Folklor dari Jawa Timur
Alkisah, di Kerajaan Sindureja hiduplah seorang raja yang perkasa bernama Raja Sidareja. Ia dikenal di seluruh negeri sebagai pemimpin yang bijaksana dan tangguh. Dengan tangan yang kuat namun adil, Raja Sidareja memerintah kerajaannya hingga mencapai kejayaan. Di bawah kepemimpinannya, tanah-tanah di Sindureja subur, perdagangan berkembang pesat, dan perbatasan kerajaan aman dari ancaman luar. Namun, meski terkenal bijaksana, Raja Sidareja bukanlah tanpa keinginan atau kehendak pribadi, sering kali menguji kesetiaan dan kemampuan para pengikutnya melalui perintah yang tak terduga.
Suatu hari yang cerah, ketika sinar matahari keemasan menyinari istana megahnya, Raja Sidareja duduk di atas singgasana yang berukir indah, menceritakan kisah kejayaannya yang tak terhitung. Ia memanggil Patih Sidapaksa, wakilnya yang setia dan terpercaya, lalu menyampaikan sebuah tugas penting. “Patih Sidapaksa,” ujar sang raja dengan suara yang dalam dan penuh wibawa, “Aku menginginkan daging rusa muda. Daging itu harus segar, empuk, dan segera dibawa kepadaku tanpa penundaan.”
Tatapan raja tajam dan penuh harapan, sebuah tantangan tersirat kepada wakilnya yang setia. Meskipun permintaan itu tampak sederhana, Patih Sidapaksa tahu bahwa tugas dari sang raja sering kali mengandung ujian tersembunyi—ujian atas kecakapan, keberanian, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Dengan penuh hormat, Patih Sidapaksa berlutut di hadapan singgasana dan menundukkan kepalanya. “Sebagaimana titah Paduka, hamba akan melaksanakannya,” jawabnya dengan nada tegas dan penuh keyakinan.
Ruangan besar itu hening saat Patih Sidapaksa berdiri, pikirannya mulai mempersiapkan perjalanan yang akan dihadapinya. Ia sadar bahwa perintah sang raja tidak bisa dianggap remeh, dan kegagalan bukanlah pilihan. Dengan semangat pengabdian yang berkobar dalam hatinya, Patih Sidapaksa meninggalkan kemegahan istana untuk menuju ke belantara hutan yang liar, tanpa mengetahui takdir yang akan menantinya di kedalaman rimba itu.
Patih Sidapaksa, yang selalu setia dan taat, segera berangkat ke hutan lebat dengan busur di tangan. Langkahnya mantap menembus jalan setapak yang dipenuhi semak belukar, dengan tekad untuk menyelesaikan tugas dari rajanya. Ia mencari berjam-jam, menyusuri setiap sudut hutan yang sunyi, hanya ditemani suara kicauan burung dan gemerisik daun yang diterpa angin. Hingga akhirnya, ia melihat seekor rusa muda yang sedang merumput dengan tenang di bawah pepohonan rindang.
Dengan hati-hati, ia mendekat, memastikan langkahnya tidak membuat suara yang akan mengusik rusa itu. Tangan kokohnya mengangkat busur, anak panah ditarik dengan penuh kehati-hatian. Namun, dalam ketergesaan dan semangatnya untuk menyelesaikan misi, sasaran meleset. Anak panahnya hanya mengenai tanah beberapa jengkal dari rusa itu.
Terkejut, rusa muda itu melonjak dan melarikan diri ke dalam hutan yang semakin lebat. Tidak ingin menyerah, Patih Sidapaksa segera mengejarnya. Ia berlari menembus semak-semak berduri dan akar-akar pohon yang menjalar di tanah, napasnya memburu dan jantungnya berdetak kencang. Namun, rusa itu terlalu lincah, membuat Patih Sidapaksa harus terus berusaha keras melacak jejaknya di tengah bayang-bayang gelap hutan yang mulai tertutup kabut tipis menjelang senja.
Saat matahari mulai terbenam, rusa itu membawanya jauh ke dalam hutan, hingga akhirnya Patih Sidapaksa menemukan sebuah gubuk sederhana. Ia mengetuk pintu, berharap bisa mendapatkan bantuan atau tempat berteduh. Pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri seorang gadis muda yang sangat cantik. Rambut panjangnya yang hitam mengalir seperti sungai tinta, dan matanya berkilau seperti bintang di malam hari. Dia adalah Sri Tanjung, putri Ki Buyut, seorang lelaki bijaksana yang tinggal di tengah hutan.
Patih Sidapaksa terdiam, hatinya terpesona oleh kecantikannya. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya gadis itu dengan lembut, melihat kelelahan Patih Sidapaksa.
“Saya... saya sedang mencari rusa muda,” kata Patih Sidapaksa dengan terbata-bata, terkejut dengan pesonanya.
Sri Tanjung tersenyum lembut. “Di hutan banyak sekali rusa, tetapi malam sudah semakin gelap, dan berburu akan sulit. Sebaiknya Anda beristirahat dan melanjutkan pencarian besok pagi. Ayah dan saya dengan senang hati akan menyambut Anda untuk bermalam di sini.”
Patih Sidapaksa dengan senang hati menerima tawaran itu. Dia memperkenalkan diri, dan Sri Tanjung pun mengajaknya masuk ke dalam gubuk. Mereka berbincang sepanjang malam, dan pagi harinya, Patih Sidapaksa sudah memutuskan: ia akan melamar Sri Tanjung. Dan, yang menggembirakan hatinya, Sri Tanjung pun jatuh cinta padanya.
Keesokan harinya, setelah berhasil berburu rusa muda, Patih Sidapaksa kembali ke gubuk Sri Tanjung. Ia memberitahukan niatnya, dan dengan hati yang penuh sukacita, Sri Tanjung menerima lamarannya. Mereka berdua pun kembali ke istana, tempat Raja Sidareja menunggu kedatangan mereka.
Raja Sidareja senang dengan rusa yang dibawa oleh Patih Sidapaksa, dan memberinya hadiah besar, namun saat pandangannya jatuh pada Sri Tanjung, ia terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Dalam hatinya, tumbuh sebuah niat gelap—ia menginginkan Sri Tanjung untuk dirinya. Namun, Patih Sidapaksa yang setia dan penuh cinta menjadi penghalang rencananya. Maka, Raja pun merancang sebuah intrik licik.
Ia memanggil Patih Sidapaksa ke istananya dan memberikan tugas yang sangat berat: “Bawakan aku tiga cincin emas dari Kerajaan Indran,” perintah sang Raja. “Hanya jika kau berhasil, aku akan mengizinkanmu menikahi Sri Tanjung.” Patih Sidapaksa terkejut, karena Kerajaan Indran dikenal sebagai kerajaan penjahat dan pencuri, tempat yang sangat berbahaya, di mana tidak ada seorang pun yang pernah kembali. Namun, Patih Sidapaksa, yang sudah berjanji kepada Sri Tanjung, tetap menerima tugas tersebut, bertekad untuk menepati janjinya.
Sebelum berangkat, Patih Sidapaksa berjanji kepada Sri Tanjung bahwa ia akan kembali untuknya. “Tunggu aku,” katanya lembut, sambil menggenggam tangan Sri Tanjung.
Setelah Patih Sidapaksa pergi, Raja Sidareja tidak membuang waktu dan segera melancarkan aksinya. Ia mendekati Sri Tanjung dan menawarkan kekayaan serta gelar Ratu. “Menikahlah denganku, dan aku akan menjadikanmu Ratu,” kata Raja dengan bujuk rayu. Namun Sri Tanjung, yang tetap setia pada cintanya kepada Patih Sidapaksa, menolaknya.
“Aku tidak bisa,” jawab Sri Tanjung. “Aku telah memberikan hatiku padanya, dan aku sudah berjanji untuk menunggunya.”
Mendengar penolakan itu, Raja Sidareja menjadi marah dan memenjarakan Sri Tanjung di ruang bawah tanah istana, berharap bisa memaksanya menerima lamarannya. Namun Sri Tanjung tetap teguh pada cintanya, dan terus menunggu Patih Sidapaksa dengan penuh harap.
Akhirnya, setelah berkelana jauh dan berhasil mendapatkan tiga cincin emas yang diminta, Patih Sidapaksa kembali ke istana. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa Sri Tanjung tidak ada di sana untuk menyambutnya. Sebaliknya, Raja Sidareja berkata bahwa Sri Tanjung telah meminta untuk menikahinya, mencari gelar Ratu.
Pada awalnya, Patih Sidapaksa mempercayai kata-kata Raja. Namun, sebuah keraguan muncul di hatinya. Ketika akhirnya ia bertemu kembali dengan Sri Tanjung, yang kini dipenjara dan terluka hati, Sri Tanjung berkata dengan penuh kesedihan.
“Buang aku ke sungai,” katanya lirih. “Jika sungai ini berbau harum, berarti aku tidak bersalah. Namun jika sungai ini berbau busuk, maka Raja lah yang berbohong.”
Dengan hati yang hancur, Patih Sidapaksa mengikuti permintaannya. Ia mengangkat tubuh Sri Tanjung dan melemparkannya ke dalam sungai. Dan keajaiban pun terjadi—sungai itu berbau harum, seperti bunga melati yang mekar di musim semi. Itu adalah tanda bahwa Sri Tanjung tidak bersalah.
Namun, sudah terlambat. Patih Sidapaksa menyesal seumur hidupnya. Cinta sejatinya telah pergi selamanya. Ketika tubuh Sri Tanjung terbawa arus, orang-orang segera menyebut sungai itu dengan nama "Banyuwangi," yang berasal dari kata "banyu" (air) dan "wangi" (harum), sebagai penghormatan untuknya.
Kerajaan Sindureja, yang dulu penuh dengan kemakmuran, kini terperosok dalam kesedihan. Patih Sidapaksa patah hati, dan pemerintahan Raja Sidareja dibayangi oleh rasa bersalah. Sedangkan rakyat Banyuwangi tidak pernah melupakan kisah Sri Tanjung—gadis suci yang mencintai dengan sepenuh hati, namun takdir tragis menimpanya.
Sejak saat itu, nama Banyuwangi tetap dikenang, sebagai simbol cinta yang hilang dan keadilan yang ditunda, terpatri selamanya dalam harum air sungai yang mengalir.
Pesan Moral:
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya kejujuran dan kesetiaan dalam hubungan. Terkadang, nafsu dan pengkhianatan bisa merusak segalanya, bahkan membawa tragedi. Selain itu, cerita ini juga mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru dalam membuat keputusan dan selalu berusaha untuk mempercayai orang yang kita cintai.
Apakah Kamu Tahu?
Banyuwangi Festival atau bisa disingkat dengan B-Fest adalah acara tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada rentang waktu Oktober hingga Desember setiap tahunnya. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati hari jadi Kabupaten Banyuwangi yang jatuh pada 18 Desember. Acara ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2012 pada masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas. (wiki)