Prolog: Visi Sang Pelukis
English Version: Prologue: The Painter's Vision
Di cahaya redup matahari terbenam, kota Majapahit terpapar dalam kilauan keemasan, memancarkan bayangan panjang pada dinding-dinding kunonya. Jalanan yang ramai perlahan-lahan menjadi sepi seiring berakhirnya aktivitas sehari-hari, dan ketenangan yang tenang menyelimuti kerajaan. Di tengah jantung istana, di antara taman-taman yang tenang dan halaman-halaman yang berhias, berdiri sosok tunggal bernama Ciptakarsa, dengan kuas di tangan, menangkap esensi hari yang mulai pudar.
Ciptakarsa bukanlah seniman biasa. Mata tajamnya untuk detail dan pemahamannya yang mendalam tentang jiwa manusia memungkinkannya untuk menyuntikkan kehidupan dan emosi ke dalam lukisannya. Saat dia berdiri di depan kuda-kudanya, dia dengan cermat mencampur pigmennya, menciptakan palet yang mencerminkan warna-warna cerah matahari terbenam. Langit menyala dengan nuansa oranye, merah muda, dan emas, dan kuas pelukis menari di atas kanvas, menangkap keindahan yang memukau saat itu.
Saat sinar matahari terakhir menyentuh bumi, pandangan pelukis tertuju pada gerbang besar istana, di mana para prajurit berzirah berjalan dengan langkah tegas. Baju besi mereka yang mengkilap bersinar di senja hari, memantulkan cahaya merah matahari yang terbenam. Dengan setiap sapuan kuasnya, Ciptakarsa menggambarkan siluet mereka di latar belakang cahaya yang memudar, menangkap kekuatan dan tekad para pembela Majapahit.
Para prajurit ini bukan hanya penjaga kerajaan; mereka adalah simbol semangatnya yang tak tergoyahkan. Setiap dari mereka, dari panglima tertinggi hingga prajurit kaki yang paling rendah, membawa beban warisan Majapahit di pundak mereka. Melalui seninya, Ciptakarsa berusaha menghormati dedikasi dan keberanian mereka yang tak tergoyahkan.
Dalam momen yang singkat itu, saat dunia di sekitarnya memudar menjadi senja, sang pelukis melihat bukan hanya para prajurit, tetapi juga semangat Majapahit itu sendiri, yang tangguh dan tak tergoyahkan di hadapan kesulitan. Keagungan kerajaan, dengan candi-candi megah dan pasar-pasar yang ramai, dibangun di atas fondasi kekuatan dan persatuan rakyatnya. Hati pelukis mengembang dengan kebanggaan saat dia menyadari bahwa karyanya adalah bukti dari semangat tak tergoyahkan ini.
Saat bintang-bintang mulai berkelap-kelip di langit malam, Ciptakarsa melangkah mundur untuk mengagumi karyanya. Lukisan di depannya lebih dari sekadar gambaran matahari terbenam; itu adalah penggambaran hidup dari esensi Majapahit. Setiap sapuan kuas menceritakan sebuah kisah, setiap warna menyampaikan emosi, dan bersama-sama, mereka membentuk sebuah permadani yang menangkap jiwa kerajaan.
Dengan desahan puas, sang pelukis dengan hati-hati menyimpan kuasnya dan membersihkan tangannya. Dia tahu bahwa pekerjaannya masih jauh dari selesai. Kota Majapahit dipenuhi dengan kisah-kisah tak terungkap yang menunggu untuk diceritakan, dan dia bertekad untuk menghidupkannya melalui seninya. Saat dia membereskan peralatannya dan berjalan kembali ke tempat tinggalnya yang sederhana, Ciptakarsa merasakan kembali tujuan yang baru. Visi yang dia tangkap di kanvasnya hanyalah awal dari perjalanan besar, yang akan membawanya untuk mengungkap kisah-kisah tersembunyi dari kerajaannya yang tercinta.
Malam itu hening, hanya terdengar desiran lembut daun dan panggilan makhluk malam yang jauh. Saat Ciptakarsa berjalan melalui jalan-jalan yang sepi, dia tidak bisa menahan perasaan keterkaitan yang dalam dengan sejarah dan warisan Majapahit. Masa lalu dan masa kini berpadu dalam pikirannya, menginspirasi dia untuk menciptakan mahakarya yang akan beresonansi untuk generasi yang akan datang.
Dan begitu, di bawah tatapan waspada bulan dan bintang, sang pelukis melanjutkan misinya untuk menangkap hati dan jiwa Majapahit, satu sapuan kuas pada satu waktu.
Gema Majapahit
Bab 3: Perjalanan ke Dalam Hutan Belantara
Bab 6: Kebingungan dan Tekanan
Chapter 8: Sebuah Visi Baru Terlahir
No comments:
Post a Comment