Gema Majapahit: Bab 7

Bab 7: Dilema Seorang Pelukis


English Version: A Painter’s Dilemma

Sinar matahari senja masuk melalui jendela terbuka studio Ciptakarsa, memancarkan cahaya keemasan di atas kanvas-kanvas yang bersandar di dinding. Keagungan Majapahit tercermin dari jalan-jalan ramai di bawah, dengan hiruk-pikuk pedagang, pengrajin, dan prajurit yang memenuhi udara. Namun, di dalam studio, keheningan yang berat terasa menyelimuti. Ciptakarsa duduk di hadapan pesanan agung dari sang Raja, tapi kuasnya tetap tak bergerak, seakan terhenti oleh keraguan.

Selama berhari-hari, ia bergumul dengan tugas yang diberikan padanya. Permintaan sang Raja untuk mengabadikan kemenangan Majapahit dalam serangkaian lukisan besar seharusnya menjadi puncak kariernya. Namun, sebuah rasa konflik yang tak kunjung reda terus menggerogoti hatinya, membuat setiap kanvas kosong menjadi medan perang batinnya. Kemenangan-kemenangan Kekaisaran memang tak terbantahkan, penaklukan dan kejayaannya patut dikagumi, tetapi saat dia menatap catnya, ada visi lain yang bangkit di dalam dirinya—cerita yang lebih dekat, lebih intim, yang ia rasa perlu diceritakan.

Pikirannya melayang ke rakyat Majapahit, para petani yang bekerja keras di ladang, para pengrajin yang berkarya dengan tangan mereka, dan para perempuan serta anak-anak yang menanggung beban perluasan Kekaisaran dalam diam. Wajah-wajah mereka, kehidupan mereka, terlintas di benaknya sejelas pasukan besar Majapahit. Mereka juga adalah denyut nadi dari kekaisaran yang perkasa ini, namun kisah mereka tampak terlupakan di bawah bayang-bayang kejayaannya.

Dia meletakkan kuasnya, menundukkan kepalanya dengan tangan di wajahnya. Bagaimana dia bisa melukis kebenaran sebagaimana yang dia lihat tanpa mempertaruhkan kariernya, atau lebih buruk lagi, nyawanya? Harapan sang Kaisar jelas—merayakan kemenangan Majapahit. Namun Ciptakarsa merasa bertanggung jawab untuk menunjukkan kebenaran yang lebih dalam, kebenaran yang akan bergema di hati rakyat, bukan hanya di kalangan elit penguasa.

Langkah kaki Kadek terdengar lembut saat dia memasuki studio, merasakan badai yang sedang berkecamuk dalam diri temannya. "Masih bergumul dengan pesanan itu?" tanyanya, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran.

Ciptakarsa menghela napas panjang, menatap ke atas. "Aku bimbang, Kadek. Raja mengharapkan aku melukis visi kejayaan dan kekuatan, tapi bagaimana dengan rakyat? Bagaimana dengan pengorbanan, penderitaan diam-diam yang tak terlihat? Bagaimana mungkin aku, dengan hati nurani yang bersih, hanya melukis satu sisi cerita?"

Kadek mendekat, berdiri di samping Ciptakarsa sambil menatap kanvas kosong di depan mereka. Dia merenung sejenak sebelum berbicara. "Majapahit bukan hanya soal penaklukan atau kekayaannya. Kekuatannya juga ada pada rakyatnya, ketahanan mereka, kemampuan mereka untuk bertahan bahkan di masa-masa tersulit. Mungkin... mungkin sudah waktunya seseorang menceritakan *kisah* itu."

Ciptakarsa mengerutkan kening, pikirannya berlari kencang. "Tapi bagaimana caranya? Menyimpang dari visi Raja bisa berarti bencana."

Kadek mengangkat bahu. "Mungkin saja. Atau mungkin itu berarti sesuatu yang lebih besar. Seni bukan hanya soal menyenangkan mereka yang berkuasa, sahabatku. Ini soal kebenaran. Dan kebenaran bisa bermacam-macam."

Malam itu, saat kota di luar mulai sunyi di bawah selimut bintang-bintang, Ciptakarsa duduk sendiri di studio, menatap kanvas. Pikirannya berputar tak henti-henti. Dia bisa melihat wajah-wajah para petani, prajurit, pengrajin, semua membawa beban harapan Kekaisaran. Dan pada saat itu, dia menyadari bahwa melukis hanya kemenangan Majapahit akan mengkhianati rakyat yang membangunnya.

Dengan semangat baru, dia meraih kuasnya dan mulai melukis—bukan hanya adegan kemenangan, tapi juga kisah yang lebih mendalam tentang semangat kerajaan. Setiap goresan kuas dipenuhi dengan emosi yang selama ini terpendam. Dia melukis rakyat—sederhana, tak terlihat, kekuatan dan kesakitan mereka terjalin dalam cerita Majapahit.





Saat cahaya fajar pertama menerangi studio, Ciptakarsa masih bekerja, wajahnya bercahaya oleh sinar lembut matahari terbit. Ketika dia mundur untuk melihat hasil karyanya, perasaan damai mulai menyelimutinya. Lukisan di hadapannya bukanlah tampilan kemegahan seperti yang diminta oleh Raja, tapi itu adalah sesuatu yang lebih—sesuatu yang nyata, sesuatu yang berbicara tentang inti dari apa itu Majapahit.

Dan saat cahaya pagi membanjiri studio, Ciptakarsa tahu bahwa keputusannya, meski berisiko, adalah yang benar. Apapun konsekuensinya, dia tetap setia pada visinya, mengabadikan bukan hanya kemenangan Majapahit, tapi juga jiwanya.




Gema Majapahit

Intro : Gema Majapahit

Prolog: Visi Sang Pelukis

Bab 1: Ambisi Sang Pelukis

Bab 2: Komisi Kerajaan

Bab 3: Perjalanan ke Dalam Hutan Belantara

Bab 4: Kembali ke Majapahit

Bab 5: Pengungkapan Komisi

Bab 6: Kebingungan dan Tekanan

Bab 7: Dilema Seorang Pelukis

Chapter 8: Sebuah Visi Baru Terlahir

Bab 9: Reaksi Sang Maharaja

Bab 10: Warisan Seorang Pelukis

Epilog

No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection