Gema Majapahit: Bab 6

Bab 6: Kebingungan dan Tekanan


English Version: Confusion and Pressure

Beban dari komisi kerajaan mulai terasa berat di pundak Ciptakarsa saat ia kembali ke studionya. Perjalanan ke dalam hutan, penemuan artefak kuno, dan sekarang, harapan kerajaan untuk menciptakan sebuah mahakarya yang akan mewakili kejayaan Majapahit—semuanya mulai terasa terlalu berat untuk ditanggung. Setiap hari, saat ia berdiri di depan kanvasnya, ia hanya bisa menatap kosong, dengan kuas yang tergantung tak berdaya di tangannya.

Inspirasi yang dulu mengalir dengan bebas kini terasa jauh, sulit dijangkau. Sebaliknya, ada tekanan yang tak dikenalnya, sesuatu yang mengaburkan batas antara visi pribadinya dan tuntutan dari kerajaan. Komisi itu seharusnya menjadi kehormatan besar, bukti keahliannya, tetapi Ciptakarsa tak bisa menghilangkan perasaan bahwa karya seni yang diminta darinya bukanlah miliknya yang sesungguhnya.

Di sekitarnya, kehidupan di Majapahit terus bergerak cepat. Jalanan di luar studionya dipenuhi suara para pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka, tawa anak-anak di kejauhan, dan irama keseharian yang terus berlanjut. Tapi bagi Ciptakarsa, waktu seolah berhenti, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kenangan tentang ekspedisi hutan, reruntuhan, dan kisah-kisah yang tak terucapkan terus menghantui pikirannya. Namun, bagaimana ia bisa menyeimbangkan sejarah mentah yang ditemukannya dengan ekspektasi gambaran gemilang kerajaan?

Kadek memperhatikan perubahan pada dirinya. “Kamu terlihat lebih pendiam belakangan ini,” katanya suatu malam, setelah berjam-jam memperhatikannya menatap kanvas kosong. “Apa ini tentang komisi itu?”

Ciptakarsa menghela napas, tangannya menyentuh permukaan kanvas yang dingin. “Ini lebih dari sekadar komisi, Kadek. Aku merasa... terputus. Komisi ini seharusnya mencerminkan kebesaran Majapahit, tetapi aku merasa apa yang diminta untuk kulukis tidak sesuai dengan kebenaran yang kulihat di hutan. Mereka ingin kemegahan dan kemenangan, tetapi ada lebih banyak hal dalam cerita ini. Ada sesuatu yang lebih dalam.”

Kadek mengangguk penuh pemikiran. “Mungkin kebenaran yang kamu cari bukan terletak pada kemegahan, tapi pada esensi Majapahit itu sendiri—pada rakyatnya, pada semangatnya.”

Kata-katanya terus terngiang di benak Ciptakarsa, tetapi tak cukup untuk meredakan kegelisahan yang semakin tumbuh di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menangkap semangat Majapahit sambil memenuhi harapan mereka yang memberi tugas ini? Dia terjebak di antara dua dunia—visi idealis kerajaan dan kenyataan mentah yang ingin diungkapkannya. Setiap goresan kuas terasa terbebani konflik, dan kanvas di depannya tetap putih kosong, menjadi pengingat nyata akan gejolak batinnya.

Hari-hari berlalu tanpa terasa, dan Ciptakarsa terus berjuang dengan pikirannya. Para bangsawan dan pejabat istana kadang-kadang datang mengunjungi studionya, menanyakan kemajuan karyanya, dengan senyum sopan yang nyaris tak bisa menyembunyikan ketidaksabaran mereka. Tekanan untuk menghasilkan sesuatu yang besar, sesuatu yang layak untuk kerajaan, semakin meningkat setiap harinya. Namun, meski dengan desakan mereka, Ciptakarsa tetap merasa tersesat dalam keraguan, tak yakin bagaimana harus melangkah.

Kadek, selalu di sisinya, menawarkan kenyamanan yang bisa ia berikan. “Kamu tidak harus menyelesaikan semuanya sekaligus,” katanya lembut. “Mungkin ini bukan tentang memilih antara visi kerajaan dan visimu sendiri. Mungkin ada cara untuk menggabungkannya.”

Namun, meski dengan kata-katanya, Ciptakarsa tak bisa menghilangkan rasa kehilangan arah. Bagaimana mungkin ia bisa menghormati perannya sebagai pelukis kerajaan sambil tetap setia pada kebenaran mendalam yang diungkapkan seni padanya? Apakah ia ditakdirkan hanya menjadi alat bagi citra kerajaan, ataukah ia bisa menciptakan sesuatu yang lebih?

Seiring dengan semakin beratnya rasa ketidakpastian, Ciptakarsa tahu satu hal: ia tak bisa terus berada dalam kebimbangan ini selamanya. Sebuah keputusan harus dibuat, tetapi untuk saat ini, jalan ke depan masih belum jelas.






Gema Majapahit

Intro : Gema Majapahit

Prolog: Visi Sang Pelukis

Bab 1: Ambisi Sang Pelukis

Bab 2: Komisi Kerajaan

Bab 3: Perjalanan ke Dalam Hutan Belantara

Bab 4: Kembali ke Majapahit

Bab 5: Pengungkapan Komisi

Bab 6: Kebingungan dan Tekanan

Bab 7: Dilema Seorang Pelukis

Chapter 8: Sebuah Visi Baru Terlahir

Bab 9: Reaksi Sang Maharaja

Bab 10: Warisan Seorang Pelukis

Epilog

No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection