Jejak Pasola: Epilog

Epilog: Semangat Abadi Pasola


English Version: The Everlasting Spirit of Pasola

Bertahun-tahun telah berlalu, dan desa Sumba terus berkembang. Festival Pasola, yang dulunya hanya sekadar tontonan penuh adrenalin, kini telah menjadi lebih dari itu. Pasola kini menjadi simbol ketahanan dan kesinambungan, pengingat bahwa meskipun dunia di sekitar mereka berubah, ada tradisi yang bertahan—mengikat manusia tidak hanya dengan tanah, tetapi juga dengan sejarah mereka dan dengan satu sama lain.

Arya, yang kini telah menjadi seorang tetua yang dihormati, duduk di tepi lapangan luas, tempat ia dulu berlaga dalam Pasola. Tangan tuanya yang kasar beristirahat di atas lututnya saat ia mengamati generasi baru para penunggang yang berlari melintasi dataran dengan semangat yang sama kuatnya seperti yang pernah ia rasakan dulu. Hatinya dipenuhi rasa bangga saat ia melihat para pemuda itu, menunggangi kuda mereka, menampilkan persatuan, kekuatan, dan keberanian yang selalu menjadi inti dari Pasola.

Di sampingnya berdiri Merapu, kuda hitam setianya. Meski bulu kuda itu kini telah memutih di beberapa bagian, Merapu tetap gagah dan kuat, menjadi pengingat hidup tentang perjalanan Arya sendiri. Di sisi lain, Raja, yang kini menjadi sahabat tua Merapu, berdiri dengan tenang di sampingnya. Bersama-sama, mereka menyaksikan para penunggang baru, ikatan di antara mereka tetap sedalam dulu.

Arya memandang ke lapangan, pikirannya melayang ke masa lalu. Suara derap kaki kuda, teriakan para penunggang, benturan tombak kayu—semuanya terasa seolah baru terjadi kemarin. Pasola telah membentuk hidupnya, dari seorang pemuda yang bersemangat untuk membuktikan dirinya, hingga seorang pemimpin yang dipercayakan masa depan desanya. Sekarang, saat ia menyerahkan tongkat estafet, ia bisa melihat semangat yang sama dalam mata mereka yang kini memegang tombak itu.





"Kau melihat mereka, Merapu?" bisik Arya, menepuk lembut leher kuda hitam itu. "Mereka membawa semangat Pasola, seperti yang pernah kita lakukan. Dan mereka akan terus membawanya ke depan, selama angin ini berhembus melintasi dataran."

Merapu mendengus pelan, seolah menyetujui, telinganya bergerak mengikuti suara dari lapangan saat derap langkah kuda kembali memenuhi udara. Energi festival itu, persatuan para penunggang, dan sorak-sorai desa adalah bukti bahwa semangat Pasola tetap bertahan.

Suara yang sudah dikenal membuyarkan lamunan Arya. "Senang melihat mereka berkuda, bukan?" kata salah satu tetua lain, duduk di sampingnya.

Arya tersenyum, matanya masih tertuju pada para penunggang. "Benar. Mereka mengingatkanku pada diri kita—bagaimana dulu kita, penuh semangat dan harapan. Tapi sekarang, giliran mereka."

Tetua itu mengangguk. "Pasola selalu lebih dari sekadar festival. Itu adalah cara hidup. Ia mengajarkan mereka untuk bertarung, bukan dengan kebencian, tetapi dengan rasa hormat terhadap lawan mereka. Untuk berkuda, bukan demi kemuliaan pribadi, tetapi demi kekuatan komunitas mereka."

Pandangan Arya beralih ke cakrawala, di mana matahari mulai perlahan tenggelam. Langit terbakar warna oranye yang dalam, melemparkan bayangan panjang di seluruh lapangan. "Kita sudah melakukan bagian kita," kata Arya, suaranya pelan namun penuh kedamaian. "Sekarang, terserah mereka untuk menjaga semangat ini tetap hidup."

Para penunggang kembali setelah perlombaan mereka, kuda-kuda mereka terengah-engah, tetapi wajah mereka penuh dengan kegembiraan yang sama yang dulu pernah dirasakan Arya. Di antara mereka, seorang penunggang muda menarik perhatian Arya—seorang anak laki-laki yang tidak jauh lebih tua dari Arya ketika ia pertama kali mengikuti Pasola. Matanya bersinar dengan semangat muda, posturnya tegap dan bangga di punggung kudanya.

Saat anak itu lewat, ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi sebagai tanda penghormatan, dan Arya tak bisa menahan senyumnya. Anak ini, dan semua yang seperti dia, adalah masa depan. Mereka akan membawa desa ini ke era baru, sama seperti yang ia lakukan dulu, dan Pasola akan tetap menjadi benang merah yang menyatukan takdir mereka.

Tetua di sampingnya berdiri, membersihkan jubahnya dari debu. "Ayo, Arya. Hari ini hampir selesai, dan perayaan akan segera dimulai."

Arya ragu sejenak, melirik satu kali lagi ke lapangan. Angin membawa suara tawa dan derap kaki kuda kepadanya, dan ia tahu bahwa semangat Pasola—keberaniannya, persatuannya, persaingannya yang sengit namun penuh hormat—akan terus hidup lama setelah ia tiada.

Dengan tarikan napas yang dalam, Arya bangkit berdiri. Merapu dan Raja mengikutinya, gerakan mereka lambat namun mantap, seperti dua sahabat tua yang telah melewati setiap badai bersama. Saat mereka berjalan kembali menuju desa, cahaya matahari yang mulai tenggelam menyinari lanskap dengan sinar emas.

"Ayo pergi, kawan lamaku," gumam Arya kepada Merapu, yang menundukkan kepalanya penuh kasih sayang di bahunya. "Waktu kita di sini hampir habis, tapi Pasola akan terus hidup."

Dan dengan itu, Arya, dengan kudanya di sisinya, berjalan menuju masa depan—hatinya dipenuhi dengan keyakinan bahwa Pasola, festival leluhur mereka, akan tetap abadi, dibawa maju oleh generasi-generasi yang akan datang.




Jejak Pasola

Jejak Pasola: Intro

Prolog: Perayaan Pasola: Mengikuti Langkah Marapu

Bab 1: Festival Pasola yang Penuh Warna

Bab 2: Ikatan Persaudaraan

Bab 3: Tantangan Pasola

Bab 4: Kehidupan Setelah Pasola

Bab 5: Setelah Pasola – Merenungi Tradisi

Bab 6: Perubahan Musim

Bab 7: Meneruskan Tongkat Estafet

Epilog: Semangat Abadi Pasola






No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection