Kisah Jantur dan Menur: Pelajaran Pengampunan dan Persatuan Keluarga dari Jawa Timur
Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, hiduplah saudara kembar Jantur dan Menur. Jantur, si kakak, dikenal karena kemalasannya dan kemarahannya yang cepat. Saat marah, dia sering melontarkan kata-kata kasar dan perilaku buruk. Sebaliknya, adiknya Menur adalah gadis yang baik hati, rajin, dan sabar. Dia selalu membantu orang tua mereka dan terus-menerus mengingatkan Jantur untuk memperbaiki perilakunya.
Namun, sikap Jantur tidak berubah. Dia tetap sering mengumpat Menur, membuat adiknya sangat sedih. Suatu hari, setelah kemarahan Jantur yang sangat kasar, Menur tidak bisa menahan air matanya. Ketika orang tua mereka pulang, Menur menceritakan perilaku Jantur dengan penuh rasa sakit hati. Ayah mereka mencoba menasihati Jantur, tetapi sikap keras kepala Jantur membuatnya mengabaikan nasihat tersebut. Perilakunya semakin memburuk, dan tidak lama kemudian, dia meminta keluarganya meninggalkan rumah. Permintaan itu mengejutkan dan membuat mereka sangat sedih, karena mereka tidak pernah membayangkan Jantur akan mengusir mereka.
Dengan berat hati, orang tua dan Menur meninggalkan rumah, meninggalkan Jantur sendirian. Awalnya, Jantur menikmati kesendirian itu, merasakan kebebasan untuk melakukan apa saja yang dia mau. Dia menghabiskan uang orang tuanya untuk hal-hal yang tidak berguna, dan ketika uang itu habis, dia menjual ternak mereka—sapi, kambing, ayam—meninggalkan dirinya dengan rasa penyesalan.
Sementara itu, Menur dan orang tua mereka harus memulai dari awal. Mereka bekerja keras dan berhasil membangun rumah baru serta memperoleh ternak baru. Kerja keras mereka membuahkan hasil, dan mereka menjadi makmur kembali.
Sedangkan Jantur, hidupnya semakin buruk. Dengan kekayaan keluarga yang hilang dan keengganannya untuk bekerja, dia akhirnya menjual harta terakhirnya—rumah mereka. Uangnya segera habis, dan Jantur menjadi miskin. Kesehatannya menurun, tubuhnya semakin kurus, dan kulitnya penuh dengan bercak-bercak hitam yang menyakitkan.
Jantung yang bingung akhirnya tiba kembali di rumah keluarga mereka. Menur sedang di luar rumah menyapu lantai. Awalnya, mereka tidak saling mengenali. Menur mengira Jantur adalah seorang pengemis.
“Apakah kamu lapar? Aku punya makanan,” tawar Menur dengan tulus.
Jantur dengan senang hati menerima makanan itu, masih tidak menyadari identitas adiknya. Namun, Menur yang pertama kali mengenalinya.
“Jantur? Apakah itu kamu? Ayah, Ibu, Jantur ada di sini!” teriak Menur.
Orang tua mereka berlari keluar, dan ibu mereka berkata, “Jantur, apa yang terjadi padamu?”
Jantur, terkejut dan merasa terharu, menjawab, “Ibu, apakah benar kamu? Ayah, Ibu, Menur! Tolong maafkan aku. Aku dihukum oleh nasib—aku sakit, miskin, dan tidak punya rumah. Aku menyesal atas segala perbuatanku dan berjanji akan menjadi orang yang lebih baik.”
Dengan air mata kebahagiaan dan kelegaan, keluarganya memaafkannya. Kesehatan Jantur perlahan membaik, dan sesuai janjinya, dia berubah menjadi individu yang baik dan rajin. Keluarga tersebut bersatu kembali, dan kehidupan Jantur berubah selamanya oleh pelajaran yang telah dia pelajari.
Pesan Moral:
"Kisah Jantur dan Menur mengajarkan kita nilai kerendahan hati, rasa hormat, dan pentingnya keluarga. Cerita ini mengingatkan kita bahwa perlakuan buruk terhadap orang lain dapat menyebabkan kemunduran kita sendiri, namun mengakui kesalahan dan meminta maaf dapat membawa penebusan dan penyembuhan. Kekayaan sejati terletak pada kebaikan dan persatuan keluarga."
No comments:
Post a Comment