Dahulu kala, di tanah Gunung Kidul yang subur dan hijau di Yogyakarta, berdiri sebuah kerajaan besar yang dikenal sebagai Kerajaan Medang. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang ditakuti dan sangat rakus, Raja Dewata Cengkar. Kesukaan terbesarnya dalam hidup adalah menikmati pesta-pesta makanan yang megah. Rasa laparnya seolah tak pernah terpuaskan, dan ia sangat bangga mencicipi hidangan paling lezat dan langka dari seluruh penjuru negeri.
Setiap hari, para juru masak istana bekerja tanpa henti. Tangan mereka terus bergerak, mencincang, mengaduk, dan meracik bumbu demi menciptakan hidangan yang mampu memuaskan selera raja yang semakin besar. Dapur kerajaan selalu dipenuhi aroma rempah-rempah yang harum dan suara daging yang mendesis di atas api. Namun, tak peduli seberapa keras mereka berusaha, Raja Dewata Cengkar tak pernah benar-benar puas. Dengan ekspresi kecewa, ia akan mendorong pergi piring-piring penuh hidangan mewah, menuntut sesuatu yang lebih lezat, lebih kaya rasa, dan lebih mewah dari sebelumnya. Para juru masak hidup dalam ketakutan, karena mereka tahu bahwa mengecewakan sang raja bisa berujung pada hukuman—atau lebih buruk lagi.
Rahasia yang Tak Disengaja
Pada suatu hari yang naas, dapur istana dipenuhi hiruk-pikuk kesibukan. Para juru masak bekerja dengan tergesa-gesa, berusaha menyiapkan pesta mewah lainnya untuk Raja Dewata Cengkar. Aroma daging panggang dan rempah-rempah yang harum memenuhi udara, sementara panci-panci mendidih dan pisau-pisau beradu dengan cepat dan terampil.
Di tengah kesibukan itu, salah satu juru masak istana, yang kelelahan setelah bekerja tanpa henti, kehilangan fokus sejenak. Saat mengiris tumpukan bahan makanan, pisaunya tergelincir—menyayat dalam jari tangannya.
Rasa sakit tajam menjalar ke tangannya, dan sebelum ia bisa bereaksi, beberapa tetes darahnya jatuh ke dalam panci yang mengepul di hadapannya. Matanya membelalak ketakutan. Ia tahu bahwa kesalahan sekecil apa pun di dapur kerajaan bisa berakibat fatal. Jika raja mengetahui hal ini, hukumannya pasti akan sangat berat—bahkan mungkin nyawanya menjadi taruhannya.
Tangannya gemetar saat ia melirik ke sekeliling, berharap tak ada yang menyadari apa yang terjadi. Dengan putus asa, ia segera menyeka jarinya dan menutupi lukanya. Lalu, dengan tatapan penuh permohonan, ia berbisik kepada rekan-rekannya, “Jangan katakan apa pun tentang ini.”
Para juru masak lainnya, yang sama takutnya akan murka sang raja, mengangguk setuju. Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa hanya karena beberapa tetes darah. Dan demikianlah, hidangan kerajaan dihidangkan, tanpa seorang pun menyadari bahwa bahan tak terduga telah masuk ke dalam masakan raja.
Hidangan yang Menggugah Selera
Ketika hidangan dihidangkan, Raja Dewata Cengkar menyantapnya dengan lahap. Matanya membelalak keheranan.
“Ini adalah hidangan paling lezat yang pernah aku rasakan!” serunya dengan penuh kekaguman. “Apa yang kalian lakukan berbeda kali ini?”
Juru masak yang ketakutan ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya berhasil menjawab dengan suara gemetar, “Resepnya tetap sama seperti biasa, Baginda.”
Tanpa mengetahui rahasia di balik rasa istimewa itu, sang raja segera memerintahkan sebuah jamuan besar. Para bangsawan, menteri, dan tamu istimewa diundang untuk menikmati hidangan kerajaan. Namun, betapa kecewanya Raja Dewata Cengkar ketika mendapati bahwa tak satu pun dari hidangan itu terasa sesempurna yang pertama ia cicipi.
Amarahnya meluap. Dengan penuh kemarahan, ia memerintahkan agar sang juru masak dijebloskan ke penjara karena gagal mengulang cita rasa yang luar biasa itu.
Beberapa waktu kemudian, para juru masak lainnya, yang tak tahan melihat sahabat mereka menderita di dalam penjara, akhirnya mengakui kebenarannya: bahan rahasia dalam hidangan tersebut adalah darah manusia.
Awal Mula Rezim Teror
Raja Dewata Cengkar diliputi kengerian sekaligus rasa penasaran. Untuk memastikan kebenarannya, ia memerintahkan para prajuritnya membawa seorang rakyat jelata. Sekali lagi, beberapa tetes darah manusia ditambahkan ke dalam makanannya.
Hasilnya sungguh tak terbantahkan—sang raja tak pernah merasakan kenikmatan seperti itu sebelumnya. Obsesi pun mulai menguasai pikirannya. Sejak hari itu, ia memerintahkan prajuritnya untuk menangkap penduduk desa demi mendapatkan bahan rahasia yang telah membuatnya tergila-gila.
Teror pun melanda seluruh Kerajaan Medang. Rakyat hidup dalam ketakutan, bersembunyi di hutan dan gua, berdoa agar kejahatan ini segera berakhir. Jeritan penderitaan mereka menggema hingga ke langit, dan para dewa akhirnya menaruh belas kasihan kepada mereka.
Kedatangan Aji Saka
Dari negeri yang jauh, Aji Saka, seorang pengembara dan kesatria mulia dengan kekuatan supranatural, mendengar bisikan para dewa. Ia telah lama berkelana untuk menumpas kejahatan, dan ketika mengetahui kekejaman Raja Dewata Cengkar, ia pun bertekad untuk pergi ke Kerajaan Medang.
Setibanya di gerbang istana, ia dengan berani menyatakan, "Aku datang untuk mempersembahkan darahku kepada sang raja."
Para prajurit terkejut mendengar kata-katanya, tetapi mereka segera membawanya menghadap raja. Mendengar maksud Aji Saka, Raja Dewata Cengkar sangat gembira. Sudah lama ia tidak mencicipi kelezatan darah manusia yang begitu ia dambakan.
Siasat Cerdik
"Aku akan memberikan darahku," kata Aji Saka, "tetapi aku punya satu permintaan: sebelum engkau mengambilnya, kau harus melepaskan jubahku."
Sang raja tertawa meremehkan. "Hah! Itu tugas yang mudah!" ejeknya.
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Saat Raja Dewata Cengkar menarik jubah itu, kainnya terus terulur, memanjang tanpa akhir, membentang ke seluruh halaman istana. Semakin ia menarik, semakin panjang jubah itu tampak, seolah-olah tidak pernah habis.
Raja semakin lelah, keringat mengucur dari dahinya. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Dan di saat itulah, Aji Saka melihat kesempatannya—dengan sekuat tenaga, ia mendorong sang raja!
Raja Dewata Cengkar tersentak mundur, kehilangan keseimbangan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, keajaiban pun terjadi. Tubuhnya mulai berubah, kulitnya memucat, dan bentuknya perlahan menjadi sesuatu yang tidak lagi menyerupai manusia.
Di hadapan semua orang yang menyaksikan, sang raja yang kejam kini telah berubah menjadi seekor buaya putih raksasa.
Kelahiran Bukit Kapur
Aji Saka, yang tahu bahwa sang buaya masih bisa membahayakan, mengangkat busur saktinya dan melepaskan satu anak panah tepat ke jantung makhluk itu. Dengan raungan terakhir yang mengerikan, sang buaya pun roboh tak bernyawa ke tanah.
Saat tubuh buaya itu menyentuh bumi, tanah di sekelilingnya mulai berubah. Lahan yang dulunya subur mengeras menjadi batu, dan di hadapan mata rakyat, sebuah bukit kapur yang menjulang tinggi muncul di tempat sang raja terjatuh.
Meskipun tanah menjadi tandus, rakyat bersorak gembira. Doa mereka telah terjawab—kerajaan kini terbebas dari teror, dan pertumpahan darah akhirnya berakhir.
Seiring berjalannya waktu, para penduduk mulai memanfaatkan batu kapur yang ada, mengukirnya menjadi hiasan dan bahan bangunan untuk rumah mereka.
Hingga kini, Gunung Kidul tetap dikenal dengan formasi batu kapurnya yang luas, dan legenda tentang raja yang kejam terus dikenang sebagai pengingat bahwa keserakahan dan kekejaman akan selalu membawa kehancuran.
Pesan Moral:
-
Keserakahan membawa kehancuran. Keinginan tak terbatas Raja Dewata Cengkar untuk menikmati kesenangan akhirnya menjadi penyebab kejatuhannya sendiri.
-
Kecerdikan bisa mengalahkan kekuatan. Aji Saka tidak membutuhkan kekerasan untuk menang—kebijaksanaan dan tipu dayanya jauh lebih unggul dibanding keserakahan sang raja.
-
Keadilan akan selalu menang. Meskipun kejahatan tampak tak terhentikan, mereka yang berjuang demi kebenaran akan selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan keadaan.
No comments:
Post a Comment