Cerita Rakyat dari Jawa Timur
Dahulu kala, di daerah pegunungan Penanggungan, hiduplah seorang pria tua bernama Kiai Gede Penanggungan. Dikenal karena kebijaksanaannya yang mendalam dan kekuatan gaib yang dimilikinya, Kiai Gede adalah sosok yang dihormati di masyarakatnya. Ia memiliki seorang putri yang sangat cantik, Dewi Walangangin, yang kecantikannya tak tertandingi. Kecantikan dan pesonanya memikat banyak hati, namun ia tetap belum menikah, yang membuat ayahnya sangat khawatir. Ia sangat ingin yang terbaik untuk putrinya.
Karena kecemasannya, Kiai Gede Penanggungan berdoa dengan sungguh-sungguh, siang dan malam, memohon kepada Tuhan agar putrinya mendapatkan suami yang baik. Setelah bertahun-tahun berdoa, akhirnya doa-doanya dijawab. Suatu hari, seorang pemuda tampan bernama Jaka Pandelegan datang ke rumahnya.
"Nama saya Jaka Pandelegan," kata pemuda itu dengan penuh hormat. "Saya mendengar tentang kebijaksanaan Anda, Kiai. Saya datang untuk meminta bimbingan Anda. Saya ingin menjadi murid Anda dan belajar banyak hal dari Anda."
Kiai Gede, yang sangat bijaksana, melihat potensi dalam diri Jaka, namun ia memberikan syarat. "Aku akan menerima kamu sebagai murid," kata Kiai Gede, "tapi ada satu syarat. Kamu harus menikahi putriku, Dewi Walangangin. Apakah kamu setuju?"
Jaka, yang terkejut dengan tawaran tersebut, menarik napas dalam-dalam dan mengangguk dengan yakin. "Ya, saya setuju. Saya akan menikahi putri Anda."
Dengan janji itu, mereka segera menikah, dan Dewi Walangangin serta Jaka Pandelegan memulai hidup bersama. Pasangan ini hidup bahagia, dan Jaka, khususnya, berkembang pesat. Ia belajar banyak hal dari Kiai Gede Penanggungan, dari kebijaksanaan kuno hingga praktik spiritual, dan menjadi semakin kuat dalam pikiran dan tubuh.
Setelah beberapa tahun hidup di bawah bimbingan Kiai Gede, tiba waktunya bagi pasangan tersebut untuk memulai perjalanan mereka sendiri. Mereka siap membangun hidup mereka bersama, jauh dari bayang-bayang gunung. Sebelum mereka pergi, Kiai Gede Penanggungan memberikan Jaka sebuah hadiah khusus: biji pari.
"Ambil biji ini," kata Kiai Gede. "Tanamlah di tempat yang kamu pilih. Setiap kali seseorang meminta bantuan, berikanlah mereka sedikit biji ini. Namun ingatlah, jangan pernah menjadi sombong atau serakah dengan kekayaanmu."
Pasangan itu, yang sangat berterima kasih atas kebijaksanaan orang tua mereka, meninggalkan gunung dan menetap di tempat baru, di mana mereka menanam biji pari. Tak lama, tanah itu berkembang dengan pesat, dan ladang padi yang luas tumbuh, membawa kemakmuran bagi pasangan muda itu. Mereka menjadi sangat kaya, dan ladang yang dulunya kosong kini dipenuhi dengan padi.
Namun, semakin kaya mereka, semakin besar pula kesombongan mereka. Pasangan ini menjadi semakin jauh dari tetangga mereka, menolak untuk membagikan biji pari yang berharga. Suatu hari, beberapa tetangga yang miskin datang untuk meminta bantuan, berharap mendapatkan sejumput biji padi untuk ditanam di ladang mereka. Namun Jaka, yang dipenuhi kesombongan, menolak mereka dengan kasar.
"Tidak mungkin!" katanya. "Kalau kalian ingin makan, bekerja keraslah seperti saya! Saya tidak sampai di sini dengan meminta bantuan. Kalian harus melakukan hal yang sama!"
Kabar tentang kekejaman Jaka segera menyebar, dan tindakannya terdengar oleh Kiai Gede Penanggungan, yang tidak bisa tinggal diam dengan perilaku muridnya yang dulu. Orang tua itu, yang sangat kecewa, memutuskan untuk mengunjungi Jaka dan Dewi untuk mengingatkan mereka tentang janji yang telah mereka buat kepadanya.
Kiai Gede tiba di ladang mereka, memanggil pasangan itu.
"Jaka Pandelegan, datanglah ke sini! Saya ingin bicara denganmu!" Tetapi Jaka, yang masih terbuai dengan kesombongannya, mengabaikan panggilan tersebut dan terus bekerja.
"Putriku, Dewi Walangangin, ini aku, ayahmu!" Kiai Gede memanggil lagi, tetapi Dewi pun mengabaikannya, seolah-olah orang tua itu tidak lagi menjadi bagian dari hidup mereka.
Melihat bahwa mereka menolak mendengarkan, kemarahan Kiai Gede semakin besar. Dengan hati yang berat, ia mengucapkan kutukan yang kuat: "Kalian berdua seperti candi, tidak mampu mendengarkan kebenaran! Sekarang, kalian akan menjadi apa yang kalian sebenarnya: diam, keras kepala, dan selamanya tak mendengarkan."
Begitu ia selesai berbicara, sebuah keajaiban pun terjadi. Perlahan, Jaka dan Dewi berubah menjadi candi batu, berdiri tegak dan tak bergerak di tengah ladang padi yang luas. Pasangan yang dulu bangga itu kini menjadi simbol kesombongan dan kebanggaan, terbekukan dalam waktu. Warga desa, yang melihat candi-candi tersebut di tengah ladang padi, menamakan tempat itu Candi Pari sebagai pengingat akan cerita tersebut—sebuah pelajaran tentang kerendahan hati, kemurahan hati, dan bahaya dari kesombongan.
Begitulah, kisah Kiai Gede Penanggungan dan putrinya, Dewi Walangangin, serta suaminya, Jaka Pandelegan, tetap menjadi cerita yang abadi dari Jawa Timur, yang mengajarkan generasi demi generasi tentang nilai kebaikan, kerendahan hati, dan pentingnya menepati janji.
No comments:
Post a Comment