Namun, bayang-bayang kesedihan menyelimuti kerajaan. Raja Mawang jatuh sakit oleh penyakit misterius yang tak dapat disembuhkan oleh tabib, dukun, maupun orang bijak sekalipun. Istana dipenuhi aroma akar pahit dan ramuan herbal, namun tak satu pun yang membawa kesembuhan. Meski semua anak-anaknya dan para pelayan setia telah berusaha sekuat tenaga, kondisi sang raja semakin memburuk, dan setelah sekian purnama yang sunyi, Raja Mawang meninggal dunia dengan tenang.
Kepergian sang raja membawa duka mendalam bagi seluruh kerajaan. Sesuai tradisi, putra sulung diangkat menjadi raja yang baru. Meskipun rakyat masih tenggelam dalam kesedihan, mereka berharap sang raja muda akan meneruskan kebaikan dan kebijaksanaan ayahnya.
Sementara itu, Putri Serindang Bulan, yang masih muda dan berhati lembut, menemukan ketenangan di taman istana, dalam buku-bukunya, dan saat memandangi bintang-bintang—di mana ia percaya bahwa ayahnya kini sedang menjaganya dari langit.
Putri Serindang Bulan dikenal karena kelembutan dan kecantikannya, kehadirannya dikatakan menyaingi sinar rembulan yang menjadi asal usul namanya. Sejak kepergian ayah mereka, sang kakak tertua telah memerintah kerajaan Lebong. Meski ia memikul mahkota dengan penuh tekad, kekhawatirannya akan masa depan kerajaan sering membuatnya bersikap tegas—terutama dalam hal tugas kerajaan.
Suatu pagi, ia memanggil sang putri ke balai istana. Nadanya tegas, meski tidak kasar.
"Serindang Bulan, kau bukan anak kecil lagi," katanya. "Sudah saatnya kau menjalankan kewajibanmu sebagai bangsawan. Seorang pangeran dari kerajaan tetangga yang terhormat telah menyatakan keinginannya untuk menikahimu. Ia akan datang besok. Bersiaplah."
Kata-kata itu menghantamnya bagaikan petir di laut yang tenang. Hati Serindang Bulan tenggelam. Meski ia tersenyum layaknya seorang putri, jiwanya terasa terkurung. Ia ingin menikah karena cinta, bukan karena aliansi.
Namun ia menundukkan kepala dengan lembut dan menjawab, "Jika itu kehendakmu, Kakanda, aku akan bersiap menerimanya."
Ketika ia meninggalkan balai istana, beban tanggung jawab terasa berat di bahunya yang ramping. Malam itu, saat bintang-bintang berkelip di atas taman istana, ia diam-diam berharap akan datangnya kebaikan yang tulus—yang melampaui rupa—dan kekuatan untuk menghadapi takdir yang menantinya.
Sang raja sangat malu dengan apa yang terjadi. Di matanya, penolakan terhadap bangsawan kerajaan adalah aib yang memalukan, dan ia khawatir keluarganya akan menjadi bahan ejekan. Ketika keesokan harinya sang putri sembuh tanpa obat apa pun, rasa heran pun semakin membebani pikirannya.
"Aneh..." gumamnya. "Seolah bintik-bintik itu datang dan pergi sesuka hati."
Namun tak lama kemudian, seorang pangeran lain datang dari negeri jauh, membawa persembahan dan kata-kata manis penuh cinta. Sekali lagi, Serindang Bulan mempersiapkan diri dengan anggun, meski hatinya masih ragu.
Dan sekali lagi, bintik merah itu muncul kembali—bermekaran di kulitnya seperti peringatan yang hanya bisa ia mengerti.
Seperti sebelumnya, sang pangeran memandangnya sesaat dan langsung mundur dengan terkejut. Dengan sopan, ia mencari alasan dan segera meninggalkan istana, membawa serta lamarannya.
Hal ini terjadi bukan sekali, bukan dua kali, tapi berulang kali. Setiap kali seorang pangeran datang dengan mimpi untuk menikahi sang putri, bintik-bintik merah itu akan muncul. Dan setiap kali sang pangeran pergi dengan kecewa, bintik-bintik itu pun menghilang tanpa jejak.
Bisik-bisik mulai menyebar di seluruh kerajaan. Ada yang mengatakan itu adalah kutukan. Yang lain percaya bahwa sang putri menderita penyakit aneh. Tapi tak satu pun dari mereka melihat polanya. Tak ada yang memahami kesedihan sunyi yang tersembunyi di balik mata sang putri.
Sang raja—yang kini memerintah dengan rasa bangga dan keras kepala—semakin marah setiap kali lamaran ditolak.
"Ini tak bisa dibiarkan!" teriaknya. "Ia membawa malu bagi keluarga kerajaan!"
Diliputi oleh frustrasi dan ketakutan akan aib, sang raja membuat keputusan yang kejam.
Ia memanggil salah satu prajuritnya yang paling setia dan memberinya perintah yang mengerikan.
“Bawa Serindang Bulan ke dalam hutan yang dalam. Jangan beri tahu siapa pun. Lakukan apa yang harus dilakukan—ia tak boleh kembali.”
Sang prajurit tertegun, terkejut oleh kekejaman titah itu. Namun ia terikat sumpah untuk patuh.
Maka pada suatu pagi yang sunyi, saat sang putri sedang merawat taman sendirian, ia dipanggil oleh prajurit itu… tanpa tahu bahwa perjalanan yang akan mengubah takdirnya sedang menanti.
Sang prajurit membawa Putri Serindang Bulan jauh ke dalam hutan, menyusuri pepohonan lebat dan tanah yang belum dijamah manusia. Hatinya terasa berat, dipenuhi rasa bersalah. Dan ketika mereka sampai di tepi sungai yang sepi, ia tak bisa lagi membendung perasaannya.
“Tuanku Putri,” ucap sang prajurit dengan lembut sambil berlutut di hadapannya, “hamba tak sanggup melaksanakan titah Raja. Ia memerintahkan hamba untuk mengakhiri hidupmu… tapi yang hamba lihat bukan penyakit, melainkan kesedihan di matamu dan kebaikan di hatimu.”
Putri itu tertegun, napasnya seakan tertahan.
“Hamba tak akan menyakitimu,” lanjut sang prajurit. “Sebagai gantinya, hamba telah memahat sebuah sampan kecil dari kayu yang kuat. Sampan ini akan membawamu menyusuri sungai. Pergilah, carilah tempat di mana hatimu bisa merasa aman dan bebas.”
Air mata menggenang di mata sang putri—bukan hanya karena rasa takut, tapi juga karena rasa syukur. “Terima kasih,” bisiknya. “Kau telah memberiku lebih dari sekadar kesempatan untuk hidup. Kau memberiku harapan.”
Ia pun naik ke dalam sampan dan mulai mendayung perlahan menyusuri sungai yang berkelok-kelok, diapit oleh pepohonan yang seakan berbisik memberinya restu. Selama berhari-hari, ia menempuh perjalanan di bawah sinar matahari dan cahaya bintang, mengikuti arus lembut sungai hingga akhirnya ia tiba di tepian sebuah kerajaan yang damai.
Penduduk desa yang penasaran melihat seorang gadis muda yang lelah dan membawanya ke hadapan raja mereka yang berhati lembut. Raja itu mendengarkan dengan penuh perhatian saat sang putri, dengan kejujuran dan ketenangan, menceritakan kisahnya—tentang bintik merah yang misterius, lamaran-lamaran yang kandas, dan rasa perih karena dibuang oleh saudaranya sendiri.
Sang raja begitu tersentuh. “Kau aman di sini,” ujarnya hangat. “Dan aku percaya, ini bukan sekadar penyakit. Izinkan aku mencoba membantumu.”
Ia meletakkan tangannya perlahan di atas tangan sang putri, lalu memejamkan mata. Raja itu, yang diberkahi dengan kearifan penyembuhan kuno, merasakan bahwa bintik merah itu bukanlah tanda sakit—melainkan cerminan dari hati-hati yang tak tulus, yang menilainya hanya karena rupa semata.
Dengan belas kasih dan sihirnya, beban itu terangkat. Titik merah itu menghilang—dan kali ini, mereka tidak kembali.
Sang putri tersenyum, dengan tulus dan bebas. Dalam hari-hari yang mengikuti, kebahagiaan berkembang di antara mereka. Sang raja mengagumi kekuatan dan kehangatannya, dan dia melihat dalam dirinya kebaikan yang selalu dia rindukan.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah.
Namun, sang putri, yang selalu lembut hatinya, membuat permintaan khusus: "Saya ingin mengundang saudara-saudaraku, bahkan yang telah membuang saya. Biarkan mereka melihat bahwa hati saya masih memaafkan."
Sang raja setuju, dan utusan pun dikirim. Ketika saudara-saudara menerima undangan itu, mereka terkejut dan merasa malu. Saudara tertua, yang kini menjadi raja, menangis saat membaca surat itu.
"Dia masih memikirkan kami... meskipun setelah semua yang kami lakukan?"
Dengan hati yang berat dan kepala tertunduk rendah, saudara-saudara itu datang ke pernikahan. Mereka berlutut di hadapan Serindang Bulan, air mata di mata mereka. "Maafkan kami," mereka memohon. "Kami salah."
Sang putri dengan lembut mengangkat tangan mereka. "Kalian sudah dimaafkan," katanya. "Mari kita mulai lagi."
Sejak hari itu, Ratu Serindang Bulan memerintah di samping suaminya—bukan hanya dengan kecantikan, tetapi dengan hati yang penuh rahmat dan kebaikan. Rakyatnya sangat mencintainya, karena dia telah mengajarkan mereka sesuatu yang lebih besar dari sihir: kekuatan belas kasih, dan cahaya dari pengampunan.
🌿 Kekuatan Kebaikan dan Belas Kasih
Cerita ini mengingatkan kita bahwa keindahan sejati terletak pada hati. Serindang Bulan menghadapi penolakan dan kekejaman, tetapi dia tidak pernah berhenti berharap akan kebaikan—dan tidak pernah berhenti memberikan kebaikan itu sebagai balasan.
Apakah itu melalui seorang prajurit pemberani, seorang raja yang baik, atau pengampunan dari seorang ratu, cerita ini menunjukkan bahwa:
✨ “Kebaikan dapat menyembuhkan luka yang bahkan sihir tidak bisa. Belas kasih membawa cahaya bahkan di waktu-waktu tergelap.”
No comments:
Post a Comment