga berbalik hendak kembali ke sarangnya, Manik melihat betapa berkilau ekor naga itu—dan keserakahan pun membutakan hatinya. Ia menebas ekor naga dan mencuri lebih banyak harta.
🔥 Hukuman Sang Naga
Jeritan marah menggema dari puncak gunung. Langit mendung. Awan gelap bergulung. Naga Besukih memburu Manik Angkeran yang berlari menuruni lereng dengan kantong penuh permata.
"Manusia tamak! Kau berani mengkhianati janji suci!"
— raung Naga sebelum semburan api menyelimuti tubuh Manik Angkeran, membakarnya hingga menjadi abu.
🧘♂️ Penebusan dan Perpisahan
Beberapa hari kemudian, Sidi Mantra menemukan gentanya di mulut gua Naga Besukih. Ia langsung berlutut dan menangis.
"Ampunilah anakku... Aku mohon, kembalikan dia. Aku yang akan menebus kesalahannya."
— kata Sidi Mantra dengan tulus, meneteskan air mata ke tanah yang menghitam.
Naga Besukih muncul kembali, tubuhnya masih terluka. Ia menunjuk bagian ekornya yang putus dan berkata,
"Jika kau dapat menyambung kembali ekorku dengan penuh niat dan kekuatan cinta... maka aku akan menghidupkan kembali putramu."
Sidi Mantra pun mengambil daun-daun suci dan rempah-rempah, menyatukan ekor naga dengan mantra dan air suci. Setelah semalam suntuk, luka Naga Besukih tertutup kembali.
Dan seperti janji yang diucapkan, Manik Angkeran bangkit dari abu, lemah dan gemetar.
"Ayah... aku... aku ingat semuanya."
— bisiknya penuh penyesalan.
Sidi Mantra tersenyum, tapi dalam sorot matanya ada kesedihan mendalam.
"Anakku... aku mencintaimu. Tapi kita tak bisa berjalan bersama lagi."
— katanya lembut, sebelum menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dengan suara mantra dan cahaya yang membelah bumi, air pun mengalir deras, memisahkan daratan.
Dari situlah, Selat Bali terbentuk—garis air yang menjadi batas antara dua dunia: yang bijak dan yang belajar, yang sakti dan yang sedang bertobat.
🌟 Refleksi Cerita
Cerita ini menyentuh tema:
-
Peringatan akan keserakahan
-
Cinta orang tua yang tulus namun tegas
-
Pertemuan antara dunia manusia dan makhluk penjaga alam
-
Pembentukan geografis melalui kekuatan spiritual
Pesan Moral: Konsekuensi Kebiasaan Buruk
Moral dari kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menghormati nasihat orang tua, menjauhi kebiasaan buruk, dan tidak tergoda oleh kekayaan semata. Juga, cerita ini menyoroti pentingnya bertanggung jawab atas perbuatan kita dan tidak mengambil yang bukan milik kita. Ini adalah pengingat akan konsekuensi dari tindakan kita, baik itu buruk atau baik, yang bisa memiliki dampak besar pada diri kita dan orang lain di sekitar kita.
Asal Usul Naga Besukih
Dalam cerita asal-usul Selat Bali, Naga Besukih digambarkan sebagai sosok yang memiliki kemiripan dengan Basuki dalam mitologi Hindu. Seperti Basuki, Naga Besukih diceritakan sebagai makhluk yang kuat dengan kekuatan mistisnya. Cerita tersebut menyebutkan bahwa Naga Besukih merupakan sosok yang tinggal di Gunung Agung, suatu tempat yang dianggap sakral. Meskipun versi cerita mengenai penampilan dan aksinya berbeda, kemiripan dengan Basuki dalam budaya Hindu menunjukkan pengaruh kuat dari mitologi India dalam cerita rakyat Bali.
Naga dan Gunung Berapi |
No comments:
Post a Comment