Bab 9: Reaksi Sang Maharaja
English Version: The Emperor’s Reaction
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Ciptakarsa bangun dengan perasaan campur aduk—antusiasme yang bercampur dengan kekhawatiran. Ia tahu bahwa hari ini adalah puncak dari kerja kerasnya, namun juga hari di mana hasil visinya akan diuji. Di istana, aula besar telah dipenuhi oleh bangsawan, cendekiawan, dan seniman. Mereka berkumpul dengan satu tujuan, untuk menyaksikan karya agung yang telah ia ciptakan atas perintah sang Kaisar. Bisikan-bisikan samar memenuhi ruangan saat tamu-tamu mencoba menebak apa yang akan ditampilkan oleh Ciptakarsa. Apakah lukisan itu akan memenuhi harapan, atau bahkan melebihi imajinasi?
Ketika Ciptakarsa berdiri di depan karyanya, diselubungi oleh kain, tangannya sedikit bergetar. Namun, ia tetap teguh, mengingat setiap sapuan kuas yang ia lukiskan dengan penuh dedikasi. Ia menatap sekeliling aula yang megah—tiang-tiang kayu berukir, lampu-lampu minyak yang berpendar lembut, dan dinding-dinding dengan relief yang bercerita tentang sejarah panjang Majapahit. Di ujung ruangan, sang Kaisar duduk di atas takhtanya, dengan wajah yang tak dapat dibaca. Matanya tajam, namun tanpa ekspresi yang jelas. Ia hanya menunggu, seperti seekor elang yang mengamati mangsanya dari kejauhan.
Akhirnya, saat yang ditunggu tiba. Dengan satu tarikan halus, kain yang menutupi lukisan besar itu terjatuh ke lantai, mengungkapkan hasil karya Ciptakarsa di hadapan semua orang. Seketika, keheningan menyelimuti ruangan. Para tamu berhenti berbicara, bahkan napas mereka tertahan seolah waktu telah membeku. Semua mata tertuju pada lukisan itu, namun tak ada suara yang keluar—hanya kekaguman yang tercermin di wajah-wajah mereka.
Ciptakarsa mencuri pandang ke arah sang Kaisar, yang tetap diam di tempat duduknya. Matanya menyapu lukisan itu dengan perlahan, mulai dari sosok dirinya yang megah dan berwibawa di pusat kanvas. Namun, alih-alih terpaku hanya pada figur kekaisaran yang penuh kebesaran, pandangan sang Kaisar berlanjut, menyusuri bagian-bagian lain dari lukisan itu. Di sanalah tergambar adegan-adegan kehidupan rakyat jelata: petani yang bekerja di sawah, para pengrajin yang menciptakan alat-alat, perempuan yang menenun dengan teliti. Mereka semua—wajah-wajah tanpa nama—mendukung Majapahit dari bawah, bagaikan fondasi tak terlihat yang menopang seluruh kerajaan.
Keheningan semakin terasa berat. Para bangsawan saling berpandangan, tak yakin apakah ini adalah karya yang sesuai dengan harapan Kaisar, atau apakah ini akan memicu amarahnya. Ciptakarsa berdiri tegak, meskipun perutnya terasa mengencang oleh kegelisahan yang mendalam. Apakah sang Kaisar akan menganggap ini sebagai bentuk perlawanan halus, atau akan ia hargai keberanian seniman ini untuk mengungkapkan kebenaran dalam visinya?
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, sang Kaisar perlahan bangkit dari tempat duduknya. Langkah-langkahnya tenang dan anggun saat ia mendekati lukisan itu. Jantung Ciptakarsa berdetak semakin kencang, tangannya mulai basah oleh keringat. Kaisar berdiri di depan lukisan, diam selama beberapa detik yang tampaknya berlangsung sangat lama. Matanya bergerak dari satu sosok ke sosok lainnya, seolah-olah ia membaca cerita di balik setiap wajah yang tergambar. Akhirnya, suara Kaisar yang dalam dan penuh wibawa memecah keheningan.
"Kau telah menangkap jiwa Majapahit," kata sang Kaisar dengan nada yang penuh pertimbangan. "Bukan hanya kekuasaannya, tetapi juga rohnya. Aku kini melihat bahwa kekuatan kita tidak hanya terletak pada pasukan dan kemegahan, tetapi juga pada rakyat yang membangun kota-kota kita, yang menggarap tanah-tanah kita, yang bekerja tanpa lelah untuk mendukung kerajaan ini. Inilah kebenaran yang tidak boleh kita lupakan."
Kata-kata itu, meski diucapkan dengan tenang, membawa makna yang dalam. Ruangan yang tadinya dipenuhi ketegangan kini berangsur-angsur dipenuhi dengan napas lega. Wajah-wajah para tamu yang tadinya ragu mulai bersinar dengan kekaguman. Ciptakarsa menundukkan kepalanya, merasa seluruh ketegangan yang selama ini mengikatnya perlahan menghilang. Ia tidak hanya merasa lega karena telah berhasil menyenangkan sang Kaisar, tetapi yang lebih penting, ia merasa puas karena tetap setia pada visinya—sebuah visi yang ia yakini sebagai kebenaran tentang kekuatan Majapahit yang sesungguhnya.
Para bangsawan mulai bertepuk tangan, dengan penghargaan yang semakin jelas di wajah mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik dengan kekaguman yang tak tersembunyikan, memuji keberanian Ciptakarsa dalam menyajikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pameran kekuasaan. Di sisi lain, beberapa tampak tertegun, terdiam dalam perenungan mendalam. Mungkin mereka baru menyadari apa yang telah mereka abaikan selama ini—kekuatan yang tidak hanya berasal dari atas, tetapi dari bawah, dari orang-orang biasa yang jarang dilihat namun selalu ada.
Ciptakarsa tersenyum tipis saat ia memandangi lukisan itu untuk terakhir kalinya di hari itu. Ia tahu bahwa meskipun lukisan itu dipajang di istana, itu bukan hanya untuk kaum elite yang melihatnya, tetapi untuk setiap orang yang menceritakan kisah kerajaan. Hari ini, ia telah menulis ulang sebuah narasi—bukan dengan kata-kata, tetapi dengan sapuan kuas.
Gema Majapahit
Bab 3: Perjalanan ke Dalam Hutan Belantara
Bab 6: Kebingungan dan Tekanan
Chapter 8: Sebuah Visi Baru Terlahir
No comments:
Post a Comment