Cerita rakyat dari Bali
Wisnuloka adalah kerajaan megah di surga, sebuah dunia dengan keindahan dan kedamaian ilahi. Tempat ini hanya dihuni oleh para Dewa dan Dewi. Dibalut awan emas dan diterangi oleh cahaya abadi, Wisnuloka adalah tempat yang penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. Tidak ada manusia yang tinggal di sana, karena mereka berasal dari dunia fana di bawah — bumi. Batas antara Wisnuloka dan dunia manusia adalah sakral, dan hanya kehendak para Dewa yang dapat menghubungkan kedua dunia ini. Ini adalah tempat ketertiban ilahi di mana harmoni menguasai, atau setidaknya begitulah keadaan sebelumnya.
Namun baru-baru ini, kegelisahan merasuk dalam hati para Dewa dan Dewi. Pikiran mereka yang dahulu damai kini dibayangi kecemasan yang semakin membesar. Pandangan mereka tertuju ke bawah, ke sebuah kerajaan di bumi bernama Balidwipa. Berbeda dengan kerajaan manusia lainnya, Balidwipa diperintah oleh makhluk-makhluk raksasa yang sangat besar dan penuh keganasan. Raksasa-raksasa ini bukanlah brutu biasa, melainkan makhluk kuat yang memiliki kekuatan jauh melampaui pemahaman manusia. Sementara kerajaan manusia lain naik dan jatuh seiring waktu, Balidwipa tetap menjadi tanah kekuatan dan dominasi. Para Dewa mengawasi dengan penuh kekhawatiran, karena mereka tahu bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan dapat mendatangkan bencana.
Di jantung kekuatan Balidwipa terdapat rajanya, Kala Rau. Dia bukanlah raksasa biasa — dia adalah yang terbesar, terkuat, dan yang paling ditakuti di antara semuanya. Rangka tubuhnya yang luar biasa menjulang tinggi di atas kaumnya, suaranya menggema seperti guruh, dan amarahnya sebuas badai yang mengamuk. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar di bawah kakinya. Raksasa takut padanya, dan manusia membisikkan namanya dengan rasa takut. Kekejamannya legendaris, karena ia memerintah dengan tangan besi, menuntut ketaatan dari semua yang hidup dalam bayangannya. Bahkan para Dewa dan Dewi, dari tempat aman Wisnuloka, dapat merasakan ancaman yang semakin besar dari kekuasaannya. Sesuatu harus dilakukan, karena jika dibiarkan tanpa pengawasan, pemerintahan teror Kala Rau bisa meluas jauh melampaui Balidwipa, dan tidak ada yang akan aman dari amarahnya — bahkan langit sekalipun.
Kala Rau, raja yang menakutkan dari Balidwipa, telah memantapkan hatinya pada Dewi Ratih, Dewi yang paling cantik di antara semuanya. Kecantikannya konon sebanding dengan cahaya bulan purnama, dan kelembutan gerakannya mempesona semua yang memandangnya. Dia tidak hanya dikenal karena kecantikannya, tetapi juga karena perannya sebagai Dewi Bulan, simbol kemurnian, kebijaksanaan, dan ketenangan. Kehadirannya membawa kedamaian baik di surga maupun di bumi. Namun bagi Kala Rau, dia lebih dari sekadar simbol — dia adalah hadiah yang harus dimenangkan. Dia percaya bahwa dengan Dewi Ratih di sisinya, kekuasaannya akan tak tertandingi, dan seluruh keberadaan akan tunduk padanya. Dengan pikiran ini, dia mengirimkan sebuah tawaran besar kepada Dewi Ratih, menawarkan gelar ratu dan berjanji untuk menjadikannya dewi yang paling dihormati di Balidwipa maupun Wisnuloka.
Namun hati Dewi Ratih tetap murni dan teguh. Dia tidak mencari kekuasaan, dan tidak terpengaruh oleh janji-janji kekayaan atau status. Cinta sejatinya tidak dapat dibeli, apalagi oleh seorang tiran seperti Kala Rau. Dengan kelembutan dan keteguhan, dia menolak tawaran itu. Kata-katanya jelas, namun penuh kebaikan, karena dia tidak ingin memprovokasi Kala Rau. "Aku tidak bisa menerima tawaranmu, Kala Rau. Cinta sejati tidak bisa dipaksakan, apalagi diminta." Kata-kata ini, meski jujur, menusuk harga diri Kala Rau seperti tombak. Tak seorang pun pernah berani menolaknya. Hatinya, yang dulunya dipenuhi dengan ketertarikan, kini dipenuhi dengan kemarahan. Suaranya menggelegar melalui Balidwipa, mengguncang gunung-gunung dan membuat binatang buas lari ketakutan. Didorong oleh kemarahan dan kehinaan, dia bersumpah untuk membalas dendam.
"Jika dia tidak datang padaku dengan sukarela, maka aku akan mengambil segalanya darinya!" serunya. Matanya menyala dengan kebencian saat dia mengarahkan pandangannya ke Wisnuloka.
Di Wisnuloka, ketakutan menyebar dengan cepat. Para Dewa dan Dewi, yang dulunya hidup dalam kedamaian di rumah surgawi mereka, kini menghadapi ancaman invasi. Kecemasan mereka semakin meningkat dengan setiap kisah tentang amarah Kala Rau yang terdengar. Mereka berkumpul di aula besar Dewa Wisnu, raja mereka, mencari petunjuk dan perlindungan. Suara mereka bersahutan dalam kepanikan.
"Apa yang akan kita lakukan jika dia menyerang? Dia terlalu kuat! Tidak ada di antara kita yang bisa melawan dia!" seru seorang Dewi.
"Raksasa-raksasanya akan memanjat gerbang surga! Mereka akan menghancurkan kita semua!" tambah yang lain.
Namun Dewa Wisnu tetap tenang, matanya tajam penuh kebijaksanaan. Dengan mengangkat tangannya, dia menenangkan kerumunan.
"Jangan takut," katanya dengan suara yang tegas namun menenangkan.
"Aku sudah menyiapkan solusi." Dari belakangnya, sebuah cawan emas yang bersinar muncul, memancarkan aura ilahi.
"Inilah tirta amerta — air kehidupan. Barangsiapa yang meminumnya, tidak akan pernah mati. Bahkan kekuatan Kala Rau pun tidak akan dapat merenggut nyawa kalian jika dilindungi oleh kekuatan air ini."
Kata-kata Dewa Wisnu mengisi hati para Dewa dan Dewi dengan harapan, karena keabadian berarti kebebasan dari ketakutan. Namun, meskipun mereka menaruh keyakinan pada rencana Dewa Wisnu, tak ada yang dapat memprediksi kekuatan gelap yang sudah mulai menggerakkan diri melawan mereka. Saat para Dewa berdiskusi tentang nasib mereka, mata licik Kala Rau mengintai dari jauh, pikirannya terfokus pada satu hal yang dapat memberinya kekuatan tak tertandingi. Kala Rau telah menargetkan tirta amerta. Karena siapa pun yang meminumnya akan memiliki kekuatan kehidupan abadi — kekuatan yang lebih dia inginkan daripada apa pun juga.
Salah satu raksasa, seorang mata-mata yang licik dan telinga tajam bernama Janggula, secara tak sengaja mendengar bisikan para Dewa dan Dewi yang membahas air sakral itu. Telinganya yang besar dan lancip bergerak-gerak saat ia mendengarkan dari bayang-bayang awan terdekat, matanya menyipit dengan niat nakal. Menyadari kekuatan yang terpendam dalam air suci itu, ia segera mengambil tindakan. Dengan langkah yang menggelegar, ia bergegas kembali ke Balidwipa untuk menyampaikan kabar itu kepada Raja Kala Rau.
Janggula, terengah-engah, membungkuk di hadapan rajanya dan melaporkan, "Tuhanku, aku membawa kabar besar! Para dewa memiliki senjata rahasia — tirta amerta, air kehidupan. Siapa pun yang meminumnya tak akan pernah mati."
Mata Kala Rau melebar, dipenuhi ambisi liar. Senyum jahatnya meregang dari ujung ke ujung, memperlihatkan gigi tajam dan bergerigi.
"Ha... ha... ha! Jadi itu rahasia mereka, ya?"
Tawa gemuruhnya menggema di seluruh kerajaan Balidwipa seperti guntur yang jauh. Pikirannya berpacu dengan rencana dan strategi, dan matanya menyala dengan tekad yang baru ditemukan.
"Dengan tirta amerta, aku akan menjadi abadi! Bahkan para dewa pun tak akan bisa menghentikanku. Dan Dewi Ratih..." Dia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya rendah dan mengancam.
"Dia tak akan punya pilihan selain menjadi ratuku." Tawa gemuruhnya semakin keras ketika ia membayangkan dirinya, dimahkotai dengan kemuliaan, memerintah Wisnuloka dan Balidwipa sekaligus.
Dewa Wisnu mengumpulkan semua dewa dan dewi di istana agung, suaranya tenang dan penuh wibawa saat ia memerintahkan mereka untuk meminum air suci. Sebuah kendi emas berisi tirta amerta, air kehidupan, terletak di depannya. Satu per satu, setiap dewa dan dewi maju, meminum dalam-dalam dari cawan itu. Setiap tegukan membawa perasaan kesegaran dan vitalitas yang luar biasa, seolah-olah esensi kehidupan itu sendiri mengalir melalui tubuh mereka. Udara di ruangan terasa lebih ringan, dipenuhi dengan kekuatan baru dan harapan.
Kini giliran Dewa Kuwera, dewa kekayaan, untuk meminum air tersebut. Namun, saat ia melangkah maju, Dewa Wisnu tidak bisa mengusir perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dewa Kuwera terlihat berbeda—ia lebih besar, menjulang di atas yang lain, dan bau aneh yang tidak sedap menyelubungi dirinya. Kehadirannya terasa mengganggu, dan Dewa Wisnu mengerutkan kening, merasakan bahwa ada yang tidak beres. Apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa dewa yang berdiri di depannya itu bukanlah Dewa Kuwera sama sekali, melainkan Kala Rau yang menyamar, kecerdikan tipuan yang bahkan berhasil menipu Dewa Wisnu yang bijaksana.
Saat Dewa Kuwera palsu hendak meminum air suci itu, Dewa Kuwera yang asli tiba tepat waktu untuk mengungkapkan penipuan tersebut. Dewa Wisnu, yang segera mengenali bahaya, menarik busur ilahi-nya dan dengan cepat melepaskan anak panah, yang tepat mengenai penyamar itu. Tembakan itu akurat, dan bentuk palsu Dewa Kuwera hancur menjadi ketiadaan. Sisa-sisa tubuhnya dijatuhkan ke Bumi, di mana mereka berubah menjadi sebuah lesung yang sederhana, alat penumbuk yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari—sebuah pengingat akan akibat dari penipuan.
Namun, dahaga Kala Rau akan keabadian belum terhalang. Dia berhasil meminum air tersebut, dan meskipun tubuhnya hancur, kepalanya tetap hidup, membawa kekuatan kehidupan abadi. Dewa Wisnu, yang memahami ancaman yang terus berlanjut, dengan cepat mengirimkan kepala tersebut terbang ke langit, di mana ia akan tetap berada, melayang jauh di luar jangkauan para dewa. Di sana, ia akan menjadi simbol abadi dari keinginan Kala Rau yang tak pernah padam untuk kekuasaan dan keabadian.
Kepala Kala Rau tetap melayang di langit, terus mencari Dewi Ratih. Ketika akhirnya ia melihat sosok sang dewi, ia berusaha untuk menangkapnya, namun karena tidak memiliki tubuh, ia hanya bisa menggunakan mulutnya untuk mencoba menelannya. Meskipun demikian, ia berhasil—Dewi Ratih pun tertelan utuh.
Namun, Kala Rau, yang hanya berupa kepala, tidak memiliki kekuatan penuh, sementara Dewi Ratih dengan segala kekuatan ilahinya, mampu meloloskan diri. Ketika peristiwa itu terjadi, bulan pun berubah gelap—sebuah simbol dari perjuangan sang dewi. Sebab, Dewi Ratih adalah perwujudan dari bulan itu sendiri.
Melihat bulan yang gelap, umat manusia di Bumi merasa gelisah, dan mereka mulai memukul lesung, alat yang menjadi bagian dari tubuh Kala Rau. Setiap pukulan yang mereka berikan seolah membawa rasa sakit bagi makhluk itu, sehingga kala itu ia terpaksa menjauh. Cerita ini, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjelaskan mengapa, pada saat gerhana bulan, sebagian orang masih memukul lesung. Mereka percaya bahwa Kala Rau akan selalu mengejar Dewi Ratih, selamanya berusaha menggapainya di langit yang luas.
Persatuan dan Kebijaksanaan dalam Menghadapi Ancaman
Moral dari cerita ini berfokus pada kekuatan persatuan, kebijaksanaan, dan keberanian dalam menghadapi kesulitan. Meskipun ancaman besar yang ditimbulkan oleh Kala Rau sangat menakutkan, Dewa Wisnu dan para dewa lainnya menunjukkan kekuatan kerja sama dan kepemimpinan bijaksana, dengan menggunakan tirta amerta yang sakral untuk melindungi kerajaan mereka. Kemampuan mereka untuk bertindak dengan tegas dan menjaga kedamaian mencerminkan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi tantangan.
Lebih dari itu, cerita ini menekankan pentingnya keberanian dalam menghadapi bahaya, mengajarkan kita bahwa dalam masa krisis, kebijaksanaan dan persatuan dapat mengarah pada kemenangan dan keadilan.
Terasa nyata, bukan mitos 🙏
ReplyDelete