Bab 6: Perubahan Musim
English Version: Shifting Seasons
Bulan-bulan telah berlalu sejak hiruk-pikuk Pasola, dan lanskap Sumba pun berubah mengikuti peralihan musim. Ladang yang dulunya kering dan berwarna emas kini telah berganti menjadi hijau pekat seiring datangnya musim hujan. Irama kehidupan di desa mulai melambat, memberi ruang bagi penduduk Sumba untuk merawat rumah mereka dan bersiap menghadapi tantangan yang datang bersama musim penghujan.
Bagi Arya, kehidupan kini terasa lebih tenang namun tetap penuh makna. Bersama dengan Merapu, kuda hitamnya, dan sahabatnya, Raja, Arya mengikuti alunan musim yang lebih lambat ini. Gema Pasola terasa seperti kenangan yang mulai jauh, seolah-olah debu dan intensitas festival itu telah tersapu oleh hujan pertama. Namun, semangatnya masih terasa di dalam diri mereka—terutama bagi Arya, dalam momen-momen sunyi ketika ia termenung sendiri.
Suatu sore yang basah, Arya dan kuda setianya, Merapu, berlindung di sebuah kandang kayu kecil. Bersama mereka ada Raja, seekor kuda yang menawan dengan bulu lebih terang, milik seorang penduduk desa lain, namun sering terlihat bersama Merapu. Kedua kuda itu tampak memiliki ikatan yang tenang, seolah-olah mereka telah menempuh banyak perjalanan bersama. Meskipun Raja bukan miliknya, Arya merasakan kedekatan yang mendalam antara kedua hewan itu dan menghargai kebersamaan mereka di saat-saat seperti ini.
Arya meletakkan tangannya di punggung Merapu yang basah, merasakan kekuatan kuda itu di bawah jarinya. Kekuatan yang sama yang telah membawa mereka melewati Pasola dan terus berlanjut hingga kini, terjalin dalam ikatan yang kuat antara mereka.
"Hujan ini," gumam Arya, memecah keheningan, "seperti bumi sedang menarik napas panjang."
Merapu mendengus pelan sebagai jawaban, napasnya berbaur dengan udara dingin. Arya tersenyum, mengerti isyarat bisu dari kuda itu. Raja, yang selalu menjadi teman setia, hanya bergerak sedikit tetapi tetap tenang, matanya setengah tertutup seolah-olah sedang beristirahat dengan damai.
Suara lain memecah kesunyian suara hujan. Itu adalah Sinta, adik perempuan Arya, yang tiba-tiba muncul di pintu kandang, basah kuyup oleh badai. Di tangannya, ia membawa keranjang anyaman berisi jerami kering untuk kedua kuda.
“Nih,” katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. “Kupikir mereka butuh sedikit kenyamanan lagi.”
Arya tertawa kecil sambil menerima keranjang itu. “Terima kasih, Sinta. Kamu tidak harus menembus badai hanya untuk ini.”
Sinta mengangkat bahu, tersenyum sambil menyeka wajahnya yang basah dengan lengan bajunya. “Mereka juga bagian dari keluarga, kan? Lagipula, aku selalu suka hujan. Rasanya... seperti menyucikan.”
Saat Arya menyebarkan jerami kering di bawah kaki kuda-kudanya, ia merenungkan kata-kata Sinta. Menyucikan. Ya, hujan memang terasa seperti itu—mencuci sisa-sisa festival, debu, dan panas, meninggalkan sesuatu yang baru, segar. Musim hujan membawa kejernihan, seolah-olah dunia berhenti sejenak untuk merenung.
“Kamu pernah merindukan Pasola?” tanya Sinta, bersandar pada pintu kandang, tatapannya termenung memandang hujan.
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang Merapu dan Raja, lalu menatap cakrawala yang diselimuti kabut dan hujan. “Kadang-kadang,” akhirnya ia berkata, suaranya pelan. “Tapi kurasa Pasola bukan hanya tentang festivalnya. Itu lebih dari itu—itu adalah semangat yang kita bawa bersama kita, bahkan sekarang, di keheningan musim hujan.”
Sinta mengangguk, memahami. “Itu ada dalam cara kita hidup, kan? Bukan hanya dalam perayaannya.”
Arya menoleh ke arahnya, tersenyum kecil. “Tepat. Keberanian yang kita butuhkan untuk Pasola—itu ada di sini bersama kita sekarang. Dalam bagaimana kita menghadapi badai ini, bagaimana kita merawat tanah kita, binatang kita. Ini bukan tentang tontonan besar, tapi... tentang apa yang tersisa setelah tontonan itu berakhir.”
Hujan terus menetes, menjadi latar belakang bagi refleksi mereka yang tenang. Sinta tersenyum lembut, melangkah kembali ke dalam hujan seraya berkata, “Baiklah, aku akan meninggalkanmu dengan kebijaksanaanmu itu, Kakak. Aku akan lihat apakah Ibu butuh bantuan untuk memasak makan malam.”
Saat Sinta berjalan menembus badai, Arya memandangnya, hatinya hangat karena percakapan barusan. Musim hujan adalah waktu untuk merenung, ya, tapi juga pengingat tentang ritme hidup yang lebih dalam di Sumba—ritme yang melampaui Pasola dan kesenangan sesaat dari festival.
Di dalam kandang, Merapu bergerak di sampingnya, mendengus pelan seolah mengingatkan Arya bahwa kekuatan sejati terletak dalam momen-momen sehari-hari, dalam ketahanan diam yang datang dengan setiap musim.
"Kamu benar, teman lama," gumam Arya sambil menepuk sisi tubuh Merapu. "Pasola mungkin sudah usai, tapi semangatnya masih kita bawa, bahkan sekarang."
Dengan itu, Arya bersandar di pintu kandang, mendengarkan suara hujan dan napas tenang dari kedua kudanya. Kehidupan di Sumba terus berjalan, seperti biasanya, melalui perayaan dan refleksi yang tenang.
Jejak Pasola
Prolog: Perayaan Pasola: Mengikuti Langkah Marapu
Bab 1: Festival Pasola yang Penuh Warna
Bab 4: Kehidupan Setelah Pasola
Bab 5: Setelah Pasola – Merenungi Tradisi
No comments:
Post a Comment