Raden Patah: Pewaris Tersembunyi Majapahit dan Perjalanannya dalam Pengampunan, Kebijaksanaan, dan Takdir
Folklor dari Yogyakarta
Prabu Brawijaya adalah raja perkasa dari Majapahit. Dengan kekuasaan yang meliputi seluruh kepulauan, ia memerintah dengan bijak dan tegas, tetapi di dalam istana, konflik berkecamuk yang bahkan sulit diselesaikan oleh Sang Raja. Permaisuri, istrinya, merasa terbakar oleh rasa cemburu dan marah yang tumbuh dalam hatinya karena Sang Raja memberikan perhatian lebih kepada salah satu selirnya, Ratu Mayangsari, yang kecantikannya terkenal dan, yang lebih menyakitkan bagi Sang Permaisuri, bahkan melebihi kecantikannya sendiri. Sang Raja sangat menyayanginya, dan ini hanya membuat kebencian Sang Permaisuri semakin besar.
"Aku harus menyingkirkan dia dari hadapanku!" bisik Sang Permaisuri dengan marah suatu malam, berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan kepalan tangan. "Keberadaannya adalah penghinaan bagi gelarku."
Amarahnya bertambah setiap hari, terutama setelah ia mengetahui bahwa Ratu Mayangsari sedang mengandung. Bagi Sang Permaisuri, anak ini bukan hanya ancaman terhadap pengaruhnya, tetapi juga pengingat akan kecintaan Sang Raja pada wanita lain. Sementara itu, Prabu Brawijaya, yang menyadari permusuhan istrinya serta kondisi Ratu Mayangsari yang lemah, khawatir akan keselamatan ibu dan anak itu di dalam istana.
Suatu malam, Prabu Brawijaya memanggil salah satu penasihat yang paling ia percayai, seorang lelaki tua bijaksana bernama Ki Juru Sawah, yang telah melayani istana dengan setia selama bertahun-tahun. Mereka bertemu diam-diam, tersembunyi dari mata dan telinga yang penasaran.
"Ki Juru Sawah," mulai Sang Raja dengan suara penuh keheningan, "aku percaya padamu lebih dari siapa pun. Aku butuh engkau untuk melindungi seseorang yang sangat berharga bagiku. Ratu Mayangsari sedang mengandung anakku, dan aku khawatir mereka tidak aman di dalam tembok istana ini. Bisakah kau membawanya ke desamu dan merawatnya sampai anak itu lahir?"
Lelaki tua itu mengangguk, wajahnya memancarkan kesetiaan dan keprihatinan. "Saya akan melakukan seperti yang Paduka perintahkan. Saya akan memperlakukan mereka seperti keluarga saya sendiri, dan anak itu hanya akan mengenal kasih sayang dan rasa hormat."
Dengan hormat, Ki Juru Sawah membawa Ratu Mayangsari dalam perlindungannya, diam-diam membawanya keluar dari istana. Mereka menempuh perjalanan melalui hutan lebat dan menyeberangi sungai hingga sampai di sebuah desa terpencil di mana pengaruh Sang Raja hampir tidak ada, memberikan ketenangan dan kerahasiaan yang dibutuhkan. Di sana, dikelilingi alam, Ratu Mayangsari melahirkan seorang putra. Ia menamainya Raden Patah, nama yang dipilih dengan harapan anak itu akan tumbuh kuat dan tak tergoyahkan, bahkan menghadapi segala cobaan.
Tahun demi tahun berlalu, dan Raden Patah tumbuh menjadi anak yang baik hati dan bersemangat di bawah pengawasan Ki Juru Sawah. Rasa ingin tahunya tak terbatas, dan kemampuannya segera menjadi jelas. Ki Juru Sawah mengajarinya banyak hal, mulai dari seni bela diri hingga kebijaksanaan alam, mempersiapkannya untuk masa depan yang bahkan tidak bisa dibayangkan oleh anak itu sendiri. Namun, ada satu hal yang Ki Juru Sawah tidak pernah ceritakan kepada Raden Patah, yaitu jati dirinya yang sebenarnya—bahwa ia adalah putra seorang raja.
Suatu sore yang hangat, Raden Patah dengan sifat penasarannya yang tak pernah padam, mendekati Ki Juru Sawah. "Kakek, ke mana kakek pergi saat mengunjungi kota? Bolehkah aku ikut kali ini?"
Ki Juru Sawah ragu-ragu, tetapi melihat ketetapan hati di mata anak itu. Raden Patah selalu ingin melihat dunia yang lebih luas, dan Ki Juru Sawah tahu saatnya telah tiba. "Baiklah, Raden Patah. Tapi ingat, istana adalah tempat yang penuh kekuatan dan misteri. Kau harus tetap di dekatku dan tidak berkeliaran."
Dengan penuh kegembiraan, Raden Patah menemani Ki Juru Sawah dalam perjalanan tersebut. Anak itu terkagum-kagum melihat kota yang sibuk, gerbang tinggi, dan luasnya halaman istana, semua pemandangan yang hanya ia dengar dalam cerita. Meski kagum, ia ingat kata-kata Ki Juru Sawah dan tetap dekat saat mereka mendekati istana. Namun, ketika Ki Juru Sawah pergi untuk menyampaikan pesan, rasa ingin tahu Raden Patah menguasai dirinya. Ia berjalan menuju sebuah aula megah di mana patung-patung leluhur kuno dan simbol kekuasaan menghiasi pintu masuk.
Tertarik oleh kekuatan yang tak terlihat, ia memasuki ruangan besar—sebuah ruang yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Artefak emas berbaris di dinding, dan sebuah gong besar berdiri di tengah, memancarkan aura misteri. Didukung oleh naluri, Raden Patah mengulurkan tangan dan memukul gong itu.
Suara gong menggema ke seluruh istana, bergema sepanjang koridor dan mengejutkan semua orang di dalamnya. Sang Raja sendiri merasakan getaran di kamarnya dan tahu bahwa seseorang yang luar biasa telah memukul gong itu, suatu kehormatan yang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki darah kerajaan.
"Pengawal!" perintah Sang Raja, suaranya penuh urgensi. "Temukan siapa yang memukul gong itu dan bawa mereka ke hadapanku!"
Para pengawal bergegas ke ruangan itu dan menemukan seorang anak muda berdiri dengan berani di samping gong, wajahnya bersinar dengan campuran kekaguman dan kebanggaan. Mereka membawanya ke hadapan Sang Raja, yang ekspresinya berubah dari marah menjadi penasaran ketika ia menatap anak itu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Prabu Brawijaya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Dan siapa yang membawamu ke istana ini?"
Raden Patah menatap Sang Raja, ekspresinya jujur dan tanpa rasa takut. "Namaku Raden Patah. Aku datang ke sini bersama kakekku, Ki Juru Sawah."
Sang Raja berbalik, dan seolah-olah dipanggil oleh takdir, Ki Juru Sawah melangkah maju, menundukkan kepala dengan rendah hati. "Paduka," ia memulai, suaranya gemetar dengan rasa hormat dan sedikit kesedihan, "anak ini bukan hanya cucuku. Ia adalah putra Paduka. Ibunya, Ratu Mayangsari, melahirkannya secara diam-diam dan telah merawatnya di desa, tersembunyi dari bahaya di sini."
Keheningan mendalam memenuhi aula saat Sang Raja menatap anak di depannya, melihat pantulan masa mudanya sendiri dan ciri-ciri Ratu Mayangsari pada wajah Raden Patah. Dipenuhi emosi, Prabu Brawijaya berlutut, suaranya bergetar dengan rasa bersalah dan kelembutan. "Anakku... bisakah kau memaafkanku? Aku gagal melindungi ibumu dan melihatmu tumbuh."
Pada saat itu, semua penghalang runtuh. Sang Raja memeluk putranya, dan Raden Patah, merasakan kehangatan dari sosok ayahnya untuk pertama kali, menutup matanya, diliputi perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Janji Sang Raja sederhana namun tegas: ia tidak akan pernah berpisah dari putranya dan Ratu Mayangsari lagi.
Gerbang istana dibuka untuk menyambut ibu dan anak itu. Mulai hari itu, Raden Patah tumbuh di bawah bimbingan ayahnya, belajar tentang kepemimpinan dan kebijaksanaan yang suatu hari akan menjadikannya seorang pemimpin besar. Seiring ia tumbuh, reputasinya menyebar, dan ia dikenal di seluruh negeri, tidak hanya sebagai putra raja, tetapi juga sebagai sosok yang mulia dan kuat yang ditakdirkan untuk memimpin rakyatnya dengan keberanian, kasih sayang, dan keteguhan yang mencerminkan warisannya.
Pesan Moral
Cerita ini menyampaikan pesan kuat tentang pengampunan, ketahanan, dan takdir. Meskipun lahir secara tersembunyi, asal-usul sejati dan jiwa mulia Raden Patah pada akhirnya terbukti. Perjalanannya menunjukkan bahwa asal-usul seseorang tidak menentukan nasibnya; sebaliknya, kekuatan batin, kebijaksanaan, dan kebaikan yang membentuk jalannya. Pengakuan Raja terhadap putranya juga menegaskan pentingnya tanggung jawab, sementara penerimaan Raden Patah atas permintaan maaf ayahnya menunjukkan kekuatan dari pengampunan, memupuk persatuan dan kasih sayang di atas kebencian.
No comments:
Post a Comment